Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JENDERAL Endriartono Sutarto Kamis pekan lalu mensomasi harian The Washington Post melalui kuasa hukumnya, Frans Hendrawinata dan Trimoelja D. Soerjadi. Panglima TNI ini memberikan 14 hari bagi harian Amerika tersebut untuk meralat melalui iklan. Jika hal itu tidak dilakukan, kata Frans, "Panglima TNI akan melakukan gugatan perdata."
Iklan permintaan maaf harus dimuat di beberapa surat kabar. Selain di Washington Post dan media dalam jaringannya sendiri, iklan juga harus dipasang di harian terkemuka Indonesia serta di beberapa media asing yang pernah mengutipnya. Ukuran iklannya minimal seperempat halaman koran.
Pada terbitan 3 November lalu, Post memberitakan keterlibatan Endriartono dalam penyerangan PT Freeport di Timika. Artikel berjudul "Indonesia Military Allegedly Talked of Targeting Mine" itu memberangkan sang Jenderal.
Menurut Kepala Pusat Penerangan Mayor Jenderal TNI Sjafrie Sjamsoedin, pihak TNI telah mengirim tim untuk menyelidiki tuduhan Post. Namun mereka tak menemukan bukti maupun saksi seperti yang diuraikannya. Berita itu dianggap merusak citra TNI dan pemerintah Indonesia.
Lagi, Pekerja Exxon Diculik
PENCULIKAN oleh kelompok bersenjata terhadap pekerja ladang minyak Exxon Mobil kembali terjadi. Menurut juru bicara Exxon Mobil Oil Indonesia, Deva Rachman, insiden itu terjadi di Desa Teupin Punti, Syamtalira Aron, Aceh Utara—sekitar 4 kilometer dari kantor Exxon. Tiga orang yang menjadi korban adalah Syarifuddin (mekanik), Iskandar (bagian gudang), dan Syamsul (mekanik).
Mereka diculik di bawah todongan senjata ketika sedang pulang dari tempat kerja ke rumahnya di Lhokseumawe. Manajemen Exxon bersama BP Migas, yang bertanggung jawab terhadap keamanan daerah operasi ladang gas Arun, sedang berupaya menemukan para korban.
Bom Manado: Polisi Salah Tahan?
POLISI diduga merekayasa kasus bom Manado—yang muncul dari pengakuan Jouke Herman Esau Tambani atau Oko, 56 tahun, tersangka kasus tersebut, beserta keluarganya, sejumlah tersangka, dan saksi-saksi dekat. Jouke, yang dijerat dengan Pasal 6 Perpu No. 1/2002, ternyata hanya sial. Namun Kepolisian Daerah Sulawesi Utara tetap ngotot bahwa Jouke tersangka pelaku peledakan Konsulat Filipina di Manado, Oktober lalu.
Toh, menurut versi polisi, motif peledakan adalah sakit hati pekerja lokal terhadap pekerja Filipina di perusahaan tambang emas di Desa Tatelu, Dimembe. Belakangan ini mereka keluar dan mengolah sendiri ampas tambang emas dengan sianida. Ternyata hasilnya bagus—yang mendorong pekerja lokal ingin mempelajarinya. Karena ditolak, pekerja lokal berusaha mengusir pekerja pendatang itu dengan berunjuk rasa ke Konsulat Filipina. Tapi demonya tak membuahkan hasil, hingga pengeboman pun dipilih, menurut polisi.
Namun para tersangka membantahnya. Menurut Oko, yang diperkuat kesaksian warga, tuduhan atas dirinya tidak berdasar. Sebab, pada malam ledakan itu, 12 Oktober 2002, ia sedang minum minuman keras Cap Tikus di Desa Tatelu. Ia membonceng pada Idris Uno untuk menemui istri simpanannya di Manado. Sialnya, karena mabuk, Oko salah ketuk pintu rumah orang dan diringkus, lalu diserahkan oleh seorang bintara ke polisi Manado. Esoknya, ia dituduh sebagai pelaku pengeboman Konsulat Filipina.
Karena menganggap polisi salah tangkap, keluarga Oko dan tersangka lainnya kini mengadu ke Markas Besar Kepolisian RI dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Sejauh ini, hanya komisi tersebut yang merespons pengaduan mereka. Fajar W.H., Tempo News Room
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo