Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

ISIS Hilang Jamaah Terbilang

Jaringan Jamaah Ansharut Daulah tetap bergeliat meskipun ISIS diyakini sudah runtuh. Menyebarkan propaganda di media sosial.

3 April 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Petugas kepolisian melakukan pemeriksaan di sekitar sisa-sisa ledakan bom bunuh diri di depan Gereja Katedral, Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu 28 Maret 2021./TEMPO/Iqbal Lubis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Densus 88 menahan sejumlah orang setelah bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makassar.

  • Jamaah Ansharut Daulah terus menyebarkan paham lewat media sosial.

  • Pemimpin JAD terakhir pernah bergabung dengan Front Pembela Islam.

GILANG Nabaris sempat mengagumi gagasan sistem khilafah yang diusung kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) karena dianggap bisa menciptakan keadilan. Ia mendapatkan pemahaman itu dari pengajian rutin Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang diselenggarakan berpindah-pindah. Materi pengajian, kata Gilang, kerap menyinggung “perjuangan” ISIS bagi korban kemanusiaan di Timur Tengah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Saya merasa berempati dengan penderitaan mereka,” ujarnya dalam siaran YouTube di kanal Najwa Shihab. Kepada Tempo pada Jumat, 2 April lalu, Gilang mempersilakan pernyataannya kembali dikutip.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gilang pernah mengikuti pelatihan fisik agar mendapat kesempatan bergabung dengan milisi ISIS. Tapi harapan pergi ke Negeri Syam kandas setelah Detasemen Khusus 88 Antiteror menciduknya pada 2018. Ia ditangkap ketika hendak mengirimkan bantuan dana untuk jaringan JAD di Filipina. Belakangan, Gilang menyesali kesalahannya bergabung dengan kelompok tersebut.

Jamaah Ansharut Daulah didirikan oleh terpidana terorisme Aman Abdurrahman di Batu, Jawa Timur, pada 2015. Setelah berbaiat kepada ISIS yang dipimpin Abu Bakar al-Baghdadi, yang memproklamasikan berdirinya sebuah khilafah di antara wilayah Suriah dan Irak pada 2014, JAD mengirimkan ratusan anggotanya ke Suriah. Sebagian lain melancarkan teror di Indonesia, seperti mengebom gereja dan kantor polisi di Surabaya.

Setelah Al-Baghdadi dinyatakan tewas pada 2019 dan wilayah ISIS kembali direbut pemerintah Irak dan Suriah, keinginan untuk menjalankan teror oleh simpatisannya tak otomatis lenyap. Menurut Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Komisaris Jenderal Boy Rafli Amar, sebelum tewas, Al-Baghdadi memerintahkan simpatisan ISIS melakukan amaliyah di negara masing-masing. Perintah itu disambut anggota JAD di Indonesia.

Yang terbaru, sepasang suami-istri, Muhammad Lukman Alfarizi-Yogi Safitri Fortuna, berusaha mengebom Gereja Katedral Makassar pada Ahad, 28 Maret lalu. Polisi mengidentifikasi keduanya bagian dari kelompok Jamaah Ansharut Daulah yang pernah melakukan terorisme di Jolo, Filipina, pada 2018.

Lukman dan Yogi dinikahkan pentolan Jamaah Ansharut Daulah, Muhammad Rizaldy, pada pertengahan 2020. Rizaldy, warga perumahan Villa Mutiara, Makassar, tewas bersama menantunya, Sanjai Ajis, saat akan diringkus Densus 88 pada 6 Januari lalu. “Sebelum bom di gereja Makassar, sudah ada 24 tersangka kami tahan atau tewas, termasuk Rizaldy,” ucap Boy Rafli.

Koordinator Tim Pengacara Muslim (TPM), Ahmad Michdan, di Jakarta, 21 Januari 2019. Tempo/M Taufan Rengganis

Selain menggerebek Rizaldy, kata Boy Rafli, Densus 88 meringkus tokoh Jamaah Ansharut Daulah lain bernama Bustar. Rizaldy dan Bustar adalah bagian dari kelompok Muhammad Basri alias Abu Saif, terpidana kasus terorisme. Basri, Amir JAD Sulawesi Selatan, meninggal akibat sakit pada Juli 2018 saat ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. “Mereka aktif mengembangkan sel-sel baru JAD di wilayah Sulawesi Selatan,” tutur Boy Rafli.

Menurut Boy Rafli, polisi berupaya meredam gerakan Jamaah Ansharut Daulah dengan menangkap sejumlah tokohnya. Pemimpin JAD, Aman Abdurrahman, pun sudah dijatuhi hukuman mati pada 2018. Tapi, di bawah tanah, sel-sel kelompok ini masih hidup. Boy Rafli mengatakan penyebaran ideologi ISIS belakangan dilanjutkan oleh Zainal Anshori alias Abu Fahry alias Qomaruddin. Zainal, yang kini didaulat sebagai Amir Jamaah Ansharut Daulah Nusantara, pernah bergabung dengan Front Pembela Islam pada 2005-2008.

Sidney Jones, Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict, lembaga peneliti terorisme, mengatakan Jamaah Ansharut Daulah dengan Front Pembela Islam sebenarnya berbeda haluan. “Imam Besar FPI Rizieq Syihab menjalani proses pidana salah satunya karena menggelar acara Maulid. Sementara itu, di JAD, Maulid dianggap bidah,” katanya. Meski begitu, menurut Jones, bisa jadi di akar rumput anggota kedua organisasi tersebut beririsan.

Jones mengatakan masih suburnya dukungan terhadap ideologi ISIS seperti yang dianut JAD salah satunya karena faktor narasi akhir zaman yang terus didengung-dengungkan. Para simpatisan meyakini Abu Bakar al-Baghdadi laiknya Imam Mahdi yang bakal memimpin kebangkitan Islam di bawah bendera khilafah.

Peneliti Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Universitas Indonesia, Solahudin, menilai penyebaran paham Jamaah Ansharut Daulah meluas lantaran kelompok tersebut kerap memanfaatkan media sosial sebagai medium propaganda. Ruang itu mereka gunakan secara optimal lantaran pengajian tatap muka kerap terdeteksi penegak hukum. “Apalagi setelah pengesahan revisi Undang-Undang Terorisme. Setiap aktivitas yang mengarah pada aktivitas terorisme bisa cepat ditindak,” ujarnya.


“Mereka ini bisa bergerak sendiri tanpa menunggu perintah, seperti penyerangan di Mabes Polri kemarin.”



Menurut Solahudin, basis gerakan Jamaah Ansharut Daulah terdeteksi di sembilan wilayah, yakni Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Lampung, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Maluku, dan Kalimantan Timur. Dari semua wilayah itu, kata dia, hanya Sulawesi Selatan yang masih menggeliat. Kekuatan JAD di kota lain mulai melemah seiring dengan banyaknya penangkapan oleh polisi.

Solahudin menyinggung penangkapan simpatisan Jamaah Ansharut Daulah pada 2020 yang hanya berjumlah 12 orang. Padahal penangkapan simpatisan JAD tahun sebelumnya lebih dari 100 orang. Ia mengingatkan penegak hukum untuk mewaspadai sel-sel JAD yang terputus dari induknya. “Mereka ini bisa bergerak sendiri tanpa menunggu perintah, seperti penyerangan di Mabes Polri kemarin,” tuturnya.

Achmad Michdan dari Tim Pengacara Muslim, yang kerap memberikan bantuan hukum kepada tersangka kasus terorisme, mengaku banyak menerima permohonan bantuan belakangan ini. “Jumlah permohonan mendekati 100,” ujarnya. Permohonan bantuan hukum, kata Michdan, datang dari istri atau orang tua tahanan. Mereka mengaku tinggal di Jakarta, Surabaya, Lampung, hingga Payakumbuh, Sumatera Barat. Sebagian di antaranya meminta Tim Pengacara Muslim meluruskan kaitan anggota keluarga mereka dengan Jamaah Ansharut Daulah.

Michdan mempertanyakan alasan penangkapan sejumlah orang oleh Detasemen Khusus 88 setelah bom bunuh diri di Makassar. Menurut dia, penahanan tersebut harus didahului oleh bukti permulaan yang meyakinkan. Jika hanya didasari kecurigaan bahwa mereka simpatisan Jamaah Ansharut Daulah, penangkapan tidak bisa dibenarkan. “Harus ada bukti bahwa mereka terlibat terorisme,” katanya.

RIKY FERDIANTO 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Riky Ferdianto

Riky Ferdianto

Alumni Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2006. Banyak meliput isu hukum, politik, dan kriminalitas. Aktif di Aliansi Jurnalis Independen.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus