Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Suara di Telapak Kaki Emak

Sandiaga Uno meyakini kelompok ibu-ibu bakal menentukan hasil pemilihan umum. Mengincar 130 juta suara.

12 Oktober 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Calon wakil presiden Sandiaga Salahuddin Uno di Pasar Wonodri, Semarang, 24 September 2018. -ANTARA/R. Rekotomo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BLUSUKAN Sandiaga Salahuddin Uno ke Pasar Tanjung, Jember, Jawa Timur, Ahad pekan lalu, membuat pedagang dan pengunjung histeris. Mereka, yang sebagian besar perempuan paruh baya, menggerumuti Sandiaga sambil menyodor-nyodorkan tangan mengajak bersalaman. Sebagian mengeluarkan telepon selulernya dan, tanpa aba-aba, langsung berswafoto.

Setelah meladeni permintaan tersebut, Sandiaga menghampiri pedagang tempe. “Ada tempe ATM, tempe saset, dan tempe iPad,” kata Sandiaga berkelakar.

Sandiaga tampaknya menjadi magnet bagi kaum ibu. Pada saat deklarasi pembentukan Sandi Uno Community untuk Indonesia pada akhir September lalu, ratusan perempuan memadati Gelanggang Olahraga Rawamangun, Jakarta Timur. Mereka terhimpun dalam kelompok yang menamai diri Forum Komunitas Majelis Taklim DKI Jakarta, Forum Emak-emak se-Jakarta, dan Persatuan Emak-emak Online Lintas Negara.

Bekas Wakil Gubernur DKI Jakarta itu mengklaim antusiasme perempuan selalu tinggi setiap kali dia turun ke lapangan. Dalam beberapa kesempatan, menurut Sandiaga, mereka curhat soal kondisi ekonomi, dari naiknya harga kebutuhan pokok hingga sulitnya suami dan anak-anak mereka mendapatkan pekerjaan. “Mereka titip ekonomi Indonesia kepada saya dan Pak Prabowo,” ujar Sandiaga.

Ia memanggil kaum ibu itu dengan sebutan khusus: “emak-emak”. Istilah itu pertama kali dilontarkan Sandiaga ketika berpidato seusai pendaftaran calon presiden dan wakil presiden di kantor Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia, 10 Agustus lalu. Ia menyatakan akan berjuang untuk kaum ibu yang tergabung dalam “partai emak-emak”. “Partai emak-emak belum ada representasi,” kata Sandiaga.

Rachmini Rachman atau Mien Uno, ibunda Sandiaga, sempat heran terhadap pemilihan istilah “emak-emak” oleh anaknya. Sehari setelah pendaftaran, ia bertanya kepada Sandiaga tentang asal-usul ungkapan tersebut.

Kepada Mien, Sandiaga mengatakan sebutan tersebut tercetus secara spontan ketika dia melihat kerumunan ibu-ibu di kantor KPU. Menurut Mien, Sandiaga langsung teringat kepada pengasuhnya saat ia masih kanak-kanak dan tinggal di Riau. Keluarga Uno sempat tinggal di Riau sekitar 10 tahun. Waktu itu, Sandiaga memanggil pengasuhnya dengan sebutan “Emak”. “Istilah itu autentik dari pikiran Mas Sandi, bukan bikinan tim,” ujar Mien, 77 tahun.

Tapi, menurut juru kampanye tim Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Sudirman Said, istilah “emak-emak” awalnya diperkenalkan Prabowo ketika bersafari ke daerah. Sandiaga kemudian mempopulerkannya.

Bukan tanpa alasan Sandiaga berfokus menggarap kalangan emak. Menurut Sudirman, tim kampanye sudah memetakan perilaku pemilih di Indonesia. Berdasarkan riset itu, diketahui bahwa ibu adalah sosok yang paling dekat dengan anaknya. Kelompok anak-anak adalah pemilih muda yang masuk kategori milenial. Menurut Sudirman, jika dijumlahkan, pemilih perempuan dan milenial mencapai 70 persen dari 187 juta pemilih, atau sekitar 130 juta suara. “Irisannya sangat tebal,” ujar Sudirman.

Juru bicara Prabowo-Sandiaga lainnya, Habiburokhman, menjelaskan bahwa “emak-emak” punya karakter sebagai pemilih loyal dan militan. Selain itu, kaum ibu dianggap bisa mempengaruhi pilihan politik anggota keluarganya.

Tim kampanyenya merujuk pada pemilihan presiden 2004, yang dimenangi Susilo Bambang Yudhoyono. Kemenangan itu, kata Habiburokhman, berkat derasnya dukungan dari kaum perempuan. Kebetulan, kali ini Yudhoyono menjadi koordinator juru kampanye nasional di tim Prabowo-Sandiaga. “Sejarah membuktikan pasangan calon yang bisa memenangi hati perempuan dan ibu-ibu yang menjadi pemenang pemilu,” kata Habiburokhman.

Menyadari peluang tersebut, Sandiaga merancang strategi kampanyenya dengan berfokus pada tiga kelompok: pedagang pasar, kaum milenial, dan ibu-ibu. Kelompok tersebut hampir pasti ada dalam agenda kampanye Sandiaga ketika turun ke daerah sebagai tujuan yang harus disambangi.

Khusus ketika bertemu dengan kaum ibu, tim kampanyenya mengarahkan Sandiaga agar terus bertanya tentang harga bahan kebutuhan pokok dan ketersediaan lapangan kerja. Topik ini dipilih karena mudah dicerna dan merupakan isu yang paling dikuasai ibu-ibu. “Mereka itu menteri keuangan keluarga,” ujar Andre Rosiade, juga juru bicara di tim kampanye Prabowo-Sandiaga.

Sandiaga biasanya mengemas keluhan para ibu dalam pernyataan publik yang menarik dan mudah diingat. Ia akan menyebut nama dan daerah asal seorang perempuan yang mengeluh soal harga kebutuhan pokok. Suatu kali, ia menyebut Ibu Arsa di Koja, Jakarta Utara, yang kesulitan membeli daging sapi. Di waktu lain, Sandiaga mencetuskan nama Ibu Yuli di Duren Sawit, Jakarta Timur, yang bercerita soal tahu yang makin tipis.

Selain menyebut nama “emak-emak” yang diklaim pernah ditemuinya, Sandiaga memakai frasa unik untuk menggambarkan problem ekonomi. Ketika berkunjung ke Pasar Wonodri, Semarang, Sandiaga menyebutkan tempe sudah dikemas dalam bungkus plastik yang lebih kecil karena harga kedelai kian mahal. Sejak itu, celetukan “tempe saset” menjadi populer sebagaimana “tempe setipis ATM”, yang lebih dulu ia lontarkan.

Meski giat menggarap segmen pemilih perempuan, Sandiaga masih belum unggul dibanding Ma’ruf Amin di kalangan emak-emak. Berdasarkan sigi Lingkaran Survei Indonesia, elektabilitas Ma’ruf mencapai 40,2 persen di kelompok tersebut, sedangkan Sandiaga sebesar 39,4 persen. “Saya harus bekerja lebih keras lagi mendekati kaum ibu,” ujar Sandiaga.

Andre Rosiade mengatakan efek pendekatan Sandiaga ke kelompok perempuan baru akan terlihat setelah debat calon presiden dan wakil presiden. Di forum itu, Sandiaga akan membeberkan persoalan ekonomi yang digali dari obrolannya dengan kaum ibu di pasar, beserta solusinya. “Tunggu tanggal mainnya,” ujarnya.

RAYMUNDUS RIKANG, FRANSISCA CHRISTY ROSANA, BUDIARTI UTAMI PUTRI, AVID PRIYASIDHARTA (JEMBER)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Raymundus Rikang

Raymundus Rikang

Menjadi jurnalis Tempo sejak April 2014 dan kini sebagai redaktur di Desk Nasional majalah Tempo. Bagian dari tim penulis artikel “Hanya Api Semata Api” yang meraih penghargaan Adinegoro 2020. Alumni Universitas Atma Jaya Yogyakarta bidang kajian media dan jurnalisme. Mengikuti International Visitor Leadership Program (IVLP) "Edward R. Murrow Program for Journalists" dari US Department of State pada 2018 di Amerika Serikat untuk belajar soal demokrasi dan kebebasan informasi.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus