Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MALAM sebelum sidang perdananya digelar, Setya Novanto tidur lebih cepat. Sebelum pukul 20.00, ia menjatuhkan diri-dalam arti sebenarnya-di kasur di ruang tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi. Dari posisi berdiri, ia "oleng" seperti pingsan dan tepat mendarat di kasur.
Tapi tak ada keributan setelahnya. Penjaga tak bergegas ke sel Setya. Para tahanan tak geger meneriakkan Setya "pingsan". Demikian juga Rochmadi Saptogiri, auditor utama Badan Pemeriksa Keuangan yang menjadi terdakwa suap audit Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, teman satu sel Setya.
Sepanjang malam, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat itu tidur pulas. Kamera pengawas merekam ia hanya dua kali terjaga untuk pergi ke jamban, pukul 23.00 dan 02.30. Sekitar pukul lima pagi, ia terbangun.
Tiga jam kemudian, dokter KPK, Johanes Hutabarat, datang untuk mengecek kesehatannya. Tekanan darahnya terhitung normal: 100/80. Saat diperiksa Johanes, Setya bisa mengutarakan kondisinya. "Terdakwa menjawab dengan lancar," ujar Johanes dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu pekan lalu.
Johanes ditanyai hakim karena terdakwa korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP itu mengeluh sakit di awal persidangan. Berulang kali ditanyai perihal identitasnya oleh hakim, Setya malah menjawab hal lain. "Saya empat-lima hari ini sakit diare. Saya minta obat, tapi tidak dikasih oleh dokter," kata Setya. Ia mengaku sejak malam sudah 20 kali bolak-balik ke toilet.
Tapi dokter tak pernah mendapat keluhan dari Setya bahwa ia menderita diare. Pada Jumat dua pekan lalu, lima hari sebelum sidang, Setya malah bercerita bahwa ia telah empat hari terserang flu dan batuk. "Kok, Pak Novanto baru bercerita sekarang?" kata seorang petugas KPK yang ditemui Setya kepada Tempo.
Hingga Selasa dua pekan lalu, Setya justru rutin bermain pingpong. KPK menaruh meja pingpong di sebuah ruangan, tempat para tahanan berkumpul pada siang hari. Salah seorang tahanan yang paling sering memanfaatkannya untuk berolahraga adalah Setya. Menurut Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif, Setya terhitung lihai bermain tenis meja.
Setya berhenti main pingpong setelah jempol kaki kirinya tertiban lempengan besi pengganjal tiang net. Sudut meja tempat tiang net tersebut sudah agak lapuk. Butuh lempengan besi yang agak tebal agar tiang net bisa terjepit kokoh. Setya sedang mengencangkan tiang net ketika besi itu jatuh menimpa kakinya.
Bukan ulah tiang net yang membuat kesehatan Setya langsung "menurun", melainkan keputusan KPK melimpahkan berkas perkaranya ke pengadilan pada Rabu dua pekan lalu. Pada hari yang sama, pengadilan langsung menetapkan sidang perdana digelar sepekan kemudian.
Waktu itu, Setya sedang mengajukan permohonan praperadilan untuk membatalkan status tersangkanya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Bila surat dakwaan lebih dulu dibacakan jaksa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, permohonan praperadilannya otomatis gugur.
Setya berharap permohonan praperadilannya dikabulkan hakim. Karena itu, ia berkepentingan sidang pembacaan dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tak lekas digelar. "Kenapa sidang pokok perkaranya harus terburu-buru?" ujar pengacara Setya, Firman Wijaya. Pengacara Setya yang lain, Maqdir Ismail, menyanggah kabar bahwa Setya pura-pura sakit untuk mengulur-ulur waktu. "Beliau memang sakit. Tak ada maksud untuk mengakali sidang," katanya.
KPK membaca siasat Setya bakal melepaskan diri sejak insiden "tiang listrik" pada 16 November lalu. Setelah dirawat di Rumah Sakit Medika Permata Hijau, Jakarta, karena mobil yang ditumpanginya menabrak tiang lampu jalan saat ia sedang dicari-cari KPK, Setya diboyong ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Seorang pegawai KPK bercerita, setelah dipindahkan ke Cipto, "luka" Setya bertambah. Bentuknya seperti bekas cakaran. Pada saat dia masuk Cipto, luka itu tak ada.
Setya pun menunjukkan muntahan kepada petugas KPK-untuk meyakinkan penyidik bahwa dia sedang sakit. Tapi tak ada satu pun petugas yang melihatnya muntah. Meyakini bahwa luka baru dan muntahan itu dibuat-buat, pada 20 November malam petugas menggelandangnya ke KPK.
Setiba di KPK, Setya langsung diperiksa. Lewat tengah malam, barulah ia dibawa ke Rumah Tahanan KPK di belakang gedung komisi antikorupsi. Kepada petugas KPK, Setya meminta tak menghuni sel sendirian. Petugas akhirnya menempatkannya bersama Rochmadi Saptogiri. Sel mereka bersebelahan dengan sel Wali Kota Cilegon Tubagus Iman Ariyadi.
Sebelum tidur, Setya bersih-bersih badan. Ia tak membawa apa-apa ke penjara kecuali pakaian yang menempel di tubuhnya. Setya meminjam peralatan mandi kepada Iman Ariyadi, juga pakaian bersih-kaus dan celana pendek. Setelah selesai mandi dan bersalin, ia hendak mengambil air minum dari dispenser di koridor. Tapi dispenser tak lagi menyisakan air.
Untunglah galon cadangan berisi air teronggok tak jauh dari situ. Setya menggelindingkan galon ke arah dispenser dan memasangnya seorang diri. Tahanan lain tak ada yang membantu karena sedang tidur pulas.
Hingga besi pengganjal tiang net menimpa kakinya, Setya kerap bermain pingpong untuk mengisi waktu luangnya di dalam tahanan. Di luar itu, tiap hari, mulai Senin hingga Jumat, pengacaranya bergantian membesuk. Adapun anak-istrinya hanya datang tiap Senin dan Kamis.
SIDANG di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Rabu pekan lalu berlangsung berjela-jela. Sebelum akhirnya jaksa membacakan surat dakwaan, sidang berulang kali diskors. Baru saja sidang dibuka, Setya minta izin ke toilet dengan alasan diare.
Setelah itu, ia diperiksa tiga dokter yang didatangkan KPK di klinik pengadilan. Majelis hakim pun sempat menghentikan sidang untuk bermusyawarah mengenai nasib sidang hari itu. Keputusannya, peradilan Setya dilanjutkan. Sidang pertama kali dibuka hakim sekitar pukul sepuluh pagi. Surat dakwaan baru dibacakan jaksa mulai pukul lima sore.
Setya ditengarai ikut mengatur spesifikasi dan material e-KTP lewat pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong. Ia pun mengawal anggarannya di DPR dan diduga mempengaruhi pejabat Kementerian Dalam Negeri untuk memenangkan konsorsium yang dia jagokan. Dari situ, Setya menangguk keuntungan US$ 7,3 juta atau sekitar Rp 99 miliar dengan kurs saat ini. "Dia menerima uang secara direct," kata Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif.
Duit tersebut bagian dari lima persen nilai proyek e-KTP yang menjadi jatah DPR, yang disepakati Irman, bekas Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, dan Burhanuddin Napitupulu, anggota Komisi Pemerintahan DPR dari Fraksi Golkar, pada Februari 2010. Waktu itu, Kementerian Dalam Negeri sedang melobi DPR untuk meloloskan anggaran proyek e-KTP yang nilai akhirnya Rp 5,9 triliun.
Pada November 2011, Setya, yang saat itu menjabat Ketua Fraksi Golkar, memanggil Andi Agustinus dan Direktur Utama Biomorf Lone LLC Johannes Marliem ke rumahnya di Jalan Wijaya XIII, Jakarta Selatan. Setya mendapat laporan bahwa harga alat automated fingerprint identification system yang dipakai untuk merekam sidik jari, iris mata, dan muka merek L-1 keluaran Biomorf beserta biaya perekaman dan penyimpanannya di server terlalu mahal. Biomorf menggarap e-KTP sebagai subkontraktor PT Quadra Solution, salah satu anggota konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia, yang menjadi pemenang proyek.
Menurut Andi Narogong, seperti direkam jaksa, Marliem menjelaskan kepada Setya bahwa ia mematok tarif US$ 0,5 atau 5 sen, sekitar Rp 5.000 dengan kurs saat itu, per penduduk. Setya meminta diskon 40 persen atau Rp 2.000 per penduduk untuk diberikan kepada DPR sebagai jatah 5 persen dari nilai proyek. Saat itu, ada 172 juta penduduk yang diproyeksikan mendapat e-KTP sehingga jatah untuk DPR sekitar Rp 344 miliar.
Marliem setuju. Setya lalu menyampaikan bahwa fee untuk DPR akan disalurkan oleh dia melalui pengusaha Made Oka Masagung, kawan lamanya. Masalahnya, Marliem tak sanggup memenuhi permintaan Setya. Ia sempat berkeluh-kesah kepada Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Sugiharto-yang belakangan menjadi terdakwa di e-KTP. Jangankan Rp 344 miliar, Rp 100 miliar pun ia kesulitan. Kepada Sugiharto, Marliem menyatakan hanya mampu menyetor Rp 60 miliar.
Setelah ditagih-tagih oleh seorang anggota DPR dari Golkar untuk segera merealisasi fee tersebut, Andi Agustinus mengumpulkan Marliem, Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana, dan Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra Paulus Tannos. Pertemuan itu bertempat di apartemen Paulus di Pacific Place, Jakarta. Mereka bersepakat bahwa jatah untuk DPR lewat Setya akan dikirimkan dua tahap.
Suap tahap pertama sebesar US$ 3,8 juta dieksekusi Anang Sugiana. Duitnya diambil dari bagian pembayaran PT Quadra Solution untuk Biomorf sebagai subkontraktor melalui Biomorf Mauritius dan PT Biomorf Indonesia, anak perusahaan Biomorf Lone LLC. Biomorf lalu mentransfer dana ke rekening dua perusahaan Oka Masagung di Singapura, sebesar US$ 1,8 juta ke OEM Investment Pte Ltd dan US$ 2 juta ke Delta Energy Pte Ltd. Agar seolah-olah ada pembayaran dari PT Quadra ke Biomorf, Marliem menerbitkan invoice.
Pemberian tahap kedua tak lagi melalui Biomorf. Marliem gentar tersandung masalah pajak karena mentransfer duit jumbo secara beruntun. Anang Sugiana sendiri yang kemudian mengirim US$ 3,5 juta ke rekening Oka Masagung. Dari Oka, uang itu disalurkan ke Setya melalui Irvanto Hendra Pambudi, keponakannya, secara bertahap pada 19 Januari-19 Februari 2012. "Saya mengetahui berdasarkan konfirmasi Setya Novanto yang mengatakan bahwa itu sudah diselesaikan," ujar Andi Agustinus kepada penyidik.
Penyidik juga mengantongi bukti tanda terima uang dari ke Oka ke Setya. Nilai yang tertera di kuitansi itu Rp 1 miliar. Inilah salah satu bukti bahwa uang e-KTP mengalir ke Setya langsung.
Meski aliran dana terang-benderang dan dibenarkan para pengirim, Oka Masagung menyatakan tak mengetahui transfer dari Anang Sugiana dan Marliem ke rekeningnya. "Saya enggak tahu, enggak yakin. Seingat saya, waktu dikirim, saya tidak tahu namanya (pengirimnya) itu. Dari mana rekening saya dia dapat?" katanya saat bersaksi untuk Andi Agustinus di pengadilan.
Sementara aliran dana itu berputar-putar sebelum diterima Setya, upeti paling nyata terlihat dari pemberian jam tangan Richard Mille RM 011 Felipe Massa GP Texas oleh Andi Agustinus dan Marliem. Sekitar awal November 2012, mereka patungan untuk membeli jam tangan seharga US$ 130 ribu atau sekitar Rp 1,8 miliar-dengan kurs saat ini-tersebut sebagai hadiah ulang tahun Setya pada 12 November.
Marliem sendiri yang membelinya di Los Angeles, Amerika Serikat, tempat tinggalnya. Ia sengaja datang ke Jakarta dan bersama Andi Agustinus menyerahkannya kepada Setya Novanto.
Jam itu dikembalikan Setya setelah perkara e-KTP dengan tersangka Irman naik ke penyidikan. Pada awal Januari 2017, Andi ditelepon ajudan Setya diminta datang ke rumahnya. Di meja makan ruang tengah, Babeh-panggilan Andi kepada Setya-mengembalikan jam tersebut. "Nih, jam pemberianmu saya kembalikan karena ribut-ribut e-KTP," ujar Setya seperti ditirukan Andi. Andi kemudian menjual jam itu di toko jam InterWatch Blok M seharga Rp 1,05 miliar.
Maqdir Ismail, pengacara Setya, mengatakan kliennya tak pernah mendapat keuntungan dari proyek e-KTP. "Baik Pak Novanto maupun keluarganya tidak menerima," ujar Maqdir. Irvanto, yang disebut menampung duit dari Oka, kata Maqdir, telah menjelaskan tak pernah menerimanya. Menurut Maqdir, Setya akan membeberkan bukti-buktinya di persidangan.
KPK pun sudah mengantisipasi celah-celah dia meloloskan diri, dari lewat praperadilan hingga pura-pura sakit. "Kami menikmati apa yang dilakukan terdakwa. Dan skenario yang dilakukan terdakwa sudah kami pikirkan sebelumnya," ujar jaksa Irene Putri di persidangan.
Sebelum persidangan, KPK membuat simulasi sidang perdana Setya. Segala kemungkinan dipaparkan, termasuk jika hakim dan pengacara tak muncul. Hadirnya tiga dokter di ruang sidang pun sudah disiapkan tiga hari sebelum sidang. KPK menyurati Ikatan Dokter Indonesia dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo agar mereka mengirimkan dokter spesialis penyakit yang pernah mendera Setya.
Tanpa setahu Setya, selain tiga dokter tersebut, ada sepuluh dokter spesialis yang hari itu bersiap-siap di pengadilan.
Anton Septian, Wayan Agus Purnomo, Fajar Febrianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo