Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Suluk yang Dilupakan Keraton

Di Keraton Yogya, juga di tempat asalnya, Keraton Solo, Centhini sudah tak lagi ditembangkan.

4 April 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Empat laki-laki berpakaian peranakan, lengkap dengan iket blangkon mondolan, dan empat perempuan berkebaya janggan warna hitam, duduk bersila di Bangsal Sri Manganti, Keraton Yogyakarta. Di hadapan mereka, sebuah meja kecil dengan kitab Babad Mataram beraksara Jawa. Ya, setiap Jumat mereka memang menembang pupuh Jawa tertentu. Dan Jumat itu mereka menembangkan bagian Bedhah Madiun, sejarah Madiun.

”Di lingkungan keraton, kami tidak pernah menembangkan teks-teks Centhini,” tutur Agustina Ismurjilah, 55 tahun, salah seorang penembang kelompok macapatan Keraton. Seingat dia, selama 30 tahun mengabdi di Keraton Yogya dengan latihan rutin setiap Rabu dan Jumat sore, teks yang berkisar tentang sejarah berdirinya Keraton Yogya selalu dinyanyikan.

Entah mengapa, bagi keraton, Centhini seolah-olah masih ”tabu”. Mungkin karena naskah itu bercerita tentang hal-hal yang menyangkut perlawanan terhadap keraton. Padahal, isi Centhini menyajikan berbagai situasi mewakili perasaan manusia.

Suryanto Sastro Atmojo, misalnya, ingat kebiasaan eyangnya, Panembahan Adipati Puger di Lumajang. Menjelang makan siang dan malam, ia selalu memerintahkan dua abdinya, plus seorang penabuh gender, bergantian menyanyikan satu episode Centhini, yakni bagian yang menyinggung Seh Amongraga dijamu dengan aneka hidangan oleh seorang pendeta di satu wilayah. Di saat-saat menjelang tidur, Centhini juga menemani. Ia merangkul guling, meminta abdinya menembangkan bagian ketika Seh Amongraga mengajari istrinya teknik-teknik seksual.

Ismurjilah hanya bisa menduga: ”Mungkin di Keraton Solo rutin ditembangkan, karena asal Centhini dari sana.” Begitukah? Yang jelas, Pangeran Haryo (GPH) Puger dari Keraton Kasunanan Surakarta menyebut bahwa tradisi caos macapat (membaca macapat) hanya melantunkan tembang-tembang setingkat Wulangreh dan Wredatama. Salah satu putra mendiang Pakubuwono XII itu ingat pembacaan Babad Kartasura. ”Centhini, saya tak tahu kapan pernah ditembangkan di sini,” kata Gusti Puger.

Menurut KRHT Winarnodipuro, tindih caos macapat (pemimpin kelompok macapatan) di Keraton Solo, teks Serat Centhini terlalu panjang dan sulit. Lagi pula keraton hanya memiliki teks yang beraksara Jawa, dan kini tak banyak abdi dalem yang mampu membaca secara benar tulisan Jawa. ”Memang sudah ada Centhini yang dilatinkan (maksudnya oleh KarkonoСRed.), tetapi kami kurang sreg kalau yang mengalihkan dari huruf Jawa ke huruf latin bukan orang dalam keraton kita sendiri. Rasanya bagaimana, gitu,” kata KRHT Winarno.

Seingat KRHT Winarno, terakhir kali macapatan yang melantunkan Serat Centhini dilakukan di hadapan PB XII pada tahun 1970-an. Memang bukan seluruh bagian Centhini yang dibaca. Tetapi, dia tak ingat persis bagian mana yang dibaca para abdi. Menurut dia, Serat Centhini sekarang di Keraton Solo hanya dipajang di perpustakaan Sasono Pustoko. ”Tapi kami punya niatan akan pelan-pelan melatinkan Centhini, lalu Centhini akan menjadi bagian yang ditembangkan dalam caos macapatan setiap malam Jumat,” tuturnya.

Di luar tembok Keraton Solo, Serat Centhini juga tak laku di kalangan penggemar tembang macapatan Solo. Dalang Slamet Gundono, yang 21 April nanti bakal mementaskan Minggatnya Cebolang versi Elizabeth Inandiak, mengakui belum pernah menyaksikan ada kelompok macapat di Solo yang sering melantunkan Centhini. ”Saya tidak tahu persis mengapa serat itu jarang ditembangkan.”

Waluyo S. Kar, pengajar seni karawitan di STSI Solo, pun mengakui tembang-tembang Serat Centhini kurang populer di kalangan seniman karawitan. Waluyo juga tidak tahu persis penyebab ketidakpopuleran Centhini. ”Saya dulu pernah mendengar ada kelompok macapat yang sesekali menembangkan Centhini. Tetapi, setelah pengasuhnya, Pak Tarman, meninggal, saya malah tidak tahu apa komunitas itu masih atau tidak,” ujarnya.

Dia beranggapan, ketidakpopuleran penyebaran tembang Serat Centhini merupakan politik kekuasaan kesenian. Publik, kata dia, akan berkiblat pada seni yang dibawa oleh penguasa yang memiliki kekuasaan besar. Wulangreh, yang diciptakan Mangkunegara IV, menjadi begitu po-puler karena Mangkunegara IV sendiri dulu adalah penguasa yang disegani.

Di Yogya masih lumayan. Meski di keraton tak ditembangkan, masih ada perkumpulan tembang di luar keraton yang sesekali melantunkan Centhini. Setidaknya di Yogya sekarang ada dua perkumpulan macapat, yaitu Dharma Winahya dan Sekar Setaman. Ibu Agustina Ismurjilah adalah juga anggota kedua perkumpulan itu. Di berbagai sarasehan bahasa Jawa, beberapa kali ia juga menembangkan Centhini. ”Namun, yang saya tembangkan bukan soal bagian seksnya, melainkan bagian filosofi kehidupan. Misalnya filosofi hidup melalui metafora gamelan....”

Mengapa Ismurjilah atau yang sering dipanggil Eyang Panji ini enggan menembangkan bagianbagian yang erotis? ”Saya sebagai orang Jawa tidak sampai hati menembangkan adegan seksual itu,” jawabnya. Ismurjilah mengakui, Centhini baginya memberikan pelajaran menarik, yaitu bahwa semua manusia itu sama. Entah wali, pemimpin, priayi atau siapa saja butuh seks.

Tapi, ada beberapa bagian yang dianggap terlalu vulgar. ”Misalnya adegan seks antara seorang pria dan dua orang wanita. Yang satu masih gadis, memang sengaja diserahkan oleh orang tuanya agar memperoleh pendidikan seks dari laki-laki yang masih ningrat itu. Yang perempuan satunya menuntun.... Atau, itu lho, ada orang sakit gonorrhea yang bisa sembuh jika kelaminnya dimasukkan ke dalam kelamin kuda betina....”

Yang dimaksud Ismurjilah adalah cerita tentang sahabat Jayengraga bernama Nuripin. Suatu kali ia terkena gonorrhea. Ia meringis-ringis kesakitan. Oleh Kulawirya, paman Jayengraga, ia diberi tahu obatnya adalah kelamin kuda. Ia percaya saja. Ia membawa seorang penari ronggeng ke kandang, menyuruhnya telanjang bulat. Setelah terangsang melihat penari itu, ia langsung memasukkan kelaminnya ke kelamin kuda betina. Hasilnya, cespleng, ia sehat. Ismurjilah seperti geli membayangkan hal itu. ”Enggak tahu, ya, apakah penyembuhan seperti itu bisa dipertanggungjawabkan secara medis....”

Seno Joko Suyono, Heru C. Nugroho, Imron Rosyid, L.N. Idayanie

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus