Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sineas dan aktivis Sanaa Seif dipenjara setelah memprotes penahanan saudaranya.
Sejumlah organisasi hak asasi manusia memprotes pemenjaraannya.
Dia lahir dari keluarga revolusioner yang terlibat dalam unjuk rasa besar di Lapangan Tahrir.
"MESIR adalah hubungan yang belum bisa saya elakkan dan meremukkan hati berulang kali #FreeAlaa #FreeSanaa," Mona Seif mencuit di Twitter pada Senin, 29 Maret lalu. Aktivis Mesir itu adalah saudara Alaa Abdul Fattah dan Sanaa Seif, yang dipenjara rezim Presiden Abdul Fattah as-Sisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sanaa Seif, yang ditabalkan sebagai "simbol revolusi Mesir" oleh media independen Middle East Eye, dihukum satu setengah tahun bui di penjara perempuan Al-Qanater pada 18 Maret lalu. Pengadilan menyatakan gadis 27 tahun itu terbukti bersalah karena "menyebarkan berita palsu" mengenai wabah Covid-19 di penjara Tora di Kairo serta mencederai "status dan kehormatan" pegawai penjara tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus itu bermula ketika Sanaa melakukan aksi duduk bersama Mona Seif dan ibunya di depan Tora, penjara tempat Alaa ditahan, pada Juni 2020. Mereka kemudian diserang serombongan perempuan. Sanaa merekam serangan ini dan menyebarkan rekamannya ke media sosial. Ketika mereka hendak mengadukan penyerangan ini ke polisi, Sanaa diculik di depan kantor kejaksaan dan belakangan diketahui ditahan polisi.
Sebelum ditahan, Sanaa memprotes kondisi tidak sehat di penjara Tora yang padat. Dia cemas terhadap nasib Alaa dan tahanan lain yang berisiko tinggi tertular Covid-19. Protes itu ia sampaikan di media sosial.
Pada pertengahan tahun lalu, Human Rights Watch menyatakan sedikitnya 14 narapidana dan tahanan meninggal—sebagian besar diduga terinfeksi Covid-19—di sepuluh penjara di Kairo. Meski angka kasus itu kecil, para tahanan yang memiliki gejala Covid-19 ringan tidak mendapat pelayanan medis memadai dan tak memperoleh akses untuk dites virus corona. Pemerintah memang telah membebaskan sekitar 13 ribu narapidana, tapi itu belum cukup mengurangi kepadatan penjara. "Kasus ini sebenarnya berpusat pada tuduhan bahwa Sanaa bekerja sebagai agen luar negeri untuk merusak keamanan dan citra negara," kata Mona kepada The New Arab.
Sejumlah lembaga hak asasi internasional memprotes hukuman Sanaa. "Sanaa Seif dan keluarganya telah bertahun-tahun mengalami pelecehan dan intimidasi atas aktivisme hak asasi manusia mereka. Api peristiwa dalam dua hari terakhir menandai titik terendah baru," tutur Philip Luther, Direktur Riset dan Advokasi Amnesty International untuk Timur Tengah dan Afrika Utara, dalam pernyataannya. "Fakta bahwa Sanaa Seif diculik di luar kantor kejaksaan menunjukkan betapa kurang ajarnya aparat keamanan Mesir."
Sanaa Seif adalah putri bungsu pasangan Ahmad Seif al-Islam dan Laila Soueif. Ayahnya adalah pengacara terkemuka dan tokoh komunis Mesir yang dipenjara dua kali pada rezim Presiden Anwar Sadat dan dua kali di era Presiden Husni Mubarak. Ahmad meninggal pada 2014.
Ibu Sanaa, Laila Soueif, adalah profesor matematika di Cairo University dan pemimpin Gerakan 9 Maret yang mempromosikan kebebasan akademik di negeri itu. Al Jazeera menyebutnya sebagai "revolusioner Mesir". Dia saudara Ahdaf Soueif, novelis dan aktivis politik. Novel Ahdaf, The Map of Love (1999), masuk daftar pendek Man Booker Prize dan telah diterjemahkan ke 21 bahasa.
Mona Seif adalah kakak Sanaa. Dia lulusan jurusan biologi Cairo University dan terlibat aktif dalam berbagai protes yang berpuncak pada Revolusi 25 Januari, ketika ribuan orang berhimpun di Lapangan Tahrir pada 25 Januari 2011 untuk menuntut Presiden Husni Mubarak mundur. Dia turut mendirikan No to Military Trials for Civilians, gerakan yang menuntut pembebasan tahanan selama revolusi tersebut dan penghentian pengadilan terhadap para demonstran di pengadilan militer. Dia kini bekerja sebagai peneliti biologi dan aktif dalam gerakan menolak kekerasan.
Alaa Abdul Fattah merupakan anak tertua Laila. Dia adalah blogger, pengembang perangkat lunak, dan aktivis politik. Bersama istrinya, Manal Bahey al-Din Hassan, Alaa mendirikan Manalaa dan Omraneya, situs blog Arab pertama yang tanpa sensor. Pada 2005, Manalaa memenangi Special Reporters Without Borders Award dalam kompetisi blog terbaik Deutsche Welle. Ketika revolusi pecah di Lapangan Tahrir dan Internet dimatikan, dia sedang berada di luar negeri, tapi dapat menghimpun informasi melalui telepon mengenai hari-hari pertama revolusi dan menyebarkannya di Internet. Dia baru kembali ke Kairo beberapa hari kemudian.
Alaa beberapa kali diciduk polisi dan dipenjara karena memprotes pemerintah dan militer. Pada Februari 2015, dia dihukum lima tahun penjara karena terlibat dalam unjuk rasa tanpa izin. Dia dibebaskan pada Maret 2019, tapi dikenai wajib lapor selama lima tahun. Namun, pada Oktober 2019, ia kembali ditahan di penjara Tora. Penahanan terakhir inilah yang diprotes keluarganya, yang berujung pada penangkapan Sanaa tahun lalu.
Sanaa mulanya tak tertarik pada politik. Saat tumbuh dewasa, ia tak pernah ikut berdemonstrasi seperti yang dilakukan kakak-kakaknya. Unjuk rasa besar pertama yang dia hadiri adalah protes atas kematian Khaled Said, pemuda yang secara brutal dipukuli sampai mati oleh polisi di Aleksandria pada Juni 2010. Sejak itu, dia banyak terlibat dalam berbagai protes hingga bergabung dengan ribuan orang dalam revolusi di Lapangan Tahrir.
"Revolusi telah mengubahmu," ucap Mona kepada Sanaa ketika berbincang-bincang dengan wartawan majalah Bidoun setelah Mubarak lengser. "Kau dulu tidak begitu tertarik, misalnya, membicarakan soal foto-foto penyiksaan. Hal berikutnya yang kami tahu, kau malah pergi ke Lazoghly, ke markas keamanan negara, dan mencoba memukuli beberapa orang."
Biro Penyelidik Badan Keamanan Negara (SSI), lembaga keamanan dan intelijen dalam negeri Mesir, dulu berada di Lazoghly. Pemimpin SSI dituduh memerintahkan penembakan terhadap para demonstran di Lapangan Tahrir. Pemerintah kemudian membubarkan lembaga ini selepas revolusi pada 2011.
Sanaa pertama kali ditangkap pada 21 Juni 2014 karena ikut dalam protes menentang undang-undang unjuk rasa, yang melarang demonstrasi tanpa pemberitahuan kepada polisi. Pada Oktober tahun itu, Sanaa dan 22 terdakwa lain dijatuhi hukuman tiga tahun penjara.
Revolusi di Lapangan Tahrir pula yang mengilhami Sanaa untuk terlibat dalam pembuatan film dokumenter The Square pada 2013. Film tentang revolusi Mesir dari kacamata anak muda ini meraih banyak penghargaan internasional, termasuk dalam Sundance Film Festival dan Berlin International Film Festival. Sanaa kemudian juga menjadi editor dalam sejumlah film bertema politik, seperti In the Last Days of the City, Kiss Me Not, About Her, dan Daughters of Abdul-Rahman (2020).
"Saya mengenal Sanaa sejak 2012 dan saya segera menyadari energi serta kebaikannya saat berurusan dengan orang lain. Dia milik apa yang saya sebut sebagai generasi revolusioner murni," kata Abu Bakar, seniman mural Mesir yang melukis wajah Sanaa di salah satu tembok di Roma, Italia, pada 2015.
IWAN KURNIAWAN (MIDDLE EAST EYE, THE NEW ARAB, BIDOUN, BBC)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo