SAMPAH di Jakarta masih memerlukan perhatian serius. Bersama
Dinas Kebersihan DKI beberapa orang pencinta lingkungan pekan
lalu melakukan widia wisata kebersihan. Sasaran yang dituju tak
lebih dari tempat-tempat tumpukan sampah di ibukota.
Tumpukan sampah yang terkenal di Cawang (Jakarta Timur) dan
sudah mengambil korban 32 anak muntah-muntah itu tak luput dari
sasaran peninjauan. Bau busuk tentu masih tercium, malahan
menghambur ke mana-mana (TEMPO 14 Oktober). "Tapi kalau hanya
soal bau bisa tanggulangi dengan tehnologi modern," kata
seorang dari pencinta lingkungan yang turut dalam widia wisata
kebersihan itu. Tapi persoalan sebenarnya adalah pencemaran alam
sekitar, bukan hanya sekedar bau.
Pihak Dinas Kebersihan DKI mengusulkan agar tumpukan sampah yang
masih banyak terlihat di kawasan ibukota ini dikeruk dan
dipadatkan (sanitary landfill). "Biayanya memang mahal, lebih
besar dari anggaran Rp 2 milyar seperti sekarang, tapi lebih
kecil dari perhitungan WHO yang Rp 14 milyar" kata M. Fajar dari
Pembinaan dan Pengawasan Dinas Kebersihan DKI. Sanitary landfill
ini diusulkan mengambil tempat di kawasan Jakarta Timur,
berareal 14 hektar.
Tapi mengapa kotoran-kotoran bekas itu tak disalurkan ke pabrik
kompos? Ternyata pabrik kompos yang ada sekarang di DKI sudah
tak berproduksi. Kabarnya karena biaya eksploitasi jauh lebih
besar, sehingga penjualan pupuk komposnya juga harus dengan
harga 40% lebih tinggi dari pupuk kimia. Apalagi kalangan petani
sudah lebih terbiasa dengan pupuk jenis terakhir ini.
Kali Tanah Tinggi
Para peserta widia wisata kebersihan dengan peserta 20 orang itu
kemudian meninjau Kali Tanah Tinggi di daerah Bungur. Di atas
sungai yang sudah hitam pekat dan seperti mengental itu selalu
bertengger jamban warga sekitarnya. Dan juga tumpukan sampah. Di
tepi sungai ini terlihat pula beberapa gerobak sampah. Maksudnya
agar warga sekitarnya membuang kotoran bekas ke gerobak dan
sekaligus juga sebagai alat untuk mengangkutnya. Tapi penduduk
kawasan itu masih melempar sampah sesuka hati, ke Kali Bungur.
Sampah hasil buangan industri di Jalan Sepor atau Pedongkelan
(Jakarta Timur) lebih tak sedap lagi. Di sini bekas-bekas oli
dan kotoran-kotoran lain dari pabrik-pabrik di Pulo Gadung sudah
menghitam dan berbau menusuk. "Lima menit di sini nafas saya
sudah sesak" kata seorang peserta widia wisata. Lalu, bagaimana
nasib para pekerja yang sepanjang hari ada di sekitar sana?
Padahal menurut hasil tes laboratorium sampah oli ini sangat
berbahaya. "Mereka membuangnya mencuri-curi di malam hari" tutur
seorang dari dinas kebersihan.
Penduduk Jakarta yang 5,7 juta ini menghasilkan sampah tak
kurang dari 12.000 m3 sehari. Tak seluruhnya terserap oleh mobil
pengangkut dari dinas kebersihan. "Hanya 70% yang terangkut,
sisanya diserap oleh masyarakat" kata M. Fajar. Artinya sampah
itu dibakar atau dibiarkan berserakan sampai hilang sendiri.
Armada angkutan sampah milik Dinas Kebersihan DKI: 571 buah
truk, 26 buldozer dan 2.164 gerobak sampah. Jumlah ini sudah
dianggap cukup. Masing-masing truk bekerja 2 rit sehari. Di
antaranya ada yang hanya bekerja di malam hari.
Tempat-tempat pembuangan sampah yang sudah dinyatakan tertutup
dan padat, selanjutnya menjadi wewenang Pemda DKI. Terserah
penggunaannya, untuk bangunan atau taman. Tapi tempat serupa itu
jika dibiarkan berlama-lama, seperti di Cawang dan Jalan
Pramuka, tak salah lagi akan menjadi tumpuan sumpah serapah
warga ibukota karena bau dan menusuk penglihatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini