Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Sudah Sial, Tambah Sial

Banyak tahanan diperlakukan sewenang-wenang oleh polisi. Dari siksaan ringan sampai yang terberat. Padahal banyak yang salah tangkap. Yang mengalami hal itu misalnya Abdulladi dan Samiyo.

30 Desember 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KESILAPAN boleh saja terjadi pada aparat penegak hukum sekalipun. Misalnya keliru menangkap orang baik-baik karena disangka buronan. Yang runyam ialah bila korban salah comot begit ternyata juga menjadi korban kesengajaan aparat hukum yang berbuat sewenang-wenang. Yang terlanjur runyam begitu misalnya:  Abdulladi, 33 tahun, penduduk Desa Noyontakan di Pekalongan. Dia mengeluh tersendat-sendat begitu keluar dari tahanan yang berwajib: telinga kanan, katanya, sekarang jadi tuli. Kedua belah kakinya selalu terasa lemas. Dia harus menyangga tubuhnya dengan tongkat untuk sekedar berjalan saja. Dada terasa sesak dan membuatnya tak bisa tidur sepanjang malam. Dia sudah ke dokter dan dironsen. Katanya, ada yang tak beres di sekitar lehernya, seperti bekas cekikan dan cidera di lambung sebelah kanan. Rupanya sebuah cerita sial telah dialaminya -- seperti diungkapkan Dulladi sendiri kepada Churozi Mulyo dari TEMPO. Dulladi pedagang kue bolang-baling. Gagal menjadi petani tembakau sampai rumahnya tergadai, dia terhibur oleh tawaran yang aneh dan memberinya banyak harapan. Supeno dan Abu, temannya, membawa kabar: ada seorang profesor dari Ungaran menginginkan sebuah batu permata sakti yang punya khasiat dapat membuat kebal, anti peluru bahkan dapat membuat rambut dan kuku pemiliknya tak dapat dipotong. Profesor itu, kata kedua temannya tadi, sanggup membayar Rp 80 juta kepada siapa yang dapat menemukan permata sakti itu. Kesanggupan pembayaran sudah dinyatakan secara tertulis. Komando Jihad Dengan tawaran aneh itu Dulladi dan Supeno dibawa oleh Muhammad ke Jatibarang. Di sana mereka ketemu Dakim dan Umar. Yang terakhir ini menyatakan sanggup mengadakan batu ajaib dengan harga Rp 25 juta. Urusan batu sakti dilanjutkan empat hari kemudian, sekitar 10 Oktober, di rumah Umar di Desa Kabunan Kecamatan Slawi. Umar, menurut Dulladi, telah memperoleh batu sakti pesanan itu dari Kyai Asnawi. Pertemuan mereka dibuka dengan pertunjukan aneh. Dakim, yang katanya memang biasa berjual obat kebal (segram Rp 2000, katanya), mempertunjukkan kebolehannya: Setelah minum obat jualannya sendiri, ia menghantam kepalanya dengan sepotong batubata. Bukan kepala Dakim yang remuk. Tapi batubata yang hancur. Tapi pertunjukan berikutnya tidak main-main lagi. Mendadak datang dua truk tentara dari Brigif Slawi, mengepung rumah Umar. Abdulladi dan Supeno tak sempat menghitung tentara yang tiba-tiba menodongkan karaben terkokang. Seisi ruang tamu di rumah Umar pun pada mengangkat tangan. Tapi rupanya sasaran tentara hanya Dulladi. Orang Pekalongan ini, tanpa ditanya ini dan itu terus dihajar. Sementara itu di luar rumah ramai juga: serentetan tembakan diperdengarkan penyergap -- entah untuk apa. Setelah itu Dulladi diikat, dari ujung kaki sampai ke pangkal paha, terus dibawa ke markas Brigif. Apa yang terjadi? Dulladi sendiri mula-mula tak tahu. Baru setelah berkali-kali disebut nama Farid Ghozali, buronan Komando Jihad, tahulah Dulladi tentara sudah keliru meringkus orang. Tapi para penyergap tak mau percaya begitu saja. Namun, walaupun kepalanya diinjak dengan sepatu lars, Dulladi toh tetap Dulladi juga -- bukan anggota Komando Jihad manapun. Entah siapa yang memberi info kepada Brigif. Dulladi sendiri menyangka Umarlah yang bertindak sebagai informan yang keliru mengenali orang. Dari Slawi Dulladi dibawa ke Jakarta. Sepanjang jalan setiap disebut nama Farid dan dia menggeleng berarti tumit sepatu bot singgah di kepala Dulladi. Baru setelah berhadapan dengan Satgas Intel Jakarta (Laksusda), Dulladi mendapat perlakuan sebagai manusia. Dia diberi makan, minum susu dan rokok kretek. Sayang seleranya sudah hancur. Pemeriksaan di Jakarta berjalan empuk. Dua orang wanita, tak diketahui Dulladi siapa memastikan Dulladi bukan Farid. Maka dengan sepucuk surat jalan yang ditandatangani Letkol Syafei, berikut sekedar permintaan maaf dan bekal Rp 20 ribu, Dulladi boleh pulang kampung. Kepala Pusat Penerangan Laksusda Jakarta, Letkol Anas Malik, membenarkan kasus salah tangkap tersebut. "Soalnya potongan Dulladi mirip Farid," kata Anas. Dulladi sebenarnya tak ingin menganggap perkaranya selesai begitu saja. Dia memang terhibur dengan keinginan Walikota Pekalongan yang hendak menyantuninya. Tapi bagaimanapun dia ingin mencoba menyalurkan keinginan hati nuraninya melalui pengaduan kepada Pangkopkamtib Sudomo.  Tak ada yang perlu ditutupi Raden Sumadi alias Samiyo, 32 tahun. Dia memang residivis. Penduduk desa Watukarung Kabupaten Sleman (Yogyakarta) ini, mengakui pernah dibui. Pertama ketika ia dihukum 4 bulan penjara karena mencuri sepeda. Kemudian masuk lagi 3 bulan untuk kejahatannya mencuri ayam. Tapi itu dulu. Sekarang ia bersumpah sama sekali tak terlibat urusan pencurian uang Rp 1 juta di sebuah tempat di Magelang. Tapi kepolisian Magelang Juni lalu tetap saja menuduhnya sebagai pencuri. Bukti tak ada. Namun selama 14 hari menahan Samiyo kepolisian Kores 971 Magelang berusaha keras memeras pengakuan pesakitannya. Menurut Samiyo selama dalam tahanan polisi hanya dua hari ia dapat keringanan, selebihnya adalah hari-hari penuh penyiksaan. Segala mistar segitiga, cambuk dari kulit sapi, pipa besi, alat penyetrom ikan dan api rokok adalah sarapan, makan siang dan makan malam yang disediakan polisi baginya. Belum lagi kalau ada anggota polisi iseng: sekedar ingin menggampar atau menendang. Selama tiga hari berturut-turut Samiyo, katanya, juga disabung dengan tahanan lain bernama Ramidi. Acara 'adu ayam' begitu baru dihentikan setelah kedua orang sabungannya babak belur. Samiyo hafal satu persatu 11 orang oknum polisi yang menanganinya. Yaitu dua orang perwira muda, seorang sersan dan 8 orang berbalok satu di lengannya. Teman-teman setahanan juga boleh ditanya katanya. Seperti Slamet Braga, Tamyis, Sri atau Yatno. Bahkan Slamet bin Kardimiyo dalam pernyataan tertulisnya yang disampaikan kepada advokat Marhaban Zainun SH, pembela Samiyo, berani memberi kesaksian. Polisi tentu tidak merasa perlu memintakan visum dokter bagi pesakitannya yang teraniaya. Hingga hanya sekedar bekas luka-luka kecil saja yan dapat dipertunjukkan Samiyo sekarang -- bila ada yang menanyakan keadaannya. Penderitaan Samiyo berakhir dua hari sebelum perkaranya dilimpahkan ke kejaksaan. Awal Nopember lalu Samiyo baru benar-benar lega. Pengadilan akhirnya membebaskannya dari segala tuduhan dan tuntutan hukum. Dia memang tak terbukti bersalah. Hakim Nyonya Soetrisno SH tentu tak mendasarkan keputusannya pada kesalahan polisi menangkap tertuduh. Hanya disebutkan Samiyo mempunyai alibi yang kuat: dia berada di tempat lain ketika peristiwa pencurian terjadi. Samiyo yang harus dicari polisi, sebenarnya bukan Samiyo yang bernama asli Raden Sumadi. Pada waktu pencurian terjadi banyak saksi dapat menyatakan Samiyo alias Sumadi sedang bertugas mengirim tebu ke pabrik gula Madukismo II. Sinder dan mandor pabrik juga dapat bersaksi begitu. Tapi Ramidi, yang lebih dulu ditangkap polisi, celakanya tetap menunjuk Samiyo yang Raden Sumadi itu sebagai rekan sekomplotan. Dari tuduhan Ramidi dan bantahan Samiyo itulah barangkali yang memberi ide polisi untuk mengadu saja keduanya dalam arena sabungan. Begitu bebas dari urusan yang sial itu Samiyo berhubungan dengan advokat Marhaban Zainun. Selain membuat pengaduan pidana juga akan digarap perkara perdatanya menuntut ganti rugi dan rehabilitasi nama baik Samiyo. Kepada Kepolisian Jawa Tengah, Kadapol IX, serta Menteri Hankam di Jakarta telah dikirim surat protes. Sambutannya baik. Sebuah tim pengusut dari kepolisian turun ke Magelang. Menurut Samiyo, yang tidak diberitahu apa hasil pengusutan tim dari Semar ang itu, dia malah ditawari perdamaian saja. Tapi Samiyo menolak, sekeras ketika ia ditawari perdamaian oleh petugas pemeriksanya dulu yang minta Rp 500 ribu kalau tidak mau digebuki dalam tahanan. Komandan Kores Magelang tak bersedia mencocokkan cerita Samiyo dengan keterangan versi polisi. Tak ada komentar. Jadi panjang atau pendek kelak proses gugatan Samiyo, masih harus ditunggu. Soetisna  Soetisna dari Bandung, tak hendak memperpanjang urusan walaupun badannya telah babak belur dihajar polisi. Dia tahu "soal salah tangkap, mah bisa." Hanya bila kesalahan 'kecil' itu lalu diikuti dengan kesengajaan lain yang terang-terangan disadari keluar rel, Soetisna menganggapnya sudah kelewatan. Peristiwa terjadi masih pada hari-hari sekitar turunnya perintah para puncak pimpinan penegak hukum kepada bawahannya untuk berlaku manis kepada semua pesakitan. Indra, seorang pengusaha, diancam dan diperas Rp 500 ribu melalui sebuah surat yang tak dikenal pengirimnya. Dia menghubungi Soetisna. Kawannya ini menyarankan agar Indra melapor ke polisi. "Saya sendiri ingin menyaksikan peristiwa itu," kata Soetisna. Segala sesuatunya diatur agar Indra seolah-olah memenuhi tuntutan pemerasnya. Namun hingga jam tiga sore, dua minggu lalu, Indra yang berdiri di depan gedung bioskop Nusantara, di alun-alun Bandung tak ditegur oleh siapapun. Ketika itulah muncul Soetisna. Maksudnya, katanya, cuma ingin mengatakan kepada Indra: ah, mungkin surat itu hanya main-main saja. Sehabis menyulut rokok lalu ia pergi dari sana bersama Aep. Maksudnya hendak terus makan baso di Jalan Banceuy. Tapi baru saja turun dari sepeda motor, Soetisna dan Aep disergap beberapa orang polisi. Langsung diborgol. Rupanya polisi mencurigai Soetisna dan kawannya yang mendekati Indra di Nusantara. Tapi baiklah. Sebenarnya tugas polisi selesai -- kalau memang mereka telah berhasil memborgol tangkapannya. Tapi ternyata Soetisna dihajar di tempat. Apalagi setelah mereka menemukan sepucuk pistol FN 45 dari pinggang Soetisna. Sampai di kantor polisi pun Soetisna tetap dihajar. Dia harus mengaku sebagai pemeras Indra. Berkali-kali Soetisna menjelaskan. Tapi tak dapat diterima polisi. Urusan baru beres ketika Indra sendiri datang menjelaskan. Apalagi belakangan polisi baru mengetahui, Soetisna itu adalah perwira intel berpangkat Kapten. Tapi sudah terlanjur runyam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus