Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fanny Henry Tondo hampir saja patah semangat. Nenek berusia 70 tahun di depannya menolak ditemui. Si nenek malah bersembunyi ke belakang rumah.
Tapi setelah Tondo, 38 tahun, menjelaskan kedatangannya adalah untuk meneliti bahasa Gamkonora, si nenek malah kegirangan. "Tahu dari mana ada bahasa Gamkonora?" kata Tondo menirukan pertanyaan nenek itu.
Tondo adalah salah seorang peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang diberi tugas ke Gamkonora, Maluku Utara, pada Juni 2011. Misinya mendokumentasikan dan mengadvokasi bahasa Gamkonora yang hampir punah. "Ternyata si nenek takut karena masih trauma kerusuhan 1999 dan perburuan anggota Permesta," katanya kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Gamkonora adalah salah satu obyek penelitian LIPI di Indonesia timur guna mendata bahasa-bahasa etnis lokal yang hampir punah. Bertajuk "Pengembangan dan Perlindungan Kekayaan Budaya", program itu melibatkan 26 peneliti.
"Etnis-etnis itu adalah yang non-Austronesia, yang masuk rumpun Papua," ujar Tondo. Selain ke Gamkonora, tim dikirim ke Oirata di Pulau Kisar, Maluku; Kafoa dan Kui di Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur; serta Pagu di Halmahera Utara. Bahasa itu menjadi obyek penelitian karena jumlah penuturnya kurang dari 2.000 jiwa.
Proses penyelamatan bahasa lokal dimulai dengan sederhana: mengajak warga menuliskan kosakata bahasa mereka. Daftar kata itu disalin menjadi kamus kecil. "Yang terlibat mulai pensiunan guru hingga masyarakat umum," ujar peneliti lainnya, Soewarsono.
Tidak mudah mengajak mereka terlibat aktif menyusun daftar kata itu. Karena kebiasaan berbahasa lisan, mereka canggung melakukannya. Warga juga kesulitan menjelaskan apa arti sebuah kata. "Demikian juga sebaliknya, mereka kesulitan mencari padanan untuk kata dari luar," katanya. Ini terlihat di Oirata, tempat penelitian Soewarsono.
Selain karena pengetahuan bahasa mereka yang minim, peneliti kesulitan berinteraksi dengan warga karena rata-rata enggan ditanya secara individual. Mereka mau ditanya secara bersama-sama karena bisa saling mengoreksi. "Hal ini menunjukkan penutur Oirata sendiri tak yakin dengan apa yang mereka ketahui."
Meski begitu, usaha untuk menyusun kamus bahasa lokal tetap dilanjutkan. Hingga 2012, tim riset LIPI berhasil menyusun pra-kamus yang memuat sekitar 200 kata dari setiap lokasi penelitian. Usaha untuk menambah daftar kata itu masih akan berlangsung.
Kepala Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI Abdul Rachman Patji mengatakan kamus yang disusun itu akan digunakan sebagai materi pembelajaran di sekolah. "Tapi kesulitan berikutnya adalah siapa guru yang mengajarkannya," kata Patji.
Menurut Patji, menuliskan apa yang menjadi kebiasaan tutur adalah salah satu upaya penting menjaga kelestarian bahasa itu. Dengan demikian, peninggalan budaya itu bisa dibaca dan diwariskan ke generasi mendatang. "Meski penuturnya sudah tidak ada, paling tidak bahasa itu terdokumentasi," kata dia.
Setelah kamus tersusun, nantinya tim melanjutkan dengan meneliti tata bahasa (gramatikal), hingga penulisan aksara. Setelah itu, baru bahasa tersebut dijadikan muatan lokal untuk dipelajari di bangku sekolah.
Yeyen Maryani, Sekretaris Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mengatakan tanggung jawab mempertahankan dan mengembangkan bahasa lokal ada pada pemerintah daerah. "Badan Bahasa hanya ikut memfasilitasi," katanya.
Yeyen merujuk pada Undang-Undang tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Pasal 42 beleid itu menyatakan pemerintah daerah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah.
Upaya yang dilakukan LIPI perlu mendapat dukungan mengingat posisi Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki bahasa lokal paling banyak, yakni 756 bahasa. Sebanyak 30 persennya terancam punah. Di Papua saja ada 208 bahasa terancam punah.
Di Maluku Utara, belum ada bahasa yang terancam punah itu yang masuk kurikulum pendidikan. "Baru Ternate yang menjadikan bahasa daerah jadi pelajaran muatan lokal," kata Gubernur Maluku Utara, Thaib Armayin.
Sedangkan orang Gamkonora dan Pagu masih menunggu bahasa mereka bisa dipelajari di sekolah-sekolah.
Tito Sianipar, Iqbal Muhtarom (Jakarta), Mochtar Touwe (Maluku), Budhy Nurgianto (Maluku Utara)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo