Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEREMPUAN sepuh mendekap erat foto berpigura Raja Keraton Yogyakarta 1940-1988, Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Berkerudung merah dan berkain jarit, Mbah Mugi—nama perempuan itu—ditemani ceret dan topeng. Dia membelakangi papan bertulisan “Terima Kos Segala Bangsa” yang menempel pada dinding.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lukisan berjudul Mbah Mugi karya perupa Ignasius Dicky Takndare itu satu dari 37 karya seniman yang tampil dalam pameran bertajuk “Tahta untuk Rakyat” di Jogja Gallery, Yogyakarat, 19 Maret-25 April 2021. Judul pameran yang dikuratori Suwarno Wisetrotomo dan Sri Margana itu mengacu pada buku bertajuk Takhta untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX yang disunting Atmakusumah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karya lukisan di atas kanvas berukuran 160 x 120 sentimeter itu berangkat dari pengalaman Dicky saat sulit mencari rumah kontrakan di Yogyakarta. Perupa 33 tahun asal Sentani, Papua, itu pernah ditolak lima pemilik rumah. Belakangan ini, orang-orang Papua di Yogyakarta kerap mendapat stigma sebagai tukang onar.
Suatu hari, saat Dicky menyusuri Desa Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Bantul, ia bertemu dengan Mbah Mugi. Dicky kagum kepada Mbah Mugi, yang dengan senang hati menerima seniman tersebut indekos di rumahnya. Bahkan Mbah Mugi yang sangat ramah itu kerap membuatkan jamu saat dia sakit.
Rupanya, pertemuan dengan Mbah Mugi sekitar empat tahun lalu itu memberikan kesan mendalam dan menginspirasi seniman alumnus Institut Seni Indonesia Yogyakarta tersebut. Dicky menciptakan lukisan yang menjadi sampul buku katalog pameran. Panitia pameran bahkan mendatangkan Mbah Mugi dalam pembukaan pameran. “Lukisan Mbah Mugi ini sentilan terhadap situasi Yogyakarta yang berubah,” kata Dicky, Kamis, 1 April lalu.
Dorodjatoen dan Bunga Rumput Ilalang karya Dyan Anggraini pada pameran berjudul Tahta Untuk Rakyat di Jogja Gallery, 31 Maret 2021. TEMPO/Shinta Maharani
Dicky merindukan Yogyakarta yang dikenal sebagai tempat yang terbuka bagi siapa pun tanpa membedakan golongan dan kelompok etnis tatkala dipimpin Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Dicky juga banyak mendengar cerita tentang Hamengku Buwono IX sebagai raja yang sederhana dan dekat dengan rakyat. Cerita itu ia dapatkan dari warga yang sedang berjaga di pos ronda. Sultan kerap menjumpai orang-orang yang tengah berada di angkringan, warung kopi, dan pasar tradisional. Kesederhanaan Sultan itu ia temukan pada sosok Mbah Mugi.
Selain mengeksplorasi warisan atau nilai-nilai yang dimiliki Sultan, pameran itu menampilkan lukisan yang bercerita tentang kehidupan Sultan, dari kelahirannya hingga dewasa, pengangkatannya menjadi raja, perjuangan diplomasi dan revolusi kemerdekaan yang ia lakukan, sampai wafatnya. Tengoklah karya perupa Dyan Anggraini berjudul Dorodjatoen dan Bunga Rumput Ilalang. Lukisan berukuran 145 x 195 sentimeter itu menggambarkan kelahiran bayi yang diberi nama Dorodjatoen.
Bayi berselimut batik klasik motif semen gurda itu berada di atas hamparan bunga ilalang. Rumput alang-alang dikenal sebagai jenis tanaman yang tahan hidup dalam segala cuaca. Ilalang ini menjadi perumpamaan rakyat. “Gambaran raja berada di atas sekaligus di tengah rakyat,” ujar Dyan.
Dyan menelusuri sumber atau dokumen kelahiran bayi tersebut. Menjelang tengah malam pada Sabtu Pahing, 12 April 1912, lahirlah Dorodjatoen di kediaman Gusti Pangeran Haryo Puruboyo di Kampung Sompilan, Jalan Ngasem 13, Yogyakarta, atau Pakuningratan.
Dia menemukan horoskop Jawa atau wuku Dorodjatoen, yakni Manahil, nama anak ke-21 dari tokoh wayang Prabu Watugunung dengan Dewi Sinta. Raden Manahil dalam lukisan itu digambarkan tengah menghadap Batara Citragotra. Keduanya punya ikatan erat seperti murid dan guru. Orang dengan wuku Manahil berwatak menjaga bicara dan tingkah laku, tekun, rajin, tegas, serta senang berdamai. Dalam lukisan itu juga muncul citraan buku dan pensil.
Hampir semua pelukis merujuk pada narasi yang disusun sejarawan Universitas Gadjah Mada, Sri Margana. Margana membuat narasi sebagai panduan bagi semua perupa agar tidak keluar dari penggalan hidup Hamengku Buwono IX. Semua narasi berpijak pada foto-foto dokumentasi hasil penelusuran Margana di Leiden, Belanda. Ada juga foto Sultan sewaktu remaja yang didapatkan dari Keraton Kilen. Sebagian foto yang dipajang di ruangan galeri belum pernah dipublikasikan.
Para seniman menerjemahkan dokumen tersebut pada setiap lukisan. Tapi tidak semua perupa setia sepenuhnya kepada narasi sejarah yang disodorkan. Lihatlah lukisan Haris Purnomo berjudul Kanjeng Nyai Piturun yang diciptakan pada 2020. Dalam lukisan itu terlihat seorang perempuan mengenakan kain bermotif parang sedang menerima keris. Di samping kanan perempuan itu, ada wajah Hamengku Buwono IX saat ia menjadi Wakil Presiden Indonesia berlatar Pagelaran Keraton Yogyakarta.
Lewat lukisannya itu, Haris menyindir estafet kepemimpinan raja yang selalu maskulin dengan simbol Kiai Joko Piturun. Karakter Nyai Sri Piturun dalam lukisan itu hendak mengingatkan bahwa raja dilahirkan seorang ibu. “Itu pelesetan. Haris menunjukkan pentingnya perempuan,” tutur Suwarno.
Lain halnya dengan maestro seni lukis Djoko Pekik. Perupa 84 tahun yang berkukuh mendatangi pameran selepas menjalani operasi tulang kaki kiri karena kecelakaan ini menciptakan lukisan tentang mangkatnya Hamengku Buwono IX. Karya berjudul Kawulo Gonjang-ganjing di Plengkung Gading itu bercerita tentang kerumunan orang yang mengiringi pemakaman Sultan di jalan dari pintu keluar Plengkung Gading menuju makam raja-raja di Pajimatan, Wukirsari, Imogiri, Bantul.
Djoko menciptakan lautan manusia yang mengelilingi perarakan jenazah Hamengku Buwono IX di jalan dalam lukisan berukuran 135 x 220 sentimeter itu. Perupa yang pernah berhimpun di Lembaga Kebudayaan Rakyat itu takjub atas peristiwa yang terjadi pada 1988 tersebut. Saat itu ia melihat dari dekat proses pemakaman Sultan. Menurut dia, semua orang menunduk dan tak ada yang berbicara. “Merinding,” ucapnya.
Kawulo Gonjang-Ganjing di Plengkung Gading karya perupa Djoko Pekik .TEMPO/Shinta Maharani
Pengalaman itu membuat Djoko terkesan. Kemudian dia melukisnya pada 1989. Sembari mendengarkan siaran radio, ia menciptakan karya itu dalam lima jam. Ia merasa mendapat energi lebih karena pengalaman yang mendalam sehingga bisa merampungkan karyanya dalam waktu cepat. Menurut Sri Margana, kematian Sultan yang menyedot perhatian itu memberikan pesan kuat tentang seorang pemimpin yang dekat di hati rakyat.
Selain menyajikan lukisan, pameran itu menampilkan foto-foto Hamengku Buwono IX yang Margana dapatkan dari Universiteit Leiden. Dia mencontohkan foto Sultan saat berumur 4 tahun yang dititipkan kepada orang Belanda, Johannes Bernard Tjebbes Mulder. Mulder adalah kepala Neutrale Hollands Javaanse Jongen School yang tinggal di Gondokusuman, Yogyakarta. Ada juga foto Sultan saat bocah yang bertelanjang dada sedang bersandar di bibir sumur bersama lima anak Eropa.
Sultan juga berfoto dengan anak-anak abdi dalem. “Dorodjatoen remaja juga bergaul luas dengan rakyat biasa sekalipun dia anak raja dan tinggal dengan keluarga Belanda,” ujar Margana. Dorodjatoen adalah nama Hamengku Buwono IX sebelum dinobatkan sebagai Sri Sultan.
Margana menjelaskan, dokumen berupa foto itu ia dapatkan tiga tahun lalu. Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Istimewa Yogyakarta memintanya meneliti arsip-arsip yang berada di Belanda. Di sana, ia menemukan foto-foto saat Dorodjatoen sekolah, mengikuti orientasi, dan menjadi anggota organisasi kemahasiswaan. Ada juga foto ketika Dorodjatoen mendaftar sebagai calon mahasiswa Leiden. “Foto-foto itu mendukung cerita Hamengku Buwono IX dari lahir hingga meninggal,” katanya.
Dokumen itu, Margana menambahkan, sangat penting untuk menuntun seniman memahami konteks sejarah. Saat memvisualkan suasana, wajah, dan tubuh Sultan, mereka tidak akan jauh dari fakta sejarah. Tapi beberapa seniman sering menginginkan lebih dari sekadar fakta sejarah. Ada juga yang membicarakan nilai-nilai warisan Sultan. “Keteladanan Hamengku Buwono IX penting dalam situasi Indonesia yang pecah karena konflik identitas,” tutur Margana. “Rindu pemimpin yang dekat dengan rakyat.”
SHINTA MAHARANI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo