PENGALAMAN pahit pertama 100 keluarga transmigran sesampainya di
Jayapura (TEMPO, 29 Mei 1976), ternyata masih berkelanjutan.
Bahkan lebih tragis lagi. Sebab kemudian ternyata yang dibawa
langsung ke tempat pemukiman transmigran itu tak hanya 20
keluarga, melainkan seluruhnya. Karena kabarnya M.H. Thamrin,
Kepala Transmigrasi di sana, tak kepingin kehilangan gengsi.
Tentu saja ke 100 keluarga tersebut harus dijejalkan dalam
rumah yang baru separoh rampung. Yang cuma terlindung atap,
bertanah lumpur dan kotor. Juga kesohor sebagai tempat nyamuk
malaria tropika. Hingga tak salah lagi bila kemudian banyak yang
terkena penyakit yang disebabkan gigitan nyamuk tersebut.
Apalagi keluarga yang mau menghindar dari penderitaan hidup di
tanah asalnya, Jawa nun jauh di sana itu, tak disediakan
kelambu. Awal Mei lalu, dikabarkan seorang ibu dan seorang anak
telah meninggal dunia, menyusul berita kemudian seorang mantri
kesehatan segera dikirim khusus ke sana. Dan beberapa pemuka
Islam akan datang membawa bantuan berupa obat-obatan, pakaian
dan lainnya hasil pengumpulan Panitia Hari-hari Besar Islam
Jayapura dan sekitarnya, yang konon biasa dilakukan
Nasib menyedihkan tersebut agaknya memang tak bisa dihindarkan.
Sebab persiapan kedatangan para transmigran tersebut memang
samasekali menyimpang dari ketentuan yang mestinya berlaku.
Yakni: sebelum keluarga transmigran itu tiba pembukaan hutan
untuk kebun dan pekarangan sudah bersih dan siap dikerjakan,
mestinya telah dilakukan. Ternyata pemborongnya tak memenuhi
tugasnya. Kabarnya cuma papan nama, bangunan darurat yang kosong
dan traktor mogok lebih 3 bulan yang nongkrong saja tampak di
sana.
Juga yang mestinya siap di tempat lokasi transmigrasi ialah
rumah dengan masing-masing kamar, tempat tidur dan dapur. Tapi
yang kemudian disodorkan pemborong, baru rumah-rumah yang baru
selesai diberi atap dan cuma 14 rumah yang punya 2 kamar. Tanpa
tempat tidur dan dapur. Padahal itu pemborong ditunjuk oleh
fihak Transmigrasi dengan biaya dari anggaran Pelita II.
Kabarnya karena para transmigran sudah menempati rumah-rumah
yang belum rampung, ia merasa telah bebas dari kewajibannya.
"Toh, mereka sendiri tentunya yang akan melakukan
penyelesaiannya", begitu fikir sang pemborong. Dan begitulah
memang kenyataannya. Para transmigran itu terkena pula beban
penyelesaian rumah-rumah yang upan borongannya masuk saku si
pemborong. Tambah pula tentunya, harus membuka hutan yang
mestinya dilakukan pemborong yang lain lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini