Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ruangan berukuran dua kali dua setengah meter itu terasa pengap. Di salah satu sudut, sebuah selimut tebal terlipat. Kusam. Boleh jadi, onggokan partikel debu dan kutu menempel di sela-sela lipatannya. Di sudut lain, di atas meja kecil, tergeletak baskom aluminium tempat makanan. Selebihnya adalah tembok tebal, lubang angin, dan jeruji besi kokoh.
Saat pintu jeruji dibuka, bunyi putaran engsel karatan seperti rintihan lirih, lalu lenyap setelah memantul di tembok lorong-lorong yang sepi. "Di sini Nelson Mandela melewatkan sebagian besar hari-harinya dalam tahanan," kata Modise Pekhonyane, pemandu yang mengantar berkeliling penjara Robben Island, sebuah pulau kecil dekat Tanjung Harapan, Afrika Selatan, Februari lalu.
Jadi, inilah Alcatraz ala Afrika Selatan. Di musim dingin, pulau ini nyaris sepenuhnya tertutup kabut. Hawa dingin pojok bumi bagian selatan membuat air Samudra Atlantik yang mengelilingi pulau ini sanggup membekukan tulang siapa pun yang cukup gila untuk merenanginya. Di musim panas, debu dari bebatuan kapur yang menutup hampir seluruh bagian pulau cukup untuk membuat paru-paru tersedak. Sungguh kombinasi sempurna untuk sebuah resort penghukuman.
Kini, penghukuman tak ada lagi di pulau gersang itu. Tak lama setelah rezim apartheid tumbang di awal 1990-an, para tahanan dilepas. Penjara Robben pun berubah menjadi museum. Sepanjang tahun, turis berdatangan ke sini, mencoba menggali ingatan tentang zaman gelap ketika manusia pernah dinista hanya karena berbeda warna kulit.
Jejak kegelapan itu bahkan terulur jauh hingga abad ke-15 saat penjelajah besar Portugis, Bhartolomeu Diaz, mendarat di Pulau Robben pada 1488. Dialah petualang kulit putih pertama yang menjejakkan kaki di ujung benua hitam Afrika. Dan seperti sejarah takluknya benua Amerika, sejak itu, gelombang demi gelombang kaum kulit pucatBelanda dan Inggrisberdatangan, mendesak puak kulit hitam tidak hanya ke hutan-hutan di pedalaman, tapi juga ke kerak kehidupan paling bawah. Hanya setelah puluhan tahun pemberontakan berdarah dan tekanan dunia internasional, pada 1991 presiden kulit putih F.W. de Klerk secara resmi mencabut semua hukum yang membelenggu puak kulit hitam.
Shakumzi adalah salah satu puak hitam Afsel yang menikmati buah runtuhnya apartheid itu. Pada 2001, Shakumzi Nakubela, nama lengkapnya, mulai membuka sebuah restoran di Soweto30 menit bermobil dari Johannesburg, tepat di pinggir Jalan Vilakazi. Hanya sepelemparan batu dari halaman restonya, berdiri rumah mungil tempat Nelson Mandela dulu tinggal. Beberapa menit berjalan ke seberang, terletak rumah Uskup Desmon Tutu. Mandela dan Tutu adalah pemenang Hadiah Nobel untuk Perdamaian atas jasa mereka menantang apartheid. "Yeah , ini satu-satunya restoran di dunia yang dijepit dua rumah pemenang Nobel," kata dia bercanda saat memperkenalkan diri. "Dari Indonesia? Saya ikut prihatin atas bencana tsunami di negeri Anda," katanya ramah sambil menawarkan sepotong es krim.
Keramahan, sajian hidangan menu Barat dan Afrika, suasana jamuan yang sangat personal, plus lokasi yang sangat strategis adalah gabungan yang membuat resto Shakumzi ini laris dan sangat dicari para turis. Tiap hari, sedikitnya 100 orang datang mengalir untuk menikmati ayam kari imququ dan menenggak amarulla yang menghangatkan pori-pori. Bukalah buku-buku wisata tentang Afrika Selatan, maka selalu tercantum di sana nama resto Shakumzi sebagai tempat favorit bersantap. "Yeaah , kami berutang budi pada Bapak Mandela, pada Uskup Tutu, pada pejuang-pejuang anti-apartheid, dan pada warga Soweto, sehingga kami bisa menjalankan hidup dengan normal," katanya lagi.
Normal? Ya, Shakumzi adalah satu dari sedikit warga kulit hitam yang pandai meniti buih dan tumbuh sebagai pengusaha sukses. Sejak kekuasaan kulit putih runtuh, ekonomi Afrika Selatan melejit bak puma liar di padang safari. Pada 1993, saat dunia masih mengucilkan negeri ini dengan segala bentuk embargo, tak sampai 700 ribu turis asing yang datang. Kini, dalam setahun rata-rata dua juta turis mengalir dan terus bertambah, menjadikan bisnis pariwisata sebagai pilar keempat ekonomi mereka. Dan tak ada lagi pembatasan bagi kaum kulit hitam untuk berbisnis. Di sektor pariwisata saja, sekarang tercatat 600 bisnis turisme skala besar yang dimiliki kaum kulit hitam.
Punahnya apartheid memang membawa berkah luar biasa. Kini, Afrika Selatan adalah negara kaya, jauh mengalahkan negeri-negeri tetangganya. Jangan bandingkan negeri ini dengan Indonesia. Jalan-jalan mulus nan rapi, gedung-gedung modern, mal-mal mewah yang bersanding dengan bangunan-bangunan kuno eksotik warisan kolonial lebih mengingatkan pada kota-kota Eropa ketimbang sebuah negara berkembang. Tahun lalu saja, produk domestik bruto (PDB) mereka mencapai US$ 10 ribu per kapitatiga kali lipat PDB Indonesia di tahun yang sama yang hanya US$ 3.100. "Kami memiliki pasar modal terkuat di seluruh kontinen Afrika, 15 lapangan golf terbaik kelas dunia, produksi emas 1 juta ton setahun, salah satu negara penghasil berlian terbaik sejagat . Segalanya kami miliki untuk menjadi negara maju," kata Memela, Duta Besar Afrika Selatan untuk Indonesia.
Masih ada yang belum disebut Memela: Afrika Selatan memiliki para "waBenzi" yang kian lama kian bertambah jumlahnya. WaBenziberasal dari kata Benz, mobil mewah Mercedes Benzadalah kelompok yuppies elite kulit hitam gemah ripah loh jinawi. Berpendidikan master atau doktor dari luar negeri, dengan cepat mereka menikmati gemerincing randmata uang Afrika Selatan; satu rand sekitar Rp 1.100dari perusahaan-perusahaan asing atau lembaga-lembaga keuangan yang terus bertambah di negeri ini.
Para WaBenzi inilah pengusung gaya hidup yang dulunya hanya bisa dinikmati kulit putih: Setelan jas mahal Hugo Boss, anggur chardonay untuk makan malam seharga Rp 500 ribu sebotol, sekolah elite terbaik bergaya Etonian untuk anak-anak mereka, dan tinggal di rumah mewah penuh alarm yang akan menjerit hanya karena seekor tikus melintas. Jangan coba-coba menerobos alarm itu, karena dalam sekejap pasukan polisi bersenjata akan datang.
Alarm itu seolah menorehkan demarkasi tegas antara dunia para WaBenzi dan elite kulit putih dengan jagat suram di luar pagar mereka. Saat ini, dari 39 juta warga kulit hitam (total penduduk Afrika Selatan 49 juta jiwa, 79 persen kulit hitam, 9,6 persen kulit putih, sisanya peranakan India, Asia), hanya 1,6 persen yang bisa menikmati dunia para WaBenzi. Selebihnya, masih berkubang dalam kemiskinan.
Bagi kelompok terakhir, jatuhnya apartheid tak sama artinya dengan perubahan nasib. Merekalah yang terpuruk di kompleks perumahan kumuh yang mudah dilihat dari tepi jalan raya besar di pinggiran Johannesburg, Pretoria, Durban, atau kota-kota besar lain.
Dari jauh, rumah mereka lebih mirip tumpukan kotak karton tambal sulam. Di beberapa sudut karton estate itu, sekumpulan laki-laki duduk mencangkung, menatap malas serombongan bocah kurus legam berlarian kian kemari menendang bola dari buntalan kain bekas. "Sebagian dari mereka adalah imigran dari negeri-negeri tetangga (Zimbabwe, Mozambik, Namibia, Botswana) yang berharap mendapatkan kehidupan lebih baik di negeri kami," kata Karl, pemandu kulit putih yang mengantar kami berkeliling.
Kehidupan lebih baik, itulah janji Nelson Mandela 11 tahun lalu saat terpilih sebagai presiden, kemudian diteruskan Presiden Thabo Mbeki dengan program "Pemberdayaan Ekonomi Kulit Hitam"-nya. Tapi, sebelas tahun tak cukup untuk mengantarkan keajaiban. Kesenjangan ekonomi itu melahirkan fenomena baru yang tak terjadi bahkan di masa apartheid: mewabahnya HIV/AIDS dan menggilanya kriminalitas. Inilah negeri yang rekor penderita AIDS-nya tak tertandingi negara mana pun: tiap satu dari lima penduduk dipastikan menderita penyakit mematikan itu.
Bahkan, kalaupun AIDS tak cukup untuk membunuh, kejahatan di jalanan akan menggantikannya. "Di sini, orang dengan dingin bisa menembak hanya untuk merampas telepon genggam," kata seorang teman di Kedutaan Indonesia di Pretoria.
Sang teman tak sedang menakut-nakuti. Di Johannesburg, sepanjang 2003 saja tercatat 20.173 kasus perampokan, alias 55 perampokan setiap hari. Ini belum termasuk kasus penembakan, pencurian kecil-kecilan, atau perampasan mobil. Tak mengherankan, media Barat sering menjuluki Johannesburg sebagai kota paling berbahaya di duniabahkan melebihi ganasnya Chicago, Amerika Serikat.
Angka-angka itu membuat saya mafhum, mengapa orang-orang kaya selalu memasang alarm di rumahnya dan peringatan dengan huruf-huruf mencolok di pagar: "Dilarang Masuk. Rumah Ini Dilengkapi Alarm dan Pengamanan Bersenjata". Maka, "Jangan keluar malam sendirian, jangan melawan jika ditodong, pokoknya pasrah saja kalau dirampok, dan jangan lupa berdoa ," nasihat sang teman di kedutaan.
Saya tak terlalu peduli nasihat itu, sampai suatu ketika, seusai makan siang di resto Shakumzi, saya tertinggal dari rombongan yang sudah beranjak lebih dulu. Entah dari mana, tiba-tiba seorang laki-laki tinggi kurus, dekil, dengan balaclava di kepala, menghadang. "Tuan, beri saya rand ," katanya. Uuupss , bau alkohol menyembur sengit dari mulutnya.
Gugup dan lupa harus merapal doa apa, dengan refleks saya menyingkir. Tapi si kurus lebih cepat. Tiba-tiba saja dia sudah menghadang lagi. "Ayolah, Anda tak akan mati hanya dengan memberi saya beberapa rand," bisiknya serak. Untunglah, di saku ada recehan 20 rand. "Thanks, Brother God bless you ," kata si kurus, secepat kilat menyambar recehan, lalu melangkah limbung menjauh.
Perjumpaan dengan si kurus itu seolah mengingatkan bahwa satu dasawarsa selepas apartheid belumlah cukup bagi bangsa Afrika Selatan. Seperti kata Uskup Desmond Tutu dalam pidato kecamannya yang menyengat Mbeki, medan perang mengangkat kehidupan kaum kulit hitam jauh lebih berat dibanding merontokkan tirani kulit putih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo