MESKI sudah berkali-kali tarifnya naik dan memungut biaya-biaya
tambahan, toh penerangan listrik di Bengkulu tetap menyedihkan.
Jangankan mampu memberi cahaya buat jalan-jalan umum, untuk
rumah-rumah penduduk saja pun, kesangupannya tak menentu.
Padahal saku penduduk sudah berkali-kali dikeruk. Ambil contoh
sejak tahun 1973, tak kurang dari 3 kali, tarif listrik naik.
Yaitu bagi pemakai 200 Watt ke bawah, dari Rp 489 naik jadi Rp
901. Tahun 1975 naik lagi. Dari Rp 901 jadi Rp 1.101. Para
langganan pun dikenakan pula biaya "tunjangan bahan bakar" (TBB)
sebesar Rp 300 per bulan. Cuma sebulan bertahan, bulan Pebruari
1975 tarif naik lagi jadi Rp 1.601. Disusul bulan Juni 1975 jadi
Rp 1.700.
Berhenti sampai di situ? Maaf, belum. Karena si pemakai lampu
lagi-lagi dikenakan biaya tambahan. Kali ini Rp 1 buat satu
Watt. Ini bagi si pemakai sampai dengan 200 Watt. Kabarnya
pungutan yang satu ini, buat menopang pembiayaan penerangan
lampu-lampu jalan raya. Tapi toh belum terlihat buktinya. Sebab
nyatanya lampu di jalan-jalan raya masih saja banyak yang tak
hidup. "Bayangkan, bagaimana rasanya penanggungan kami", keluh
seorang langganan di sana.
Yang lebih menyulitkan lagi ialah: sejak April lalu ada pula
giliran gelap. Padahal biaya TBB tadi, katanya dimaksud buat
meniadakan giliran-giliran itu. Lagi pula di kota Bengkulu toh
belum ada industri besar yang mungkin memerlukan banyak tenaga
listrik. Dan warga kota pun bertanya-tanya pula, apa saja
kerepotan PLN Cabang Bengkulu yang memiliki PLTA di Tes,
Kabupaten Rejang Lebong, yang berkekuatan 2 x 600 kilo Watt.
Juga PLTD sebanyak 2 buah yang masing-masing berkekuatan 250
kilo Watt pun, tak pernah terdengar dimanfaatkan. Padahal
peresmiannya telah dilakukan Presiden Suharto beberapa tahun
lalu. Sudah jadi besi tua?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini