Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namanya Balthazar. Muda dan tampan, wajahnya mirip bintang- film Orlando Bloom. Dan di usia-nya yang ke-18 tahun, mahasis-wa Fakultas Hukum Universitas- Assas, Paris, ini punya pengalaman yang menarik tentang demonstrasi a-nti-undang-undang ketenagakerjaan yang baru (CPE).
”Pada Sabtu, 18 Maret lalu, saya pergi ikut demo bukan karena saya me-nolak undang-undang CPE, tetapi ka-rena,- menurut saya, kita tidak mungkin men-dapatkan info yang benar lewat pers. Ki-ta harus pergi ke sumber peristiwa- untuk bisa merasakan suasana dan mem-berikan makna kepada hal-hal yang kita saksikan secara langsung,” katanya.
Pada awal gerakan mahasiswa, bebe-rapa pemuda yang bukan mahasiswa hu-kum telah masuk ke fakultas Assas itu untuk mencoba membakar ruang-ruang kelas karena universitas itu mendukung partai-partai kanan dan politik peme-rintah. Sebenarnya, Balthazar tidak begitu suka suasana di fakultas hukum itu. Dia ingin pindah ke sekolah film untuk menjadi sutradara atau membuat sebuah majalah yang berani dan terbuka.
Balthazar hatinya gerah melihat masyarakat hanya jadi penonton—peno-n-ton tv, penonton iklan-iklan di kereta api bawah tanah. Ia membuat garis pemisah antara menonton dan bertindak. Orang-orang yang memimpin Prancis bu-kan tempat becermin. Ia menyebut orang-orang pemerintah hidup se-perti di zaman monarki, sangat mewah di Istana Elysée.
Bapak Balthazar adalah seorang peng-acara terkemuka. Ibunya, Marie-Laure de Decker, juga terkenal, tetapi sebagai fotografer. Sewaktu putranya pergi ke demo pada Sabtu itu, Marie-Laure tidak khawatir. Dia sendiri sejak usia muda te-lah terlibat dalam peristiwa yang jauh le-bih bersejarah. Pada 1970 dia terjun ke Vietnam, bekerja untuk agen foto Gamma. Dia juga meliput para pembe-ron-tak di Cad, Afrika. Namun, pada Sab-tu pukul 8 malam itu, dia mulai gelisah. Apakah itu naluri seorang ibu? Dia mencoba menghubungi Balthazar, te-tapi hand-phone putranya tidak tersam-bung. Memang, Balthazar tidak mengangkat hp-nya karena sedang berada di pusat pertempuran. Para polisi sudah mem-bubar-kan demo di Place de la Nation dan mereka mendorong sisa demonstran ke Avenue de Vincennes.
Balthazar mau mendekati pusat pertempuran: titik pertemuan antara para perusak dan kekuasaan negara. Di Ing-gris, polisi biasa bertugas sendiri dan tan-pa senjata, hanya membawa satu pentungan. Tapi di Prancis polisi selalu bertugas dalam bentuk rombongan seperti preman. Apalagi mereka sering melanggar hukum, menangkap dan menahan orang yang tidak membawa ktp selama empat jam di pos polisi. ”Padahal, dalam hukum Prancis orang tidak wajib membawa ktp di jalan. Tetapi polisi membuat hal itu wajib, seperti dulu di Afrika Selatan di bawah pemerintah apartheid, ketika orang berkulit hitam harus menunjukkan pass,” katanya.
Balthazar sedang memotret ketika ti-ba-tiba kepalanya dipukul polisi dari be-lakang. Dia jatuh ke jalan. Seorang polisi lain mengangkat dia dan menyuruh dia pergi: ”Cepat!” Balthazar menunjuk-kan tangannya yang penuh darah. Polisi tidak peduli. Akhirnya Balthazar dimasukkan ke truk pemadam kebakaran oleh kakaknya yang kebetulan juga ber-ada di demo itu dan diantar ke rumah sakit. Enam jahitan di ubun-ubunnya. Untung, lukanya tidak begitu parah, ha-nya kulitnya yang terkena. Pukul 24.00, dia sudah bisa pulang ke rumah bapaknya, rue de Varennes yang masih penuh dengan polisi karena Perdana Mente-ri Dominique de Villepin juga tinggal di jalan yang sama. Esoknya, Balthazar keluar dari rumah dan berjalan ka-ki di samping seorang polisi di rue de V-arennes.
Empat hari kemudian, Kamis 23 Maret, Balthazar kembali mengikuti demo. Kali ini ibunya juga ikut. Pada 1968, usia Marie-Laure baru 19 tahun. Tatka-la revolusi mahasiswa Prancis itu, dia bu-kan anggota Partai Trostkyis atau Maois, tetapi dia adalah seorang fotografer muda, bebas, yang curiga terhadap semua moto politik. Dia le-bih su-ka semboyan yang puitis seperti ”Di ba-wah batu-batu jalan ada pantai” atau ”Nikmati-lah tanpa batas!”. Spa-nduk dan poster diciptakan oleh sanggar se-kolah seni (Ateliers des Beaux Arts) dan ditempel di mana-mana di tembok Pa-ris. Tetapi hal yang paling menarik dan baru bagi Marie-Laure pada saat itu ada-lah orang-orang bisa berbicara satu sama lain tanpa saling mengenal se-belumnya.
Memang, sebelum revolusi mahasis-wa 1968, masyarakat Prancis sangat ter-tu-tup dan kaku. Tata cara hidup masih- diatur sesuai dengan agama Katolik yang keras. Masalah seks tidak mungkin- dibicarakan antara orang tua dan anak. Marie-Laure masih ingat majalah revo-lusioner Action yang telah menerbitkan gambar alat kelamin perempuan ber-sama keterangan doktor sebagai tindak-an yang sangat baru dan berani. Marie-Laure tidak mendapat warisan dari bapaknya karena ia mempunyai dua anak di luar perkawinan….
Dunia berubah. Banyak orang yang dulu terlibat dalam revolusi 68 sekarang hidup secara konservatif, borjuis dan mem-bosankan. Dia melihat para maha-siswa tahun 2006 tidak menyanggah ca-ra hidup orang tua mereka. Mereka justru menuntut hak untuk bisa hidup persis seperti orang tua mereka. ”T-idak sadar bahwa globalisasi telah meng-ubah masyarakat Prancis, mau atau tidak mau.”
Balthazar tetap ingin mencoba mem-baca makna di balik kemarahan para mahasiswa Prancis tahun 2006. Dia sen-diri ti-dak marah, dia malah tidak memben-ci polisi yang telah memukul dia. ”Orang ber-tanggung jawab terhadap kekeras-an yang dialami,” katanya. Iringan de-monstran mahasiswa mengalir di Ave-nue des Invalides membawa slogan: ”Ka-mi Prancis kelas rendah, Villepin Pran-cis kelas tinggi”. Musik hip-hop Pran-cis diputar sedangkan rombong-an-rombongan pemuda wilayah pinggir-an Paris berjalan di samping barisan demonstran, di jalur lambat Avenue des Invalides. Sendirian, tak diajak berga-bung ke dalam barisan mahasiswa. Pe-muda-pemuda dari wilayah pinggiran ko-ta itulah yang paling miskin, tanpa pekerjaan dan harapan. ”Lihat saja, me-reka tidak diterima oleh para mahasiswa, padahal musik hip-hop yang begitu ngetrend adalah ciptaan mereka,” tukas Balthazar.
Beberapa pemuda dari mereka da-tang- memang dengan maksud merusak- demo mahasiswa, semacam ”balasan”- ter-hadap kelompok pemuda yang l-ebih- ”beruntung”. Tetapi banyak juga pemuda dari wilayah pinggiran yang d-a-tang untuk mencoba mencari ”tem-pat” dalam ge-rakan mahasiswa itu sesu-dah ke-rusuhan pada Oktober tahun lalu yang dihentikan oleh peme-rintah de-ngan- menerapkan undang-undang darurat militer yang dulu pernah dija-lankan pada masa kolonial terhadap ma-syarakat Aljazair. Dan jelas ”tempat”- itu tidak didapat. Makanya, sesampai di alun-alun Invalides, demo itu berubah menjadi perkelahian. Rombongan pe-mu-da pinggiran yang merampok tas dan hp mahasiswa, dan para demon-stran mengejar mereka. Ratusan polisi menonton pertempuran itu dari balik pagar besi dan truk mereka yang menu-tup semua jalan masuk ke arah alun-alun Invalides.
Balthazar didekati oleh seorang pe-muda pinggiran yang meminta hp-nya.- ”Aku tak punya hp,” jawabnya. Si pemuda bilang, ia melihatnya pakai hp, seraya mengancam akan menikam Balthazar dengan pisau. Balthazar tetap tak mau melepaskan hp-nya. Pemuda itu memanggil tiga temannya. Mereka berempat mengancam Balthazar yang berhasil lari di tengah kekacauan. Tidak lama kemudian, pemuda yang pertama kembali mendatangi dia dan menjabat tangan: ”Bagus, tadi kamu berani, aku senang.” Lalu dia kabur.
Elizabeth D. Inandiak (Paris)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo