Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TENGAH malam hampir tiba saat lima anak berusia tujuh tahun menumpuk buku di meja yang terletak di tengah ruangan. Di luar masih hujan. Tapi Rosa Dahlia menyuruh anak-anak itu lekas pulang. Guru di Distrik Lualo, Kabupaten Lanny Jaya, Papua, ini khawatir esok hari mereka terlambat datang. "Besok kami akan mandi di mata air," kata Rosa, Jumat dua pekan lalu.
Aktivitas ini menggantikan jadwal menonton film yang semestinya dilakukan setiap Sabtu. Kegiatan itu batal karena laptop Rosa tertinggal di Poga. Jaraknya sekitar tiga jam berjalan kaki dari Lualo. Di tengah musim hujan, tanah lempung yang menghubungkan Poga dan Lualo berubah menjadi lumpur.
Hampir satu tahun alumnus Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, ini menjadi pengajar di sana. Ia bukan guru honorer. Keberadaannya di desa yang masih terisolasi dari listrik itu atas kemauannya sendiri.
Bersama rekannya, Andreas Wahyu, perempuan kelahiran Magelang, Jawa Tengah, ini menyulap bangunan perpustakaan seluas 35 meter persegi menjadi tempat belajar sekaligus tempat tinggal. Itu sebabnya, meski sudah larut malam, perpustakaan tak pernah sepi dari anak-anak. Meski sudah di luar jam sekolah, anak-anak terus berdatangan. "Biasanya datang sejak sore untuk membaca atau sekadar bermain," ujarnya. Tapi Rosa selalu mewanti-wanti, "Kalau mau ke sini di luar jam sekolah, bantu dulu Ibu-Bapak di rumah."
Sebelum mengajar di Lualo, bungsu dari lima bersaudara ini sudah menjadi guru bahasa Indonesia di Poga. Ia lolos seleksi program mengajar sebuah lembaga swadaya masyarakat yang didirikan Yohanes Surya—bekerja sama dengan pemerintah daerah Lanny Jaya. Rosa sempat ditempatkan di Tiom selama satu tahun, lalu pindah ke Sekolah Dasar Inpres Poga setahun berikutnya.
Meski sama-sama di Lanny Jaya, kondisi Poga jauh berbeda dengan Tiom. Selain tak ada listrik, sarana surat-menyurat ke desa yang terletak 80 kilometer dari pusat Kota Wamena ini bisa dibilang tak ada. Situasi itu tak menyurutkan semangat Rosa. Ia lalu mendirikan Honai Pintar Poga, pusat informasi dan belajar masyarakat. Bekerja sama dengan komunitas Satu Buku untuk Indonesia, perempuan 29 tahun ini mendatangkan ratusan buku ke Poga.
Masalah datang pada Juni tahun lalu. Rosa diberhentikan dari tugasnya setelah menghadiri pelatihan guru di Jakarta. Alasan pemecatan tak jelas. "Mereka cuma bilang, sebagai koordinator, Ibu Guru Rosa tidak bisa mengikuti sistem," kata Hibronius Neno, kawan seperjuangan Rosa di Poga, yang ditemui di Wamena, Sabtu dua pekan lalu. Padahal, menurut Hibronius, Rosa cukup terbuka dan tidak egoistis.
Rosa sudah jatuh cinta pada Papua. Perempuan berkulit sawo matang ini pantang mundur dan tak mempersoalkan pemecatan itu. Tekadnya mengabdi di sana sudah bulat. Itu sebabnya, ia berlabuh di Lualo, yang terletak di ketinggian 2.000 meter dari permukaan laut. Alasannya: melayani anak-anak yang memiliki semangat belajar.
Apalagi sekolah di Lualo sudah lama tak beroperasi karena tak ada guru yang mau mengajar di sana. Rosa memutuskan menetap di Lualo menggunakan dana pribadi. Untuk memenuhi kebutuhan operasional sekolah, ia menggalang dana dari penjualan kaus #honaipintar di Jawa. Ia sesekali mendapat sumbangan dana—termasuk tas, alat tulis, dan makanan—dari teman-temannya.
MENJADI guru tak pernah terlintas di benak perempuan bernama lengkap Rosa Dahlia Yekti Pratiwi ini. Semasa di sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas, Rosa termasuk anak badung. Ia kerap dipanggil guru bimbingan dan konseling karena sering berkelahi dan memalak teman sekolah. "Kalau aku jadi guru, nanti murid-muridku nakalnya sama seperti aku dulu," kata Rosa sambil terbahak.
Perjumpaannya dengan buku Sokola Rimba pada 2007 mengubah pandangannya. Perempuan yang menghabiskan masa kecilnya di Magelang ini sadar bahwa guru tak melulu bekerja formal di dalam kelas. Butet Manurung, yang mengabdi di tengah suku Anak Dalam, Sumatera, menjadi panutannya akan sosok guru. "Kisah Butet Manurung adalah turning point saya. Guru bisa mengajar di mana saja, termasuk di pedalaman," ujarnya.
Kecintaan pada anak-anak mendorong Rosa—saat itu baru menjalani tahun kedua di universitas—ikut serta dalam sejumlah komunitas belajar-mengajar. Salah satunya Perkampungan Sosial Pingit di Yogyakarta, yang membantu anak-anak jalanan belajar membaca dan menulis. Kakak kedua Rosa, Indah Hati Kusumawati, mengatakan adiknya memang memiliki perhatian besar terhadap anak-anak.
Mundur dari komunitas Pingit, kegiatan Rosa tak lantas berhenti. Pada 2011, mimpinya bertualang ke daerah pedalaman dimulai. Kali ini Indah yang mendorong Rosa mendaftarkan diri pada kegiatan Aku Cinta Indonesia (ACI). Indah ketika itu tengah menginap di tempat kos Rosa—saat berkunjung ke Yogyakarta. "Entah kenapa, waktu itu saya yakin dia pasti keterima," kata Indah saat dihubungi pada Senin pekan lalu.
Keberuntungan berpihak pada Rosa. Ia berhasil masuk daftar 60 petualang ACI setelah menyisihkan 750 pendaftar lain dari seluruh Indonesia. Proyek ini mengantarkan Rosa menjalani ekspedisi 12 hari mendaki Gunung Binaiya di Maluku.
Lulus kuliah pada 2012, Rosa melamar sebagai sekretaris di sebuah perusahaan di Yogyakarta. Tapi bekerja di balik meja tak sejalan dengan nuraninya. Hanya tiga bulan bekerja, Rosa mengundurkan diri.
Rosa lalu bertekad melayani anak-anak di pedalaman Tanah Air. Bergabung dengan program Satu Buku untuk Indonesia, ia datang kembali ke Binaiya. Tujuannya adalah mengirimkan 1.000 buku untuk anak-anak di sejumlah desa yang terletak di sekitar lereng gunung. Sesama petualang ACI asal Magelang, Farchan Noor Rachman, dalam blognya pada 15 April 2014 menyebut Rosa sebagai suluh bagi anak-anak Binaiya. "Susah payah (Rosa) datang kembali demi pendidikan untuk mereka, tak minta balas kecuali harap agar anak-anak Binaiya lebih mengenal dunia."
Indah Hati tak heran terhadap pengembaraan adik bungsunya yang kini menambatkan hati di Papua itu. Demi kecintaannya kepada anak-anak, Rosa yang terkenal tomboi ini rela berjalan jauh, naik-turun lembah, demi mencapai lokasi kerja. Rosa, kata Indah, adalah sosok yang ia banggakan karena rela mengajar banyak hal untuk anak-anak Papua meski tak dibayar. "Kami sudah mewakafkan dia untuk Papua, seperti mimpinya menjadi terang bagi Papua," ujar Indah dalam laman Facebooknya.
Pada kesempatan libur Natal tahun lalu, di tengah keluarga besarnya di Magelang, Rosa pamit untuk melanjutkan pengembaraannya di Kabupaten Asmat. Mulai Juni tahun depan, ia dikontrak untuk mengembangkan sekolah alternatif di wilayah pesisir selatan Papua hingga lima tahun mendatang.
Rosa Dahlia Yekti Pratiwi
Tempat dan tanggal lahir: Magelang, 13 November 1987
Nama orang tua: Soegeng Widodo dan Sri Maryanti
Pendidikan:
Pengalaman:
Jannah
Guru Anak-anak Transmigran
Hanya lulus sekolah dasar tapi mengajar anak-anak sekolah menengah pertama dan bertahan 17 tahun. Jannah membuka Rumah Pintar di Desa Rantau Panjang di Paser, Kalimantan Selatan, pada 1999. Waktu itu usianya baru 18 tahun. Jannah dan suaminya, Syamsul Arifin, baru pindah dari Tabalong, kabupaten lain di provinsi itu.
Di tanah transmigrasi itu, mereka mendapat lahan rumah 100 meter persegi dan 2 hektare untuk bertani. Di kampung itu, Jannah melihat anak-anak transmigran yang datang lebih dulu luntang-lantung sepulang sekolah. Ia mengajak mereka belajar mengaji dan sopan santun di rumahnya. Syamsul mengajari mereka selepas asar.
Karena jumlah murid bertambah dari hari ke hari, ruang belajar pindah ke musala. Jumlah murid terus bertambah dan "sekolah" Jannah-Syamsul kian terkenal. Pemerintah Paser mendengarnya dan memberi bantuan Rp 200 ribu per enam bulan untuk operasional, termasuk buat membeli buku dan alat tulis.
Sementara suaminya mengajarkan Al-Quran, Jannah mengajari murid-muridnya adab dan sopan santun. Mengajarnya tak memakai teori. "Mengajarkan kebaikan tak perlu pendidikan," kata lulusan SD Masingai 1 di Tabalong ini. Anak-anak menyukai cara Jannah mengajar.
Waktu belajar setiap hari, kecuali Jumat. Ini hari khusus yang disediakan perempuan 35 tahun itu untuk mengajarkan mengaji bagi ibu-ibu di kampungnya. Jannah mengajari penduduk di desanya seraya berkebun sehari-hari. Dari bertani itulah Jannah-Syamsul menghidupi tiga anak mereka.
Pada 2011, datang ke Rantau Panjang anak-anak muda yang dikirim Indonesia Mengajar. Mereka menyarankan Jannah mendirikan Rumah Pintar agar kegiatan belajar terfokus. Tempatnya di belakang rumah dengan biaya bangunan dari Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan Kabupaten Paser.
Putri Gayatri
Bersuara untuk Sesama
Putri Gayatri masih duduk di kelas II sekolah menengah pertama saat mulai mengkritik pernikahan usia anak—ketika teman sekelasnya berhenti ke sekolah untuk menikah. Menurut Putri, dampak pernikahan usia anak sangat luas: dari putus sekolah, risiko kekerasan dalam rumah tangga, hingga risiko kematian ibu dan bayi.
Dalam Undang-Undang Pernikahan, usia minimal perempuan untuk menikah adalah 16 tahun. "Masih saya perjuangkan untuk dinaikkan standarnya," katanya.
Sejak dini, ayahandanya memang menanamkan agar ia bermanfaat untuk orang lain. Melalui organisasi nonpemerintah, Save the Children, ia pun melakukan advokasi dan diskusi tentang pernikahan usia anak. "Sekecil apa pun tindakannya, saya ingin punya dampak untuk orang banyak," ujar Putri, Jumat pekan lalu.
Aktivitas itu membawanya ke Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-70 di New York, Amerika Serikat, saat usianya 15 tahun. Di sana, ia menyuarakan keberatannya atas pernikahan usia anak.
Kini ia 16 tahun, kelas I Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Banjaran, dan mulai memperlihatkan perhatiannya kepada penyandang disabilitas. Dia ingin semua anak memiliki hak yang sama dalam pendidikan dan memperoleh perlakuan yang sama. "Sekarang sudah ada teman difabel bersaing normal di sekolahku," kata Putri.
Ratna Yunita dari Save the Children memuji komitmen dan keberanian Putri. Dia paling menonjol dibanding teman-teman seusianya. "Dia punya potensi jadi role model," ujar Ratna. l
Ana Agustiana
Setiap Tempat adalah Sekolah
Mengadvokasi penduduk Cibitung di Rumpin, Bogor—korban kekerasan dalam sengketa tanah dengan Tentara Nasional Indonesia pada 2012—mengubah hidup Ana Agustiana selamanya. Di kampung yang dikepung perkebunan karet itu, anggota staf Komisi Nasional untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) ini melihat anak-anak kurang pergaulan.
Secara formal mereka lulus sekolah dasar atau menengah, tapi susah bergaul dan tak paham komunikasi dengan orang luar. Maka lulusan Sekolah Tinggi Agama Islam Sukabumi pada 2009 ini mendirikan Sekolah Kita Rumpin, tempat anak-anak SD hingga SMA belajar pengetahuan yang terjadi di luar Rumpin.
Sekolah yang berdiri pada 10 April 2012 itu mengambil tempat di mana saja: musala, tempat terbuka, halaman rumah penduduk. Sekolah buka tiap Minggu karena Ana harus bolak-balik ke kantornya di Jakarta. "Mereka didorong untuk percaya diri, kreatif, punya rasa ingin tahu dan empati," kata Ana, gadis 28 tahun asal Sukabumi.
Ana mengajak dua temannya di Kontras mengajar empat hal yang jarang diajarkan di sekolah formal itu. Mereka memberi pelajaran tentang alam sekitar secara kontekstual dan praktis. Tumbuhan yang mereka lihat diterangkan makna dan fungsinya untuk hidup sehari-hari. Setahun berjalan, Ana mendapat bantuan membangun rumah baca dan sejumlah buku dari teman-temannya.
Sekolah Kita kini punya 42 murid dan 18 guru, orang kampung sekitar yang bersedia menjadi volunter selama setahun. Ana sendiri kini pindah ke Bandung, mengajar di SD Semi Palar. Sebulan sekali ia bertolak ke Bogor untuk menengok sekolahnya itu. "Rumpin memberi pengalaman luar biasa," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo