Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NAMA Made Oka Masagung muncul ketika korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik yang menyeret Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto kian terang. Direktur Biomorf Lone LLC Johannes Marliem menyebut nama Oka sebagai pengusaha yang menampung fee jatah proyek senilai Rp 5,9 triliun tersebut.
Oka dan Setya memang merupakan teman dekat sejak 22 tahun lalu, ketika keduanya aktif di Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong (Kosgoro), organisasi pendiri Partai Golkar. Oka bergabung ke lembaga yang dibentuk pada 1957 itu karena diajak Hayono Isman, putra pendiri Kosgoro, Mas Isman. Sedangkan Setya ikut berhimpun atas kemauan sendiri, walau puluhan tahun sebelumnya ia sudah akrab dengan Hayono karena menjadi pembantu Mas Isman.
Hayono adalah sohib Setya sejak keduanya satu kelas di Sekolah Menengah Atas Negeri 9 Jakarta. Setya juga pernah bekerja di perseroan milik Hayono, yaitu PT Aninda Cipta Perdana, penyalur pupuk PT Petrokimia Gresik untuk wilayah Surabaya dan Nusa Tenggara Timur.
Saat kuliah akuntansi di Universitas Trisakti pada 1982, Setya menumpang tinggal di rumah Hayono di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. "Setya Novanto bukan saya yang ajak masuk Kosgoro, itu inisiatif sendiri. Kalau Made Oka Masagung, saya yang mengajak masuk pada 1995," kata Hayono, Jumat pekan lalu.
Waktu itu, Hayono memimpin Kosgoro. Mantan Menteri Olahraga ini yang mengenalkan Setya kepada Oka. Oka mengakui hal ini saat memberi kesaksian untuk terdakwa korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) Andi Agustinus alias Andi Narogong di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Pria kelahiran Jakarta, 31 Desember 1957, ini juga menceritakan kronologi perkenalannya dengan Setya. "Saya kenal sejak 1990-an melalui Pak Hayono di Kosgoro," kata Oka di pengadilan, Jumat, 10 November lalu.
Pemilik PT Gunung Agung ini berada di Kosgoro karena tuntutan ekonomi. Syahdan, pada 1991, Oka menderita stroke. Karena butuh biaya, ia lantas menjual saham perusahaan percetakan tersebut kepada PT Kosgoro pada 1994.
Hubungan jual-beli saham inilah yang membuat Oka masuk organisasi itu. Hayono mengatakan Oka diajaknya bergabung ke Kosgoro karena dianggap berjasa menyelamatkan gedung Wisma Kosgoro, kantor organisasi yang beralamat di Jalan M.H. Thamrin Nomor 53, Jakarta Pusat, yang kepemilikannya pernah hendak direbut seorang warga negara asing pada 1994.
Oka pun dipercaya sebagai Wakil Bendahara Kosgoro, yang dijabatnya selama lima tahun hingga 2000. "Sekarang ia bukan pengurus lagi, tapi tetap sebagai anggota Kosgoro," ujar Hayono. Setya juga membenarkan mengenal Oka sejak sama-sama di Kosgoro.
Sebetulnya, proses peralihan saham Gunung Agung ke Kosgoro itu menjadi titik awal hubungan bisnis antara Setya dan Oka. Penjualan saham Gunung Agung tersebut ikut mengubah komposisi direksi perseroan. Sejak 8 Februari 1994, Hayono duduk sebagai penasihat Gunung Agung dan Setya menjadi direkturnya. Oka menjadi komisaris bersama tiga orang lain, yaitu Novian Kaman, Tresnana Kedel, dan Muhammad Uncu Natsir.
Mereka bersama-sama di Gunung Agung selama dua tahun. Oka hengkang lebih awal pada 1996, Setya menyusul dua tahun berikutnya. Tapi Hayono membantah ada hubungan bisnis antara Setya dan Oka. "Saat berada di Kosgoro, setahu saya tidak ada hubungan bisnis apa pun di antara mereka," katanya.
Berpisah dari Gunung Agung tidak membuat hubungan bisnis antara Setya dan Oka buyar. Keduanya justru makin mantap menjalin kongsi usaha. Sesuai dengan dokumen pengadilan yang diperoleh Tempo, Oka pernah berencana bekerja sama dengan Setya untuk berbisnis di bidang tambang batu bara pada 2011.
Waktu itu, Setya sudah naik jabatan menjadi Ketua Fraksi Golkar di DPR sekaligus Bendahara Umum DPP Partai Golkar. Setya berencana membeli kuasa pertambangan senilai Rp 5 miliar. Setya akan menyetor modal sampai 15 persen atau sekitar Rp 1,5 miliar, sisanya modal dari Oka. Oka mengajak Setya karena menganggapnya sebagai orang yang luwes dan sanggup menyelesaikan masalah dengan mudah.
Di pengadilan, Oka membantah memiliki hubungan bisnis dengan Setya. Meski begitu, ia mengakui berkali-kali bertandang ke rumah Setya di Jalan Wijaya XIII Nomor 19, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Dalam soal proyek e-KTP, jaksa menyatakan Setya pernah meminta Andi Narogong dan Paulus Tannos, Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra, bertemu dengan Oka di rumahnya pada akhir 2011. Setya mengenalkan Oka kepada Andi Narogong dan Tannos dengan maksud agar Oka membantu menyelesaikan masalah keuangan proyek itu.
Saat itu, PT Sandipala, yang tergabung dalam konsorsium Percetakan Negara RI (PNRI), menjadi pemenang lelang proyek senilai Rp 5,9 triliun ini. Empat perusahaan lain turut bergabung ke konsorsium PRNI, yaitu Perum Percetakan Negara, PT Len Industri, PT Quadra Solution, dan PT Sucofindo.
Setelah dinyatakan sebagai pemenang tender e-KTP di Kementerian Dalam Negeri pada Juni 2011, PNRI belum juga menerima uang muka proyek. Padahal sejumlah anggota DPR, termasuk Setya, telah menagih fee 5 persen dari nilai proyek. "Terdakwa menyatakan agar commitment fee disampaikan melalui Made Oka Masagung," kata jaksa saat membacakan dakwaan di pengadilan pada Rabu pekan lalu.
Beberapa hari kemudian, Oka bersua dengan Tannos dan Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudihardjo di sebuah kafe di Oakwood Apartment, Jakarta. Kepada Oka, Tannos meminta bantuan memenuhi kebutuhan modal proyek e-KTP. Oka menyanggupinya dengan cara mengenalkan Anang dan Tannos kepada bank.
Uang bank itulah yang diserahkan kepada Setya lewat Oka. Nilainya US$ 3,8 juta dari Johannes Marliem, Direktur Utama PT Biomorf Lone Indonesia, perusahaan subkontrak penyedia automated fingerprint identification system (AFIS) merek L-1, serta dari Anang, yang ditransfer melalui dua rekening perusahaan milik Oka di Singapura, yaitu PT OEM Investment Pte Ltd dan Delta Energy Pte Ltd.
Di pengadilan, Setya dan Oka membantah adanya pengiriman uang dari Marliem dan Anang terkait dengan proyek e-KTP. "Tidak ada penyerahan uang itu," kata Oka.
Nama OEM Investment diduga merupakan penjelmaan dari perusahaan Gunung Agung, tempat Setya dan Oka pernah bekerja bersama-sama. Sesuai dengan dokumen pengadilan, Oka mengakui nama awal dari OEM Investment adalah Gunung Agung. Namun dia menampik Gunung Agung yang dimaksudkannya adalah perseroan PT Gunung Agung yang dulu dijualnya kepada Kosgoro. Menurut Oka, namanya sama karena sama-sama didirikan Haji Masagung, pendiri toko buku Gunung Agung di Kwitang.
Keakraban Setya dengan Oka juga terlihat dari cara mereka saling memanggil. Seperti dalam dakwaan, Setya acap memanggil Oka, yang dua tahun lebih muda, dengan sebutan "Oka", "Babeh", dan "Ka". Sedangkan Oka memanggil Setya dengan "Mas Nov", "Pak Nov", "Nov", dan "Babeh".
Rusman Paraqbueq, Fajar Febrianto, Anton Aprianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo