Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bekas Bos Lippo Group Menyerahkan Diri

BEKAS komisaris Lippo Group, Eddy Sindoro, menyerahkan diri kepada Komisi Pem­berantasan Korupsi pada Jumat pekan lalu. Eddy adalah tersangka kasus suap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution, dan sempat menjadi buron selama dua tahun. Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif mengatakan Eddy menyerahkan diri melalui atase kepolisian di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Singapura. “Otoritas Singapura juga membantu kami,” ujar Syarif di kantornya.

12 Oktober 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Eddy Sindoro -TEMPO/Muhammad Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Komisi antirasuah menetapkan Eddy sebagai tersangka sejak November 2016. Peran Eddy dalam kasus suap terendus setelah KPK mencokok Edy Nasution di Hotel Acacia, Jakarta Pusat, pada 20 April 2016. Penyidik menyita duit Rp 50 juta dari pemberi suap, Doddy Aryanto Supeno. Duit itu bagian dari komitmen suap senilai Rp 500 juta terkait dengan peninjauan kembali sejumlah perkara Lippo Group.

Eddy diduga kabur pada April tahun yang sama. Sejak itu pula Eddy masuk daftar pencarian orang KPK. Pemimpin KPK lain, Saut Situmorang, mengatakan Eddy diduga kerap berpindah negara selama diburu, antara lain ke Thailand, Malaysia, Singapura, dan Myanmar. Setelah menyerahkan diri, Eddy dibawa ke gedung KPK untuk diperiksa penyidik.

Mantan Ketua KPK, Taufiequrachman Ruki, ikut berperan dalam penyerahan diri Eddy. Buron itu mau menyerahkan diri hanya jika Ruki membantu dan ikut mendampinginya di KPK. “Saya lalu menghubungi atase kepolisian di Singapura,” kata Ruki.

Eddy belum memberikan komentar setelah menyerahkan diri. Lucas, pengacara yang diduga membantu Eddy kabur ke luar negeri, sebelumnya ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus perintangan penyidikan.

 


 

 

Perkara Korupsi Korporasi Mulai Disidangkan

PENGADILAN Tindak Pidana Korupsi Jakarta menyidangkan perkara korupsi yang menjerat korporasi, Kamis pekan lalu. Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi, Lie Putra Setiawan, mendakwa PT Nusa Konstruksi Enjiniring—dulu bernama PT Duta Graha Indah—dalam kasus dugaan korupsi pembangunan Rumah Sakit Pendidikan Khusus Penyakit Infeksi dan Pariwisata Universitas Udayana, Bali, tahun anggaran 2009-2010. “Negara diduga rugi hingga Rp 25,9 miliar,” kata Lie.

Perkara ini bermula dari pemberian fee oleh Direktur Utama Duta Graha Indah, Dudung Purwadi, kepada Bendahara Umum Partai Demokrat kala itu, Nazaruddin, yang diminta membantu mendapatkan proyek pembangunan tahun anggaran 2009. Duta Graha akhirnya memenangi proyek di Universitas Udayana. Menurut Lie, Duta Graha kemudian mendapat tujuh proyek lain.

Pengacara Nusa Konstruksi, Soesilo Ari Wibowo, mempertanyakan dasar penghitungan kerugian negara. “Perlu diklarifikasi soal keuntungan itu,” ujarnya. Juru bicara KPK, Febri Diansyah, mengatakan masih ada tiga korporasi lain yang diproses dalam kasus korupsi dan pencucian uang. 

 


 

Presiden Merevisi Aturan Pelaporan Korupsi

PRESIDEN Joko Widodo meneken Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Peraturan ini menggantikan aturan serupa yang terbit pada 2000. Dengan peraturan ini, pelapor kasus korupsi bisa mendapat premi 2 permil dari jumlah kerugian keuangan negara yang bisa dikembalikan atau maksimal Rp 200 juta. Dalam aturan sebelumnya, tak ada batas maksimal hadiah yang diberikan.

Adapun pelapor kasus suap menerima dua per seribu dari nilai suap atau hasil lelang barang rampasan dengan nilai maksimal Rp 10 juta. “Kami menginginkan partisipasi untuk sama-sama mencegah, mengurangi, bahkan menghilangkan korupsi,” kata Jokowi, Rabu pekan lalu.

Juru bicara KPK, Febri Diansyah, mengatakan lembaganya menyambut positif peraturan tersebut. Dia berharap ketentuan itu bakal meningkatkan laporan masyarakat tentang korupsi. “Ketika kasus korupsi dilaporkan, pengawasan di lingkungan pelapor akan lebih maksimal.” 

 


 

-TEMPO/Muhammad Hidayat

Polisi Periksa Amien Rais

KEPOLISIAN Daerah Metropolitian Jakarta Raya memeriksa Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional Amien Rais terkait dengan kasus kabar bohong penganiayaan aktivis Ratna Sarumpaet, Rabu pekan lalu. Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Kepolisian RI Inspektur Jenderal Setyo Wasisto mengatakan Amien diperiksa karena ikut mendengar cerita Ratna. “Ada informasi yang diterima polisi bahwa dia tahu tentang keberadaan Ratna Sarumpaet, makanya akan diklarifikasi,” ujar Setyo.

Sebelumnya, Ratna mengaku di-pu--kuli sejumlah orang. Fotonya dengan wajah membengkak tersebar di media sosial. Polisi membuktikan bahwa Ratna ternyata tidak dipukuli,- tapi menjalani operasi plastik. Polisi telah menahan Ratna dan menetapkannya sebagai tersangka, Kamis dua pekan lalu.

Amien, yang diperiksa selama enam jam, menyatakan tak mempersoalkan pemeriksaan tersebut. “Saya merasa dihormati, dimu-liakan oleh penyidik. Suasananya akrab, penuh tawa,” katanya. 

 


 

Larangan Berkampanye di Lembaga Pendidikan

KEMENTERIAN Dalam Negeri menyepakati aturan tentang larangan berkampanye di lembaga pendidikan, seperti sekolah dan pesantren. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menuturkan undang-undang melarang kehadiran peserta pemilihan umum di institusi pendidikan apabila membawa muatan kampanye. “Semua pihak wajib menghormati dan menaati larangan yang diatur KPU dan Bawaslu dalam teknis pelaksanaan kampanye pemilu,” katanya, Kamis pekan lalu.

Tjahjo mengatakan peserta pemilu, penanggung jawab lembaga pendidikan dan tempat ibadah, serta pengelola gedung pemerintah harus berkoordinasi dengan penyelenggara pemilu sebelum pelaksanaan sosialisasi. Tujuannya agar pelaksanaan kegiatan di lokasi tersebut tidak menjadi masalah.

Anggota Badan Pengawas Pemilu, Rahmat Bagja, mengatakan pasal 280 ayat 1 huruf h sudah mengatur bahwa pelaksana, peserta, dan tim kampanye dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, serta tempat pendidikan untuk berkampanye. “Jika dalam penyampaiannya ada unsur ajakan memilih pasangan tertentu, itu termasuk kampanye yang dilarang.”   

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus