Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pencetus Sistem Aplikasi Donor Darah

Ia menganggap Palang Merah Indonesia belum memiliki infrastruktur untuk menghimpun donor darah. Ia lalu membangun aplikasi bernama Reblood, yang memiliki tujuan mulia: memudahkan orang mendonorkan darah agar pasokan Palang Merah Indonesia tidak kosong. Sebuah aplikasi yang membuatnya memperoleh beasiswa pelatihan di Massachusetts Institute of Technology, Amerika Serikat. Ia mengalahkan 54 ribu pelamar dari seluruh dunia. Setelah sukses di Surabaya, perempuan 22 tahun ini akan melebarkan sayap ke Jakarta dan Bandung.

18 April 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Periang, muda, pintar, dan peduli. Semua sifat itu ada dalam diri Leonika Sari Njoto Boedioetomo. Di usianya yang baru 22 tahun, Leonika masuk salah satu tokoh muda berpengaruh versi Forbes Asia. Dia dianggap memberi inspirasi bagi kebaikan umat manusia karena membuat aplikasi yang diberi nama Reblood.

Reblood adalah situs atau aplikasi yang menghubungkan calon donor dengan berbagai kegiatan donor darah yang ada di Surabaya. Aplikasi ini memuat berbagai informasi acara donor darah sekaligus mengharuskan penggunanya untuk mengisi berbagai macam informasi, terutama tentang golongan darah.

Ketertarikan Leonika membuat Reblood berawal dari kegelisahannya melihat banyak kasus kekurangan stok darah. Rata-rata setahun kekurangan 1 juta kantong darah. Padahal banyak anak muda seangkatan dia sebenarnya ingin mendonorkan darah. "Jadi saya berpikir untuk membuat aplikasi yang menghubungkan mereka," kata putri tunggal pasangan Agoes Tjahjo dan Meinita Sari ini.

Cerita membuat Reblood dimulai pada 2013. Ketika itu Leonika diajak bergabung dengan senior-seniornya di Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya untuk memperkuat tim Bloobis. Ini adalah aplikasi yang menghubungkan Palang Merah Indonesia dengan rumah sakit. Tujuannya mempercepat distribusi darah, terutama untuk mereka yang membutuhkan dalam keadaan darurat.

Namun aplikasi itu tidak berkembang karena kesibukan pegiatnya, terutama para senior yang kemudian lulus dan sibuk di dunia kerja masing-masing. Melihat kenyataan itu, Leonika maju sendiri dan mengembangkan aplikasi Reblood.

Evaluasi atas beberapa kekurangan Bloobis digunakannya sebagai dasar membuat Reblood. Misalnya tidak tersambungnya aplikasi ke user atau donor, yang membuat target perolehan darah tidak tercapai. Selain itu, Leonika punya analisis bahwa infrastruktur PMI tidak siap. "Saya menganggap PMI sebagai barrier," ujarnya.

Berbagai informasi dan riset dilakukan Leonika. Ia bahkan mengidentifikasi kelompok sasarannya dengan lebih spesifik: generasi Y atau generasi milenium yang berusia 17-30 tahun. "Saya termasuk gen Y yang melek terhadap perkembangan media sosial," ujar perempuan kelahiran 18 Agustus 1993 ini. Leonika bercita-cita orang yang mendonorkan darah akan men-share kegiatan itu selayaknya orang yang men-share hal lain di media sosial.

Pada awal 2014, Leonika memperoleh informasi adanya beasiswa online course entrepreneurship yang diadakan Massachusetts Institute of Technology (MIT) bekerja sama dengan Harvard University, Amerika Serikat. Leonika melayangkan proposal dan melamar berbekal pengalamannya dalam mengembangkan Bloobis. Ide yang dibawanya: blood bank information system.

Leonika akhirnya terpilih sebagai salah satu peserta kegiatan bergengsi itu bersama 47 orang lainnya dari seluruh dunia. Ia mengalahkan 54 ribu pelamar dan merupakan satu-satunya orang Indonesia yang ikut pelatihan tersebut. "Saya juga salah satu yang paling muda. Peserta lain ada yang sudah kerja di IBM, Microsoft, Ferrari, dan lainnya," tutur Leonika.

Pelatihan yang diberi nama MITx Global Entrepreneurship Bootcamp itu memberi Leonika pengalaman berharga. Dalam pelatihan yang berlangsung 18-22 Agustus 2014 itu, Leonika didapuk menjadi salah satu dari sepuluh orang yang mempresentasikan aplikasi yang dikembangkannya di depan kelas. Ia juga dibimbing oleh mentor-mentor berpengalaman dan mendapat banyak masukan tentang bagaimana mengembangkan Reblood.

Sepulang dari Amerika, isi kepala Leonika penuh dengan ide untuk mengembangkan Reblood. Ia memetakan masalah donor darah menjadi dua bagian. Pertama, orang tidak punya banyak waktu untuk donor karena kesibukan. Kedua, banyak calon donor ditolak ketika akan mendonorkan darah karena tidak siap, yakni kurangnya sel darah merah, kurang tidur, tidak sarapan, dan baru saja mengkonsumsi obat.

Reblood kemudian dikembangkan Leonika untuk mengatasi permasalahan itu. Periode Januari-Maret 2015, Leonika bersama tiga teman yang membantunya melakukan survei dan mengumpulkan data. Dari situ kemudian dibuat aplikasi web versi alfa yang rampung pada Mei 2015. Hasilnya, 20-an donor mendaftarkan diri.

Versi betha diluncurkan pada September 2015. Di situ, selain berisi daftar kegiatan donor, aplikasi ini dikembangkan dan memuat informasi agar orang siap ketika hendak mendonorkan darah. Calon donor akan mendapat notifikasi tentang hal-hal yang perlu dilakukan dan yang harus dihindarkan sebelum mendonor darah.

Setelah matang, Leonika melakukan uji coba pertama Reblood. Di kampusnya, acara donor biasanya hanya diikuti sekitar 120 orang. Itu pun yang bisa diterima hanya darah dari 60 orang karena ketidaksiapan donor. Dalam acara dies natalis ITS pada September 2015, peserta acara donor darah melimpah akibat penggunaan aplikasi Reblood. "PMI hanya membawa 100 kantong darah dan penuh semua. Bahkan banyak yang batal mendonor karena tidak ada kantong," ujarnya terbahak.

Sukses Reblood juga punya jejak di acara Startup Sprint Surabaya, yang diadakan pada Januari 2016. Reblood masuk tiga besar dan berhak mendapat hadiah dana pengembangan Rp 50 juta. Selain itu, Kibar sebagai inkubator acara ikut memfasilitasi Leonika mengembangkan Reblood. "Dia brilian. Kalau diibaratkan, dia adalah artis dan kami adalah manajemen artisnya," kata Yansen Kamto, pendiri dan pemilik Kibar.

Cerita sukses Reblood membuat Leonika mantap mengembangkan aplikasi ini. "Saya sekarang full time bekerja untuk Reblood," katanya. Padahal, awalnya, Leonika bercita-cita menjadi dokter. Namun, oleh orang tuanya, Leonika disarankan mengambil jurusan lain karena kuliah kedokteran membutuhkan waktu yang lama.

Alasannya mengambil jurusan sistem informasi juga simpel, "Karena aku suka main game." Kesukaan inilah yang turut menyiapkan tapak bagi lahirnya Reblood. Di awal kuliah, Leonika tidak langsung bisa dan menyukai dunia ini. "Semua mata kuliah dapat A. Cuma algoritma dan pemrograman yang dapat nilai C," ujarnya, lalu tertawa.

Lama-kelamaan minat dan kemampuan Leonika di bidang teknologi informasi ini semakin terasah. "Akhirnya aku senang karena coding itu kayak memecahkan teka-teki." Leonika juga mengubur cita-citanya menjadi dokter. Mengembangkan Reblood, kata Leonika, "Gabungan dari kesukaan saya dan yang saya bisa."

Manfaat Reblood untuk menolong orang juga sudah dirasakan Leonika. Suatu ketika, ada panggilan darurat ke situsnya. Seorang bapak membutuhkan 15 kantong darah AB rhesus negatif untuk anaknya yang terkena leukemia. Naluri menolong Leonika mendidih. Ia menelusuri daftar pengguna akun Reblood dan mencari orang-orang berdarah serupa dan bersedia memberi darah.

Dia mengontak para user itu satu per satu melalui layanan pesan pendek. Sebagian dari mereka tidak bisa karena waktu yang tidak memungkinkan. Selain itu, ada yang berada jauh dari si bapak yang membutuhkan. "Tapi akhirnya bisa mengumpulkan sepuluh kantong," katanya. Niatnya menolong orang dengan menjadi dokter pun bisa terealisasi dengan menyelamatkan nyawa lewat donor darah.

Salah satu pengguna aplikasi Reblood, Andy Novian Ragiltya, mengaku aplikasi itu memudahkannya mendonorkan darah setiap tiga bulan. Bantuan pengingat dari Reblood membantu ia dalam membagi waktu. "Ada juga fitur reward dengan mengumpulkan poin. Hadiahnya lumayan, dapat voucher Rp 50 ribu di Bukalapak," kata pria 22 tahun itu. Dari poin mendonor darah, Andy bisa membeli soft case telepon seluler.

Selain di Surabaya, Reblood akan dikembangkan di berbagai kota lain. Untuk tahap pertama adalah Jakarta dan Bandung, yang direncanakan akan selesai dalam beberapa bulan ke depan. "Target saya pada 2020 aplikasi Reblood bisa dipakai di seluruh Indonesia," ujarnya mantap. Leonika bercita-cita PMI tidak pernah kekurangan darah karena banyak orang yang mendonorkan darah.

Leonika juga mengajak perempuan Indonesia lebih aktif dalam dunia startup atau aplikasi. "Sekarang minim cewek di bidang ini karena ada stereotipe hanya laki-laki yang bisa," ujarnya. "Padahal cewek lebih cocok karena founder aplikasi harus memiliki kemampuan multitasking, sabar, dan kuat."


Leonika Sari Njoto Boedioetomo

Tempat dan tanggal lahir: Surabaya, 18 Agustus 1993

Pendidikan: Sarjana Sistem Informasi Institut Teknologi Surabaya (2015)

Prestasi:

  • Tiga besar Startup Sprint Surabaya (2016)
  • Beasiswa MIT untuk Online Course Entrepreneurship (2014)

    Diajeng Lestari
    Tumbuh Bersama Para Desainer

    DIAJENG Lestari mendapat pelajaran berharga sewaktu belajar ilmu politik di Universitas Indonesia. Perempuan 30 tahun ini memahami, kekuatan bangsa tidak melulu ditentukan oleh stabilitas politik, tapi juga dipengaruhi oleh kesejahteraan rakyatnya.

    Filosofi ini menuntun Diajeng menapaki karier sebagai pebisnis. Dia memilih bisnis e-commerce busana perempuan muslim karena melihat sektor ini belum digarap serius, padahal pasarnya sangat menjanjikan. Diajeng lantas mendirikan HijUp, situs web penjualan busana muslim, pada 2011.

    "Saya sering kesulitan mencari busana muslim yang trendi di pusat perbelanjaan," ujarnya saat ditanyai alasannya mendirikan HijUp.

    HijUp kini menaungi sekitar 200 desainer dan memiliki pelanggan di 100 negara. Dengan pertumbuhan omzet lima kali lipat per tahun, Diajeng tidak tumbuh sendiri. Bisnis para desainer mitranya ikut mekar bersama HijUp. Banyak desainer yang sebelumnya hanya mempunyai satu gerai kini sudah memiliki beberapa gerai.

    Diajeng menerapkan standar kualitas tinggi bagi karya-karya yang hendak ditampilkan di situsnya. Produk desainer harus melewati proses seleksi ketat. "Kualitas bahan, kerapian jahitan, kreativitas, dan kebaruan model menjadi penilaian utama," dia menjelaskan.

    Mimpi Diajeng: Indonesia bisa menjadi pemain utama bisnis busana dunia, bersanding dengan Italia atau Prancis. Langkah menuju pentas dunia mulai terbuka ketika Februari lalu, atas undangan British Council, HijUp memamerkan produknya di London Fashion Week.


    Dhyta Caturani
    Melawan Sampai ke Dunia Maya

    Semangat aktivis sudah ada dalam darah Dhyta Caturani sejak belia. Ketika duduk di bangku sekolah menengah atas, dia mengirimkan surat dukungan kepada mahasiswa Universitas Gadjah Mada yang kerap berunjuk rasa menentang Presiden Soeharto. Ia terlibat pergerakan mahasiswa saat memasuki Jurusan Sosiologi UGM pada 1994.

    Konsistensi perlawanan disuarakan perempuan 41 tahun itu di Kota Gudeg. Dari mengikuti kelompok diskusi Tegak Lima, bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik, hingga berdemonstrasi menumbangkan rezim Soeharto pada 1998. Berbagai represi dan kekerasan fisik aparat negara dirasakannya. Peristiwa yang paling menonjol adalah ketika ia dihajar tentara di depan kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, pada 1999. Giginya rontok. Ia harus dirawat.

    Hingga kini Dhyta masih melawan. Melalui berbagai wadah, termasuk Internet dan media sosial, ia rajin menyuarakan isu demokratisasi. Di antaranya Gerakan Indonesia tanpa FPI, One Billion Rising, Festival Belok Kiri, dan Purplecode—komunitas pemerhati gender dan teknologi. "Internet adalah wadah di mana ekspresi dan suara perempuan bisa setara dan didengar," kata Dhyta.

    Selain menjadi pembicara dalam sejumlah kegiatan pembelajaran Internet, ia aktif di forum internasional. Dua tahun terakhir Dhyta diundang mengikuti kegiatan Internet Governance Forum, forum yang diinisiasi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk membicarakan isu-isu Internet. Ia juga aktif di Feminist Principle of the Internet. "Ada 50 perempuan dari 30 negara yang membahas isu feminisme di situ," ujarnya.


    Kurie Suditomo
    Bermain Kode Komputer

    -CODING Indonesia kebanjiran murid. Ada yang meminta kursus, ada yang menagih les singkat pengisi libur sekolah. "Sekitar 500 anak bergabung dengan kami," kata Kurniasih Suditomo, perintis lembaga ini, di Jakarta, Kamis dua pekan lalu.

    Coding adalah istilah umum untuk penulisan kode-kode pemrograman komputer. Kurie—sapaan akrab Kurniasih—mengemasnya menjadi materi permainan yang asyik. Alumnus Ohio University, Amerika Serikat, ini terinspirasi Code.org, situs nirlaba yang didedikasikan untuk memperluas akses terhadap ilmu komputer. Intinya, dengan memahami dasar-dasar pemrograman, anak diajak membikin permainan sendiri.

    Pada mulanya mantan wartawan Tempo ini khawatir terhadap dua putranya yang kecanduan game. Kurie berdiskusi dengan karibnya, Wahyudi, programmer lulusan Hochschule für Technik und Wirtschaft, Berlin. Hasilnya adalah dibukanya kelas Coding Indonesia pada Juni 2013 dengan sembilan siswa. Kelasnya menumpang di kantor Wahyudi.

    Kini Kurie, yang sekarang menjadi anggota staf komunikasi di Bank Dunia, sibuk menyiapkan pembukaan cabang di Cirebon dan Yogyakarta. Dua cabang baru di Bandung untuk kelas profit dan nonprofit belum lama diresmikan. Di Jakarta, kelas dibuka di Cipete dan Kemang, selain privat di rumah-rumah. Lembaga ini juga mengisi kegiatan ekstrakurikuler di empat sekolah, seperti High Scope Indonesia dan Santa Ursula, serta lima kelas nonprofit di rumah yatim. Untuk kelas profit, biayanya sekitar Rp 500 ribu sebulan.

    Belakangan, Coding Indonesia dinobatkan sebagai salah satu dari tujuh startup yang dinilai mencerdaskan Indonesia versi Daily Social.


    Monica Carolina
    Gamer Pendobrak Stigma

    MEMENANGI kontes main game adalah awal kisah sukses Monica Carolina. Pada 2008, ia menjadi juara kedua di salah satu cabang World Cyber Games, Call of Duty 4—game perang tipe first-person shooter. "Aku satu-satunya peserta perempuan," kata pemilik nama alias Nixia ini, Sabtu dua pekan lalu.

    Tahun-tahun berikutnya, Nixia bolak-balik nangkring di posisi pertama atau kedua dalam setiap kompetisi yang diikuti. Padahal semula ia cuma iseng main game seperti kebanyakan remaja seumurannya.

    Warga Kelapa Gading, Jakarta Utara, ini mengaku tidak pernah meminta duit kepada orang tua untuk mendukung hobinya. "Saya dari keluarga pas-pasan." Padahal, untuk memiliki satu set peralatan game (gaming gear) yang bagus, perempuan 24 tahun ini perlu puluhan juta rupiah.

    Nixia mencari akal. Ia membikin grup musik. Kebetulan ia jago bermain gitar. "Uang hasil manggung dan menang turnamen saya tabung untuk membeli ini-itu, termasuk peralatan game," ujarnya.

    Nixia rutin menulis review tentang gaming gear yang baru dibeli di forum-forum media sosial. Bakat menulis membuatnya sempat menjadi penulis lepas majalah Chip. Ia lantas membuat situs pribadi bernama nixiagamer. Sponsor berdatangan dari produsen gaming gear, seperti MSI, NVidia, dan Corsair. Para sponsor itulah yang tiap bulan mengirimkan pundi-pundi ke akun milik Nixia hingga ratusan juta rupiah.

    Nixia sadar, dunia gamer masih dicap negatif oleh orang tua. "Kesannya malas belajar dan menghabiskan uang," katanya. Nixia yakin main game akan bermanfaat jika diarahkan dengan baik.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus