Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bukan Bidan Biasa

Menjadi bidan di daerah terpencil di Nusa Tenggara Timur, Rosalinda Delin tidak hanya mengerjakan aktivitas rutin membantu kegiatan persalinan. Perempuan 44 tahun ini juga berkampanye mengikis tradisi hasai hai, kegiatan mengasapi ibu dan bayi yang baru dilahirkan selama 42 hari. Upaya ini dilakukan karena tradisi turun-temurun itu amat berbahaya bagi kesehatan ibu dan bayi. Tanpa mengenal lelah, Rosalinda melakukan sosialisasi secara terus-menerus sejak 2003 di sejumlah dusun yang sulit dijangkau. Kegigihan memperjuangkan keselamatan ibu dan bayi membuat dia dua kali mendapat predikat Bidan Teladan Nasional.

18 April 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BULIR-bulir peluh di tubuh perempuan itu mengalir deras. Di dekapannya, bayi merah dalam kondisi serupa. Mereka bermandikan keringat lantaran tidur di atas balai yang di bawahnya menyala kayu bakar. Bayi berumur belum sepekan itu terbatuk-batuk. "Bagaimana enggak batuk, asap mengepung rumah itu," kata Rosalinda Delin, menuturkan peristiwa pada 2003 saat ia pertama kali memulai kunjungan ke rumah-rumah ibu yang baru melahirkan.

Rosalinda, kini Koordinator Bidan Pondok Bersalin Desa (Polindes) Jenilu di Puskesmas Atapupu, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, terpana melihat pemandangan itu. Dia khawatir tradisi turun-temurun itu berdampak buruk bagi kesehatan ibu dan bayi. "Kalau dibiarkan terus, lama-lama banyak bayi baru lahir bisa tidak selamat karena terserang pneumonia dan ibu terjangkit anemia."

Tradisi pengasapan ibu dan bayi yang baru lahir ini biasanya dilakukan warga di Pulau Timor, khususnya Belu dan Timor Leste. Tradisi ini disebut hasai hai. Selama 42 hari setelah melahirkan, ibu dan bayi dipanaskan setiap usai mandi pagi dan sore hari. Tujuannya agar ibu dan bayi mendapatkan kehangatan.

Dalam tradisi hasai hai, warga akan menggelar hajatan atau pesta dengan pangan lokal setelah ibu yang baru melahirkan sukses menjalani terapi panggang api selama 42 hari. "Biasanya warga sekitar akan diundang untuk mengikuti acara hasai hai itu," ujar Kepala Desa Jenilu, Petrus Kapir.

Padahal daerah di Nusa Tenggara Timur, terutama di Kabupaten Belu, yang berbatasan langsung dengan Timor Leste, merupakan daerah pesisir. Panas suhu di Belu ternyata tidak mematikan tradisi ini. Upaya mendapatkan kesegaran setelah mandi langsung menguap oleh keringat akibat diasapi di atas kayu berdiameter 20 sentimeter. "Yang saya lihat, ibu dan bayinya menjadi lemas dan mengalami dehidrasi setelah diasapi," kata Rosalinda. "Racun langsung masuk ke paru-paru."

Mulailah pekerjaan besar untuknya. Rosalinda aktif mendatangi rumah ibu yang habis melahirkan. Tak mudah. Ia harus naik ojek untuk menjangkau dari rumah ke rumah dengan ongkos Rp 5.000. Terkadang ia harus berjalan kaki lantaran rumah yang dituju berada di balik gunung.

Rosalinda berkampanye agar tradisi hasai hai dihilangkan. Dia memberi solusi, agar badan menjadi hangat, bayi dipakaikan selimut tebal dan dibaluri minyak telon. "Tidak perlu lagi memakai kayu bakar," ujarnya.

Saat kunjungan, Rosalinda tak hanya menyadarkan para ibu yang baru melahirkan, tapi juga keluarganya. "Terutama paman si bayi," kata perempuan yang baru menggenggam ijazah diploma III kebidanan pada 2010 itu. Sebab, di Nusa Tenggara Timur, orang yang paling berkuasa atas kondisi ibu yang melahirkan adalah saudara laki-lakinya.

Semula warga yang sebagian besar bekerja sebagai nelayan itu menolak ajakan Rosalinda. "Ibu-ibu tidak ada yang menolak, hanya ada protes dari suami dan paman mereka," ucapnya. Mereka mempertanyakan bagaimana jika terjadi sesuatu dengan ibu dan bayi. "Saya katakan tidak akan terjadi apa-apa. Justru kalau dipanaskan bisa terjadi sesuatu."

Rosalinda tak kurang akal. Pada kunjungan berikutnya, ia membawa ikan dan arang, lalu membakarnya. "Saya ingin menggambarkan begitulah kondisinya jika manusia dipanggang." Air yang menetes dari ikan itu untuk memperlihatkan kondisi tubuh manusia kehilangan cairan, mengalami lesu darah, hingga akhirnya mengalami dehidrasi. Dari penjelasan dengan metode praktek itu, Rosalinda mulai bisa meyakinkan masyarakat. Mereka secara perlahan meninggalkan tradisi berbahaya itu dan memilih ditangani bidan.

Tapi Rosalinda mengakui tradisi itu masih ada di dusun-dusun terpencil yang warganya sulit mengakses poliklinik desa atau puskesmas. Salah satunya di Kecamatan Kakuluk Mesak, Belu, yang dihuni warga eks Timor Timur. "Tapi jumlahnya sudah kecil," katanya.

Agar memudahkan pekerjaan, Rosalinda mengumpulkan lima kader posyandu di daerahnya. "Mereka memantau dan melaporkan ibu-ibu hamil." Para kader ini bertanggung jawab atas ibu dan bayi di daerahnya. Ia sendiri dalam 42 hari masa nifas itu masih menyempatkan diri tiga kali berkunjung ke rumah ibu dan bayinya.

Atas kegigihannya, Rosalinda mendulang penghargaan. Pemerintah menabalkannya sebagai Bidan Terbaik Nasional pada 2008. Tiga tahun kemudian, Ikatan Bidan Indonesia memberinya Srikandi Award 2011. "Pada 2008, pemerintah pusat memberi saya sepeda motor dan pada 2011 saya mendapat tiket pesawat ke Jakarta," ujarnya.

Ibu tiga anak dari pernikahannya dengan petugas kesehatan lingkungan, Narsi Narus, ini tidak gentar meski tak mendapatkan sokongan duit dari pemerintah setempat. "Saya bekerja untuk masyarakat. Saya tidak membutuhkan penghargaan."

Apalagi menjadi bidan adalah cita-cita Rosalinda sejak kecil. "Saya suka bekerja melayani orang." Dalam melakukan sosialisasi kepada masyarakat, ia mengaku tidak ada dana khusus untuknya atau bantuan dari mana pun. Rosalinda hanya mengandalkan dana operasional posyandu. Namun dia bersyukur karena mendapat dukungan dari suami dan anak-anaknya.

Rosalinda menuturkan pengalaman menggetarkan saat menjadi bidan muda, 21 tahun lalu. Ia beradu cepat dengan dukun beranak untuk menggapai rumah ibu yang hendak melahirkan. Sesampai di lokasi, sang dukun beranak tidak berani menangani persalinan lantaran bayi yang akan dilahirkan kembar. Rosalinda muda lantas mengambil alih dan bayi kembar tiga lahir dengan selamat. "Saya sempat gemetaran dan menangis," katanya.

Rosalinda memulai kariernya sebagai bidan pegawai tidak tetap pada 1995 di Polindes Kecamatan Malaka Barat. Ia kemudian bertugas di Puskesmas Kaputu, Kecamatan Laenmanen, dan selanjutnya ditempatkan di Polindes Desa Jenilu, Puskesmas Atapupu, Kecamatan Kakuluk Mesak, Kabupaten Belu, sejak 1999 hingga sekarang. "Saat itu bertepatan dengan eksodus warga eks Timor Timur ke Timor Barat," ujarnya.

Sejak sepuluh tahun lalu, perempuan kelahiran Belu, 13 April 1972, ini terus aktif mengkampanyekan persalinan dilakukan di posyandu dan puskesmas. Setelah ibu melahirkan, bidan wajib melakukan kunjungan ke rumah sebanyak tiga kali selama 42 hari. "Kenapa 42 hari, itu dihitung dari masa nifas," tuturnya.

Kepala Desa Jenilu, Petrus Kapir, mengakui kegigihan Rosalinda telah menghapus tradisi hasai hai. Dia gencar melakukan sosialisasi kepada masyarakat agar tidak menggunakan panggang api lantaran bisa mengganggu kesehatan ibu dan anak.

Salah satu ibu yang baru melahirkan, Dominika do Santos, 24 tahun, menuturkan, ia tak menggunakan pengasapan lantaran telah dibantu oleh bidan di puskesmas. "Tapi dulu saya merasakan 'dipanggang' oleh ibu karena rumah di pegunungan," ucapnya.

Kepala Dinas Kesehatan Belu, Theresia M.B. Saik, menjamin tidak ada lagi ibu melahirkan yang menggunakan sistem pengasapan dan pemanggangan. Ia terus menggerakkan para bidan agar mengkampanyekan persalinan di puskesmas dan pelayanan selama masa nifas.


Rosalinda Delin

Jabatan: Koordinator Bidan Polindes di Puskesmas Atapupu, Kabupaten Belu

Suami: Narsi Narus, memiliki tiga anak

Pendidikan:

  • Sekolah Perawat Kesehatan (lulus 1994)
  • D-1 kebidanan di Akademi Kebidanan Kupang (lulus 1995)
  • D-3 di Politeknik Kesehatan Atambua (lulus 2010)

    Hasna Pradityas
    Sang Pengabar Bahaya Tembakau

    BERTEMU dengan para korban asap rokok tiga tahun lalu menggugah hati Hasna Pradityas. Mereka adalah penderita kanker laring yang lehernya harus dibolongi. Para korban itu memberi testimoni tentang penyebab penyakit yang nyaris mengantar mereka menyongsong ajal. "Enggak mengira bakal melihat ini di Indonesia," ujar perempuan kelahiran Jakarta, 21 November 1990, ini.

    Sejak itu, Tyas—demikian Hasna Pradityas akrab disapa—bersama dua temannya mendirikan Smoke Free Agent pada 2013. Mereka berkampanye tentang bahaya merokok kepada anak-anak sekolah. Pada tahun yang sama, ia bersama beberapa temannya membuat penelitian di 360 sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas di Jakarta, Bandung, Makassar, Mataram, dan Padang. "Hasilnya, 85 persen anak SD, SMP, dan SMA itu terpapar iklan rokok oleh warung-warung di sekitar sekolah," katanya. Di warung itu, Tyas menjumpai anak-anak berseragam SMA nongkrong dan merokok.

    Sarjana teknologi informasi dari Universitas Gunadarma, Jakarta, ini kemudian menggelar kelas pelatihan tentang bahaya merokok di delapan sekolah di Jakarta dan Bandung selama sepekan. Ratusan siswa yang mengikuti pelatihan itu lalu mencetuskan ide untuk mencopot semua iklan rokok di sekitar sekolah mereka.

    Aksi itu digelar pada pertengahan November tahun lalu. Agar makin lancar, Tyas menggandeng Satuan Polisi Pamong Praja. Tak sekadar mencopot poster dan spanduk rokok yang ditempel di warung-warung, mereka juga mengecat rumah yang sempat dicat produk rokok dengan warna putih. "Semula sempat ada penolakan, tapi pemilik warung akhirnya pasrah. Mungkin karena ada petugas Satpol PP."

    Kegiatan itu berlanjut dengan pembentukan komunitas tolak advertensi rokok di sekolah-sekolah. Tyas tidak akan berhenti. "Saya tak ingin melihat anak-anak sekolah itu lehernya dibolongi karena rokok."

    Seperti kata penggagas petisi kawasan larangan merokok, Yosef Rabindanata, yang mengenal Tyas sejak empat tahun lalu. "Dia selalu bersemangat memperjuangkan hak kesehatan anak-anak Indonesia," ujarnya. "Dia bukan anak muda biasa."


    Grace Melia
    Pantang Mundur Memerangi Rubela

    GRACE Melia Kristanto tak lekas putus asa ketika mendapati putri pertamanya tak berperilaku seperti bayi normal. Setelah lahir pada 19 Mei 2012, Aubrey Naiym Kayacinta tak merespons segala cara yang dilakukan untuk menarik perhatiannya: tepuk tangan, teriakan, bahkan letusan balon di dekatnya.

    Dari berbagai tes, diketahui bahwa putri perempuan kelahiran Salatiga, 29 Desember 1989, ini mengidap congenital rubella syndrome. Virus yang kerap disebut campak Jerman itu membuat Ubi—panggilan akrab Aubrey—mengalami sejumlah gangguan, dari kebocoran jantung, gangguan pendengaran, pengapuran otak, hingga terlambatnya perkembangan kognisi dan motorik.

    Kepedihan Grace bukan cuma soal kondisi anaknya, melainkan juga soal minimnya informasi tentang penyebab dan dampak virus rubela. "Perhatian pemerintah hanya pada penyakit itu-itu saja, sementara rubela tak ada sosialisasinya," ujarnya saat ditemui di Yogyakarta, Jumat dua pekan lalu. Alumnus Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, ini menuliskan unek-uneknya di mailing list yang dikelola portal Mommies Daily.

    Responsnya luar biasa. Kisahnya meluas hingga Grace terdorong mengumpulkan ibu yang anaknya mengalami kondisi serupa dalam sebuah grup di jejaring sosial Facebook, yang dinamai Rumah Ramah Rubella. Dibuka sejak 2 Oktober 2013, grup untuk menyadarkan masyarakat tentang bahaya rubela—juga antisipasinya—ini sudah menghimpun 6.000 orang anggota.

    Kisah Grace dituangkan dalam buku Letters to Aubrey. Ia menerima Kartini Next Generation Award 2014 dari Kementerian Komunikasi dan Informatika.


    Diah S. Saminarsih
    Mendahulukan yang Terbuang

    Diah S. Saminarsih menjalankan Pencerah Nusantara sejak 2010. Tujuh kelompok pemuda dari berbagai bidang ilmu kesehatan dikirim ke tujuh penjuru negeri untuk menaikkan kualitas hidup masyarakat.

    Gagasan itu bermula pada 2004. Membaca The Fortune at the Bottom of the Pyramid karya C.K. Prahalad, Diah tersengat untuk "mendahulukan mereka yang terbuang". "Orang yang terbuang dan rentan tak hanya kekurangan uang, tapi juga kesulitan akses," kata Diah di kantornya, Rabu pekan lalu.

    Tak mudah mengirim Pencerah Nusantara ke daerah terbuang. "Bahkan ada seorang bupati yang mengatakan, 'Buat apa Anda mengurus daerah yang sudah saya buang, sih?'," ujar lulusan Faculty of Psychology Seattle University ini.

    Pada 2010, Diah menjadi Asisten Utusan Presiden RI untuk Millennium Development Goals (MDGs) 2015. Dengan segudang persoalan—kekurangan dana operasional, memperpanjang surat utang, dan dipertanyakan banyak orang—dia berhasil menghidupkan kembali puskesmas di tujuh daerah terpencil dan perbatasan Indonesia.

    Tim Pencerah Nusantara diharapkan menjadi jembatan antara pemerintah dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas kesehatan. Tiap tim mempunyai lima anggota yang diharapkan bisa meningkatkan perilaku hidup sehat dan menghidupkan kembali puskesmas di daerahnya. Tim juga diharapkan menggaet pihak swasta untuk ikut mencari solusi masalah kesehatan.

    Karena usahanya itu, Diah mendapatkan Global Silver Award pada Open Government Award di Kota Meksiko, Oktober 2015. Di bawah Menteri Kesehatan Nila Moeloek, program itu pun diaplikasikan melalui Nusantara Sehat.


    Friesca Vienna Saputra
    Demi Organ Reproduksi

    IA menciptakan aplikasi di telepon seluler yang bisa dimanfaatkan perempuan untuk mengenali tubuh, terutama organ reproduksi. Aplikasi Ovula.org itu kini telah diunduh sekitar 2.000 orang. Isinya bisa dipakai untuk menganalisis kesuburan, menjawab haid yang telat, hingga membagi solusi mengatasi keputihan.

    Namanya metode ovulasi Billings (MOB). Friesca Vienna Saputra mendengar pertama kali motede ini saat mengikuti kursus tambahan setelah lulus pendidikan kedokteran pada 2012. MOB adalah metode pengamatan kesuburan perempuan dengan merasakan dan mengamati sensasi yang ada di vagina.

    MOB ditemukan ahli saraf Australia, John Billings, pada 1963 dan jadi metode yang sah di Indonesia sejak 1990. "Isu reproduksi masih jadi wilayah tabu di budaya kita," kata lulusan program profesi kedokteran umum Universitas Katolik Atma Jaya ini pada Rabu pekan lalu. "Sehingga tak banyak perempuan tahu metode ini."

    Ia mengajak Yuvensia Lidya membangun dan merilis OVULA Women Fertility di Android pada Agustus 2015. Dengan aplikasi ini, seorang perempuan bisa mengetahui cara membuat jarak kehamilan, memudahkan kehamilan, atau tahu mood diri sendiri tanpa harus berdiskusi dengan orang lain. Dengan aplikasi ini, menurut Friesca, mengenali tubuh sendiri jadi menyenangkan.

    Aplikasi ini sudah ada dalam versi Indonesia dan dipakai untuk banyak kursus kesehatan reproduksi. Friesca dan tim Ovula.org terus berkampanye mengingatkan masyarakat akan manfaat data dalam aplikasi ini agar setiap perempuan bisa memperbaiki kualitas kesehatan tubuhnya. "Dengan lebih mengenal diri sendiri akan mengubah perilaku yang lebih sehat," kata dokter berusia 28 tahun ini.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus