MASALAH pukat harimau (trawl) belum juga beres. Di Sumatera
Utara belakangan ini terjadi sedikit selisih antara pihak Dinas
Perikanan dengan pihak Kantor Gubernur Sumatera Utara. Dengan
tujuan membatasi jumlah pukat harimau, sekitar akhir tahun lalu
Gubernur Sumatera Utara mengeluarkan dua buah surat keputusan.
Di dalamnya disebutkan wewenang memberi izin kepada pukat
harimau hanya ada di tangan gubernur. Tidak lagi oleh Dinas
Perikanan.
Tapi setelah diteliti ternyata hingga pertengahan bulan lalu
masih terdapat sejumlah pukat harimau yang beroperasi
dengan memanfaatkan izin Dinas Perikanan Sumatera Utara yang
dikeluarkan Desember 1977 dan Maret 1978.
Karena itu di samping mencabut beberapa izin yang mencurigakan,
juga penelitian terus dilakukan. Baik terhadap izin yang telah
dikeluarkan maupun belum. Malahan di Pelabuhan Belawan
dikabarkan 72 surat izin pukat harimau telah ditahan pihak
syahbandar.
Di Sibolga
Sementara di pantai timur Sumatera Utara, yaitu di Selat Malaka,
jumlah pukat harimau itu dibatasi dengan berbagai cara, keadaan
di pantai barat berlainan. Khususnya pukat-pukat harimau yang
berpangkalan di Sibolga, masih tetap mendapat angin baik. Dari
500 buah pukat harimau yang diperkenankan beroperasi di kawasan
propinsi ini (dari jumlah seluruhnya 1.215 buah) 150 buah di
antaranya harus melabuhkan sauh di pantai barat, yaitu Sibolga.
Pembantu TEMPO di Sibolga Bersihar Lubis, menulis laporan
berikut.
Berbeda dengan daerah-daerah lainnya, di Tapanuli Tengah,
khususnya bagi Kota Sibolga, pukat harimau dianggap sebagai
sumber rezeki besar bagi kas pemerintah daerah. Begitu juga bagi
para nelayan tradisionil. Mereka berbondongbondong meninggalkan
perahu tradisionil, lalu menjual tenaga sebagai buruh: pembelah
ikan, penjemur ikan atau pengecer ikan dari para pemilik
perusahaan penangkapan ikan yang memiliki pukat harimau. Menurut
buruh-buruh itu, pendapatan mereka sebagai pekerja naik 100%
dibanding ketika masih menjadi nelayan tradisionil. Tak kalah
dari itu, menurut Walikota Sibolga, Pandapotan Nasution SH,
pendapatan kotamadya malahan naik 1000% dibanding ketika
pukat-pukat harimau itu belum menggalak di sini.
Keadaan di Asahan berbeda dengan Tapanuli Tengah. Koresponden
TEMPO di Medan, Zakaria M. Passe, mengutip keluhan
nelayan-nelayan tradisionil d daerah ini. Rezeki mereka masih
tetap terpukul oleh pukat-pukat harimau. Baik ketentuan Menteri
Pertanian maupun SK Gubernur Sumatera Utara yang mengatur
operasi pukat-pukat harimau, tak banyak dipatuhi di Asahan.
Karena itu Badan Perjuangan Penertiban Pukat Harimau 19
September lampau mengadukan nasib para nelayan tradisionil di
sini melalui surat kepada Presiden Soeharto. Antara lain surat
itu menyebutkan: pukat-pukat harimau itu masih menggerayangi
perairan terlarang. Yaitu 6 mil dari pantai surut.
Akibatnya tak sedikit ambai dan jaring milik nelayan tradisionil
disapu pukat-pukat harimau itu. Badan tadi juga melaporkan
adanya pemalsuan nomor selar kapal pukat dengan cara menukar
nomornya. Menariknya surat pengaduan kepada kepala Negara RI
tadi dikirim tanpa melalui Bupati Asahan. Menurut sumber TEMPO
di Asahan, hal itu dilakukan karena badan tadi tak banyak
menaruh harapan pada bupatinya. Sebab kabarnya 2 di antara pukat
harimau yang beroperasi di pantai Asahan adalah milik bupati.
Di Aceh
Di pantai barat Aceh hampir sama dengan Asahan. Tapi deru pukat
harimau di sini selalu diimbangi dengan berbagai tindakan tegas.
Koresponden TEMPO di Banda Aceh, Darmansyah, melaporkan,
misalnya di wilayah Singkil, Aceh Selatan, puluhan pukat harimau
telah diseret jauh dari laut, masuk ke kuala Sungai Singkil.
Pembantu Bupati (Aceh Selatan) di Singkil, drs. Hussain Alamsyah
tak segan-segan turun ke laut dan mengejar pukat-pukat harimau
yang melanggar daerah operasi. "Kita tangkap sewaktu mereka
menabur jaring" ungkap Hussain tentang cara-caranya menangkap
pukat-pukat itu.
Tapi ternyata para pemilik pukat itu tak jera. Malahan dari 12
pukat harimau yang berkasnya diserahkan Hussain ke Pengadilan
Negeri Singkil, 4 di antaranya divonis bebas. Sisanya hanya
dikenakan denda masing-masing Rp 7.500. Sementara itu frekwensi
pelanggaran semakin meningkat. Lebih celaka lagi karena kemudian
ternyata tak sedikit dari pengelola pukat itu yang terdiri dari
pejabat-pejabat pemerintah. Bukan pejabat Pemda Aceh. Tapi dari
Sibolga. "Kalau boat mereka kita sikat, akan datanglah Ketua
DPRD-nya, atau utusan bupati, atau utusan walikota" kata Hussain
kepada TEMPO.
Untuk membuat mereka jera, akhir-akhir ini Hussain punya cara
lain. Begitu mereka tertangkap, boat-nya diperam saja di
pelabuhan. Perkaranya ditunda-tunda. Dengan begitu, menurut
pembantu bupati itu, pemiliknya kewalahan. Sebab mereka harus
tetap membayar makan anak buah perahu motor itu. Cara begini
memang ada hasilnya, meskipun tak berarti menghentikan deru
pukat-pukat itu seluruhnya.
Memerangi pukat harimau rupanya sudah menjadi kesepakatan di
kawasan Aceh Selatan. Bupatinya sendiri, Sukardi, pernah
mengungkapkan bujukan beberapa cukong maupun pejabat di daerah
ini, agar Sukardi memberi izin operasi pukat. Tapi ia tetap
menolak. Meskipun seorang di antara pejabat yang membujuknya
adalah Wakil Ketua DPRD Aceh Selatan sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini