Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sudah Dong, Jangan Nge-Bully

Di usia yang masih belia, Katyana Wardhana menggerakkan 900-an relawan antirisak di lingkungan sekolah. Diilhami seorang bocah pemulung, kampanye Stop Bullying oleh komunitas Sudah Dong terus bergaung.

18 April 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jadwal kuliah yang padat bukan halangan bagi Katyana Azlia Wardhana untuk terus menyerukan gerakan melawan risak. Dari jarak hampir 16 ribu kilometer, ia rutin melakukan video call dengan sesama relawan di Indonesia. "Saya ingin bullying benar-benar hilang dari lingkungan sekolah," kata Katyana melalui telepon dari Boston, Amerika Serikat, Kamis dua pekan lalu.

Di Boston, Katyana tengah menempuh kuliah di Jurusan Ekonomi dan Hubungan Internasional Tufts University. Ia juga mengambil kelas tambahan di Jurusan Ilmu Politik di kampus yang sama. Karena perbedaan waktu sekitar 12 jam, Katyana tak jarang harus begadang agar bisa bercakap-cakap dengan relawan komunitas Sudah Dong di Jakarta dan kota lain di Indonesia.

Katyana mendirikan komunitas Sudah Dong pada Juli 2014. Gagasannya muncul dari pertemuan tak sengaja dengan seorang pemulung cilik di dekat sekolahnya, British School, Tangerang, pada awal 2014. Waktu itu, Katyana masih duduk di kelas XI. Ia sedang menggarap tugas sekolah tentang pemberdayaan masyarakat.

Kepada Katyana, bocah tersebut mengaku putus sekolah karena tak tahan oleh ejekan teman-temannya. Si anak sering dicemooh karena suka membantu orang tuanya memulung barang bekas. "Ia malu karena sering di-bully teman-temannya," ujar Katyana.

Tersentuh oleh cerita si anak, Katyana mencari tahu urusan "risak-merisak". Ia pun terkaget-kaget ketika membaca hasil sebuah riset bahwa 70 persen siswa di Indonesia menyebut "risak" sebagai masalah terbesar di sekolah. Sekitar 10 persen anak yang pernah dirisak, menurut riset itu, memutuskan berhenti bersekolah.

Melihat begitu besarnya dampak bullying, Katyana berpikir perlu ada gerakan untuk melawannya. Anak sulung pasangan Wishnu dan Widi Wardhana ini lantas mengajak beberapa kawannya membahas ide bagaimana menghentikan risak di sekolah. Dari obrolan kecil-kecilan itu, tercetus gagasan membentuk komunitas Sudah Dong.

Katyana lalu melemparkan ide membentuk komunitas antirisak ke media sosial. Ternyata sambutannya positif. Banyak yang bersedia menjadi relawan. Pada mulanya, komunitas beranggotakan sepuluh orang relawan ini hanya merencanakan kampanye antirisak lewat situs Sudah Dong. Tak lama setelah peluncuran, kalangan netizen—sebutan untuk orang yang aktif di dunia maya—menyerbu situs tersebut. Dalam waktu singkat, 300 relawan berhimpun untuk berkampanye tentang antirisak lewat media sosial.

Sebelum menjadi relawan, kata Katyana, sebagian pengunjung situs Sudah Dong bercerita tentang pengalaman dirisak. Ada yang menceritakan pengalaman pribadi, ada pula yang mengisahkan kejadian yang menimpa kenalannya. Menurut dia, korban risak lebih nyaman bercerita di dunia maya daripada bertatap muka.

Belum genap berusia satu tahun, gerakan Sudah Dong membetot perhatian berbagai lembaga. Salah satunya UNICEF Indonesia. Pada Februari tahun lalu, organ Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berfokus pada pemenuhan hak anak-anak ini mengajak komunitas Sudah Dong berdialog. Mereka menawarkan bantuan untuk penyusunan buku panduan serta pelatihan relawan antirisak. Lewat UNICEF, Sudah Dong bergabung dengan Youth Network for Violence Against Children.

Pilihan meluaskan jejaring ternyata bermanfaat besar. Jumlah relawan Sudah Dong pun tumbuh pesat. Kini ada 900-an relawan, yang berasal dari sekitar Jakarta, Surabaya, Aceh, Lampung, dan Kalimantan. "Mereka datang dari pelbagai latar belakang," ujar Katyana.

Setelah relawan makin banyak, Katyana dkk lebih sering berkunjung ke sekolah-sekolah untuk menyerukan kampanye "Stop Bullying". Sebelum turun ke sekolah, "Relawan diberi pembekalan, agar pesan anti-bullying sampai ke siswa," kata Katyana.

Adiyat Yori Rambe termasuk yang memutuskan bergabung dengan Sudah Dong karena pernah dirisak. Di kampus, pria 24 tahun ini merasa sering diremehkan oleh beberapa teman yang menganggap dia terlalu muda. Adiyat masuk Institut Pertanian Bogor pada usia 15 tahun karena mengikuti program akselerasi. "Saya sampai ikut konseling," kata Adiyat, yang bergabung dengan komunitas Sudah Dong pada Oktober 2014.

Tahun lalu, Adiyat kembali dirisak ketika ia memenangi kontes Abang-None Jakarta Utara. Selama hampir sepekan, sebuah akun anonim menghujani laman Facebook Adiyat dengan berbagai cercaan. Si perisak menyebut Adiyat tak pantas menjuarai kontes tersebut. Dia bahkan menghina Adiyat secara fisik. "Saya dikatain jelek dan dibandingkan dengan pemenang tahun sebelumnya," ujar Adiyat.

Relawan lain, Fabelyn Baby Walean, bergabung dengan Sudah Dong pada Februari 2015. Semula, dia bergabung dengan komunitas ini hanya untuk mengisi waktu luang. "Waktu itu kampanye stop risak ramai dibicarakan di media sosial," katanya.

Sewaktu ikut kunjungan ke sekolah, Fabelyn makin terpikat oleh kelebihan Katyana sebagai penggagas komunitas. "Dia orangnya luwes, bisa berkomunikasi dengan semua lapisan," ujar Fabelyn. Kini mojang Bandung ini memilih total aktif di Sudah Dong.

Pada Juni tahun lalu, Sudah Dong meluncurkan buku panduan melawan risak. Buku itu memotret pengalaman korban risak yang bisa menjadi pelajaran untuk siswa, guru, dan orang tua siswa. Selama ini, menurut Katyana, belum ada pemahaman seragam tentang apa itu risak dan bagaimana efeknya bagi korban.

Katyana menambahkan, buku tersebut juga membahas risak di media sosial alias cyber-bullying, yang belakangan menjadi tren di kalangan anak sekolah. Polanya, perisak membuat akun anonim di media sosial, lalu menyerang orang yang tidak mereka sukai.

Katyana berharap, setelah membaca buku tersebut, guru dan orang tua siswa lebih mengenali gejala risak serta tahu cara mengatasinya. "Di buku itu juga ada cara menyikapi pelaku," katanya.

Sejauh ini, 8.210 eksemplar buku panduan sudah tersebar ke sejumlah kota. Versi digital buku itu bisa diunduh cuma-cuma di situs Sudah Dong. Walhasil, buku panduan itu tak hanya beredar di Indonesia. Pengunjung situs Sudah Dong dari Asia Tenggara, Australia, Amerika Serikat, dan Eropa banyak yang mengunduh buku tersebut.

Toh, bagi Katyana dkk, beredarnya buku panduan melawan risak itu baru satu langkah kecil. "Kami ingin perlawanan terhadap risak masuk kurikulum sekolah," ujarnya.


Katyana Azlia Wardhana

Tempat dan tanggal lahir: Jakarta, 30 Januari 1996

Nama orang tua: Wishnu Wardhana dan Widi Wardhana

Hobi: Membaca, olahraga, fotografi, memasak 

Pendidikan:

  • SD-SMA: British School Jakarta
  • Kuliah: Jurusan Ekonomi dan Hubungan Internasional Tufts University, Boston, Amerika Serikat
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus