Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dari Merapi sampai Himalaya

Elizabeth D. Inandiak menerjemahkan Serat Centhini. Perjalanan Spiritual menggali manuskrip yang mungkin terancam punah.

4 April 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia seorang perempuan Prancis. Usianya 45 tahun, tubuhnya langsing, kulitnya putih, dan rambutnya pirang, tapi tutur katanya mendekati Jawa. Pada bulan Februari 2005, di gelap malam, mungkin kita dapat menangkap sosoknya yang duduk bersila, menghadap Pantai Selatan yang ombaknya menderu, memejamkan mata. Dalam Art Space Festival 2005, ia ”menyatu” bersama angin dan pasir Parangtritis yang dingin.

Ia, Elizabeth D. Inandiak, lembut tutur katanya. Tapi diakuinya, ia hanya bisa mengucap matur nuwunСsatu-satunya kata bahasa Jawa yang dikuasainya. Ya, ia telah jatuh hati pada Jawa dan biasa bersemadi. ”Ini bagian dari pergaulan saya dengan Centhini,” ucapnya. Dari situ, lahirlah Le Livre de Centhini, Serat Centhini versi Elizabeth D. InandiakСdalam bahasa Prancis, jauh lebih ringkas dari aslinya, dan dengan gaya bertutur yang lebih liris.

Ia memang seorang muslimah yang cukup banyak mengunyah tasawuf. Tapi, Centhini telah menghampirinya di titik-titik tak terduga dalam perjalanan hidupnya. Centhini pertama kali didengar ketika ia mendapat tugas ke Indonesia: membuat artikel tentang Islam dan kebatinan pada 1988. Mohammed Rasjidi, seorang mantan Menteri Agama di masa Bung Karno, memperkenalkan Centhini dalam pembicaraan-pembicaraannya. Mohammed Rasjidi, salah satu sumber yang membantunya menulis artikel, seorang lulusan Universitas Sorbonne yang mengkritik Centhini dalam tesis doktornya.

Mohammed Rasjidi sekarang sudah tiada. Tapi Elizabeth mengingat Rasjidi sebagai sosok yang unik: sangat menguasai, tapi juga membenci soal-soal gaib. Tesisnya berjudul Considerations Critiques du Live de Centhini, pertimbangan kritis tentang Serat Centhini. Saat itu hati Elizabeth memang belum tergerak, tapi satu hal yang pasti: Mohammed Rasjidi telah membukakan pintu dunia kejawen baginya.

Atas rekomendasi Rasjidi, Elizabeth menemui beberapa sumber istimewa, sumber yang pada akhirnya mendorongnya menjelajahi dunia itu lebih dalam. Ia, misalnya, tak bisa lupa kata-kata Mbah Maridjan, sosok yang sangat dihormati di lereng Gunung Merapi. ”Mbah Maridjan menyadarkan saya. Katanya, kalau saya naik, tidak boleh berpikir akan sampai puncak, agar kalau saya jatuh saya tidak akan sakit,” tuturnya.

Tapi, sekali lagi, perjalanan hidup kembali mempertemukannya dengan Centhini. Ia bertemu Yoga Dwi Prasetyo, yang kemudian menjadi suaminya. Pada 1991, seorang putri lahir. Kegembiraannya bertambah manakala seorang ahli sejarah Jawa dari Prancis, Prof. Denys Lombard, menghadiahinya tiga jilid buku Le Carrefour Javanais, diterbitkan 1990 di Paris. Ia langsung melahap, lalu terpana ketika matanya melihat sebuah judul pada jilid III: Pengembaraan Orang-orang Tidak Puas. Bab yang mengingatkannya pada salah satu pembicaraannya dengan almarhum Mohammed Rasjidi. ”Di situ saya pertama kali membaca isi Centhini, meskipun hanya ringkasan dan tidak seindah aslinya,” katanya.

Ia terpesona, bahkan sempat mencoba merekonstruksi tokoh itu dalam novel rekaannya. Namun, tak ada yang lebih jauh mengilhaminya selain pembicaraannya dengan Duta Besar Prancis, Thierry de Becaucђ, pada 1996.

Dalam jamuan makan malam di Jakarta itu, Thierry bertanya tentang bunga wijayakusuma. Konon, bunga asli Jawa itu sakti. Kesaktiannya sama dengan bunga mandragora dari Cina. Cerita Rasjidi kembali membayang, tentang misteri Centhini dan wijayakusuma.

Gayung bersambut. Thierry sangat tertarik, dan khawatir karya tulis dalam bahasa Jawa kuno bercampur Sanskerta dan Arab itu terancam punah. Elizabeth sendiri bersedia menerjemahkannya ke dalam bahasa Prancis. ”Saya lihat memang belum ada yang menerjemahkan Centhini ke bahasa asing.” Elizabeth langsung melupakan novel yang sudah ditulisnya 100 halaman di atas, dan mengawali pencariannya yang panjang.

Ia terbang ke Prancis, melacak disertasi Rasjidi, menyidik pelbagai referensi yang tersimpan di berbagai museum dan perpustakaan di Indonesia. Juga tokoh dan ahli kebudayaan Jawa, termasuk para kiai. Elizabeth sempat bimbang ketika beberapa kiai yang dihubungi meragukan langkahnya. Kata mereka: ”Untuk bisa memahami seluruh isi Centhini, Anda harus belajar dulu sepuluh tahun.” Elizabeth menggambarkan situasi yang dihadapinya: Saya berjalan di terowongan, mengarungi waktu yang diam. Tapi tidak ada persoalan tanpa jalan keluar, dan ia pun mencari seorang penerjemah.

Ada ritual baru yang dijalaninya. Ia rajin lagi menemui Mbah Maridjan di lereng Merapi. Kini ia benar-benar tak berdaya menghadapi Jawa yang telah menyihirnya. Proses ini lalu mengantarnya pada bermacam pengalaman dan produktivitas baru. Elizabeth mengaku, ia berjumpa kembali dengan masa kanak-kanaknya yang penuh cerita akan pangeran, raksasa, peri, dan kera putihСsemua yang pernah didongengkan neneknya dulu.

Dari pengalamannya di lereng Merapi, ia menghasilkan sebuah buku, Lahirnya Kembali Beringin Putih. Buku tersebut diterbitkan pada 1998, tepat saat rezim Orde Baru yang telah berkuasa tiga dasawarsa lebih itu ambruk. Kemudian, dari pelacakannya akan tembang-tembang Serat Centhini, lahirlah karyanya Le Livre de Centhini empat tahun silam.

 Ia terus berjalanСElizabeth memakai istilah menyusuri lorong, masuk ke lapisan tanah Jawa yang lebih dalam. Ia menelusuri sastra Jawa kuno: zaman Borobudur, Candi Kalasan, dan Kerajaan Sriwijaya di Sumatera. Lewat seorang yogi, Elizabeth kemudian mengikuti jejak biksu Buddha asal Benggala, India Timur, yang terkenal: Atisha. Atisha, sosok yang lahir pada pertengahan abad ke-10 itu, berlayar jauh, bahkan tiba di Sriwijaya pada awal abad ke-11.

Alkisah, waktu itu, 1997, ia berada di Himalaya. Seorang pendeta Bangladesh memberinya abu sang tokoh. Tiga tahun berselang, ia memang mengembalikan abu itu ke Dalai Lama di India. Tapi Elizabeth masih melanjutkan pengembaraan panjangnya: dari Centhini, ke Sriwijaya, kemudian Tibet.

Kini Elizabeth hidup bersama putrinya, Sarah Diorita Prasetyo, putri dari perkawinannya yang berakhir beberapa tahun lalu. Mereka mendiami rumah kontrakan di Dusun Pajangan, Tridadi, Sleman, Yogyakarta. ”Putri saya warga negara Indonesia. Saya harus tinggal bersama dia. Karena itu, saya yang mengalah, harus sering pulang ke Prancis untuk mengambil pekerjaan. Pekerjaan itu saya kerjakan di sini.”

L.N. Idayanie

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus