KESILAPAN boleh saja terjadi pada aparat penegak hukum
sekalipun. Misalnya keliru menangkap orang baik-baik karena
disangka buronan. Yang runyam ialah bila korban salah comot
begit ternyata juga menjadi korban kesengajaan aparat hukum
yang berbuat sewenang-wenang.
Yang terlanjur runyam begitu misalnya:
Abdulladi, 33 tahun, penduduk Desa Noyontakan di Pekalongan.
Dia mengeluh tersendat-sendat begitu keluar dari tahanan yang
berwajib: telinga kanan, katanya, sekarang jadi tuli. Kedua
belah kakinya selalu terasa lemas. Dia harus menyangga tubuhnya
dengan tongkat untuk sekedar berjalan saja. Dada terasa sesak
dan membuatnya tak bisa tidur sepanjang malam.
Dia sudah ke dokter dan dironsen. Katanya, ada yang tak beres di
sekitar lehernya, seperti bekas cekikan dan cidera di lambung
sebelah kanan. Rupanya sebuah cerita sial telah dialaminya --
seperti diungkapkan Dulladi sendiri kepada Churozi Mulyo dari
TEMPO.
Dulladi pedagang kue bolang-baling. Gagal menjadi petani
tembakau sampai rumahnya tergadai, dia terhibur oleh tawaran
yang aneh dan memberinya banyak harapan. Supeno dan Abu,
temannya, membawa kabar: ada seorang profesor dari Ungaran
menginginkan sebuah batu permata sakti yang punya khasiat dapat
membuat kebal, anti peluru bahkan dapat membuat rambut dan kuku
pemiliknya tak dapat dipotong. Profesor itu, kata kedua temannya
tadi, sanggup membayar Rp 80 juta kepada siapa yang dapat
menemukan permata sakti itu. Kesanggupan pembayaran sudah
dinyatakan secara tertulis.
Komando Jihad
Dengan tawaran aneh itu Dulladi dan Supeno dibawa oleh Muhammad
ke Jatibarang. Di sana mereka ketemu Dakim dan Umar. Yang
terakhir ini menyatakan sanggup mengadakan batu ajaib dengan
harga Rp 25 juta. Urusan batu sakti dilanjutkan empat hari
kemudian, sekitar 10 Oktober, di rumah Umar di Desa Kabunan
Kecamatan Slawi. Umar, menurut Dulladi, telah memperoleh batu
sakti pesanan itu dari Kyai Asnawi.
Pertemuan mereka dibuka dengan pertunjukan aneh. Dakim, yang
katanya memang biasa berjual obat kebal (segram Rp 2000,
katanya), mempertunjukkan kebolehannya: Setelah minum obat
jualannya sendiri, ia menghantam kepalanya dengan sepotong
batubata. Bukan kepala Dakim yang remuk. Tapi batubata yang
hancur.
Tapi pertunjukan berikutnya tidak main-main lagi. Mendadak
datang dua truk tentara dari Brigif Slawi, mengepung rumah Umar.
Abdulladi dan Supeno tak sempat menghitung tentara yang
tiba-tiba menodongkan karaben terkokang. Seisi ruang tamu di
rumah Umar pun pada mengangkat tangan. Tapi rupanya sasaran
tentara hanya Dulladi. Orang Pekalongan ini, tanpa ditanya ini
dan itu terus dihajar. Sementara itu di luar rumah ramai juga:
serentetan tembakan diperdengarkan penyergap -- entah untuk apa.
Setelah itu Dulladi diikat, dari ujung kaki sampai ke pangkal
paha, terus dibawa ke markas Brigif.
Apa yang terjadi? Dulladi sendiri mula-mula tak tahu. Baru
setelah berkali-kali disebut nama Farid Ghozali, buronan Komando
Jihad, tahulah Dulladi tentara sudah keliru meringkus orang.
Tapi para penyergap tak mau percaya begitu saja. Namun, walaupun
kepalanya diinjak dengan sepatu lars, Dulladi toh tetap Dulladi
juga -- bukan anggota Komando Jihad manapun. Entah siapa yang
memberi info kepada Brigif. Dulladi sendiri menyangka Umarlah
yang bertindak sebagai informan yang keliru mengenali orang.
Dari Slawi Dulladi dibawa ke Jakarta. Sepanjang jalan setiap
disebut nama Farid dan dia menggeleng berarti tumit sepatu bot
singgah di kepala Dulladi. Baru setelah berhadapan dengan
Satgas Intel Jakarta (Laksusda), Dulladi mendapat perlakuan
sebagai manusia. Dia diberi makan, minum susu dan rokok kretek.
Sayang seleranya sudah hancur.
Pemeriksaan di Jakarta berjalan empuk. Dua orang wanita, tak
diketahui Dulladi siapa memastikan Dulladi bukan Farid. Maka
dengan sepucuk surat jalan yang ditandatangani Letkol Syafei,
berikut sekedar permintaan maaf dan bekal Rp 20 ribu, Dulladi
boleh pulang kampung.
Kepala Pusat Penerangan Laksusda Jakarta, Letkol Anas Malik,
membenarkan kasus salah tangkap tersebut. "Soalnya potongan
Dulladi mirip Farid," kata Anas.
Dulladi sebenarnya tak ingin menganggap perkaranya selesai
begitu saja. Dia memang terhibur dengan keinginan Walikota
Pekalongan yang hendak menyantuninya. Tapi bagaimanapun dia
ingin mencoba menyalurkan keinginan hati nuraninya melalui
pengaduan kepada Pangkopkamtib Sudomo.
Tak ada yang perlu ditutupi Raden Sumadi alias Samiyo, 32
tahun. Dia memang residivis. Penduduk desa Watukarung Kabupaten
Sleman (Yogyakarta) ini, mengakui pernah dibui. Pertama ketika
ia dihukum 4 bulan penjara karena mencuri sepeda. Kemudian masuk
lagi 3 bulan untuk kejahatannya mencuri ayam. Tapi itu dulu.
Sekarang ia bersumpah sama sekali tak terlibat urusan pencurian
uang Rp 1 juta di sebuah tempat di Magelang.
Tapi kepolisian Magelang Juni lalu tetap saja menuduhnya sebagai
pencuri. Bukti tak ada. Namun selama 14 hari menahan Samiyo
kepolisian Kores 971 Magelang berusaha keras memeras pengakuan
pesakitannya. Menurut Samiyo selama dalam tahanan polisi hanya
dua hari ia dapat keringanan, selebihnya adalah hari-hari penuh
penyiksaan.
Segala mistar segitiga, cambuk dari kulit sapi, pipa besi, alat
penyetrom ikan dan api rokok adalah sarapan, makan siang dan
makan malam yang disediakan polisi baginya. Belum lagi kalau ada
anggota polisi iseng: sekedar ingin menggampar atau menendang.
Selama tiga hari berturut-turut Samiyo, katanya, juga disabung
dengan tahanan lain bernama Ramidi. Acara 'adu ayam' begitu baru
dihentikan setelah kedua orang sabungannya babak belur.
Samiyo hafal satu persatu 11 orang oknum polisi yang
menanganinya. Yaitu dua orang perwira muda, seorang sersan dan 8
orang berbalok satu di lengannya. Teman-teman setahanan juga
boleh ditanya katanya. Seperti Slamet Braga, Tamyis, Sri atau
Yatno. Bahkan Slamet bin Kardimiyo dalam pernyataan tertulisnya
yang disampaikan kepada advokat Marhaban Zainun SH, pembela
Samiyo, berani memberi kesaksian.
Polisi tentu tidak merasa perlu memintakan visum dokter bagi
pesakitannya yang teraniaya. Hingga hanya sekedar bekas
luka-luka kecil saja yan dapat dipertunjukkan Samiyo sekarang
-- bila ada yang menanyakan keadaannya.
Penderitaan Samiyo berakhir dua hari sebelum perkaranya
dilimpahkan ke kejaksaan. Awal Nopember lalu Samiyo baru
benar-benar lega. Pengadilan akhirnya membebaskannya dari segala
tuduhan dan tuntutan hukum. Dia memang tak terbukti bersalah.
Hakim Nyonya Soetrisno SH tentu tak mendasarkan keputusannya
pada kesalahan polisi menangkap tertuduh. Hanya disebutkan
Samiyo mempunyai alibi yang kuat: dia berada di tempat lain
ketika peristiwa pencurian terjadi.
Samiyo yang harus dicari polisi, sebenarnya bukan Samiyo yang
bernama asli Raden Sumadi. Pada waktu pencurian terjadi banyak
saksi dapat menyatakan Samiyo alias Sumadi sedang bertugas
mengirim tebu ke pabrik gula Madukismo II. Sinder dan mandor
pabrik juga dapat bersaksi begitu. Tapi Ramidi, yang lebih dulu
ditangkap polisi, celakanya tetap menunjuk Samiyo yang Raden
Sumadi itu sebagai rekan sekomplotan. Dari tuduhan Ramidi dan
bantahan Samiyo itulah barangkali yang memberi ide polisi untuk
mengadu saja keduanya dalam arena sabungan.
Begitu bebas dari urusan yang sial itu Samiyo berhubungan dengan
advokat Marhaban Zainun. Selain membuat pengaduan pidana juga
akan digarap perkara perdatanya menuntut ganti rugi dan
rehabilitasi nama baik Samiyo. Kepada Kepolisian Jawa Tengah,
Kadapol IX, serta Menteri Hankam di Jakarta telah dikirim surat
protes. Sambutannya baik. Sebuah tim pengusut dari kepolisian
turun ke Magelang.
Menurut Samiyo, yang tidak diberitahu apa hasil pengusutan tim
dari Semar ang itu, dia malah ditawari perdamaian saja. Tapi
Samiyo menolak, sekeras ketika ia ditawari perdamaian oleh
petugas pemeriksanya dulu yang minta Rp 500 ribu kalau tidak mau
digebuki dalam tahanan.
Komandan Kores Magelang tak bersedia mencocokkan cerita Samiyo
dengan keterangan versi polisi. Tak ada komentar. Jadi panjang
atau pendek kelak proses gugatan Samiyo, masih harus ditunggu.
Soetisna
Soetisna dari Bandung, tak hendak memperpanjang urusan walaupun
badannya telah babak belur dihajar polisi. Dia tahu "soal salah
tangkap, mah bisa." Hanya bila kesalahan 'kecil' itu lalu
diikuti dengan kesengajaan lain yang terang-terangan disadari
keluar rel, Soetisna menganggapnya sudah kelewatan.
Peristiwa terjadi masih pada hari-hari sekitar turunnya perintah
para puncak pimpinan penegak hukum kepada bawahannya untuk
berlaku manis kepada semua pesakitan. Indra, seorang pengusaha,
diancam dan diperas Rp 500 ribu melalui sebuah surat yang tak
dikenal pengirimnya. Dia menghubungi Soetisna. Kawannya ini
menyarankan agar Indra melapor ke polisi. "Saya sendiri ingin
menyaksikan peristiwa itu," kata Soetisna.
Segala sesuatunya diatur agar Indra seolah-olah memenuhi
tuntutan pemerasnya. Namun hingga jam tiga sore, dua minggu
lalu, Indra yang berdiri di depan gedung bioskop Nusantara, di
alun-alun Bandung tak ditegur oleh siapapun. Ketika itulah
muncul Soetisna. Maksudnya, katanya, cuma ingin mengatakan
kepada Indra: ah, mungkin surat itu hanya main-main saja.
Sehabis menyulut rokok lalu ia pergi dari sana bersama Aep.
Maksudnya hendak terus makan baso di Jalan Banceuy. Tapi baru
saja turun dari sepeda motor, Soetisna dan Aep disergap beberapa
orang polisi. Langsung diborgol. Rupanya polisi mencurigai
Soetisna dan kawannya yang mendekati Indra di Nusantara. Tapi
baiklah. Sebenarnya tugas polisi selesai -- kalau memang mereka
telah berhasil memborgol tangkapannya. Tapi ternyata Soetisna
dihajar di tempat. Apalagi setelah mereka menemukan sepucuk
pistol FN 45 dari pinggang Soetisna.
Sampai di kantor polisi pun Soetisna tetap dihajar. Dia harus
mengaku sebagai pemeras Indra. Berkali-kali Soetisna
menjelaskan. Tapi tak dapat diterima polisi. Urusan baru beres
ketika Indra sendiri datang menjelaskan. Apalagi belakangan
polisi baru mengetahui, Soetisna itu adalah perwira intel
berpangkat Kapten. Tapi sudah terlanjur runyam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini