Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Warga HBS Dan Wali Kota

Kasus penggusuran warga HBS di tepi sungai Mahakam Samarinda, ditangani Gubernur Kal-Tim. Penduduk menolak untuk pindah, karena tanah untuk ganti yang disediakan wali kota Kadrie Uning ternyata milik rakyat. (kt)

21 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KASUS penggusuran rumah warga kampung HBS (Handelmaatschapij Borneo Samarinda) akhirnya ditangani Gubernur Kalimantan Timur Ery Suparjan. Rencana penggusuran rumah-rumah yang konon dibangun sejak 1850 dan terletak di bibir Sungai Mahakam itu memang semakin berlarut-larut. Jumlahnya 10 buah. Tapi sejak direncanakan penggusuran tahun 1974 lalu sampai kini hanya 2 buah yang berhasil dibongkar. Selebihnya, para pemilik masih "ngotot" mempertahankan. Sesuai dengan master plan kota, HM Kadrie Uning. Walikota Samarinda merencanakan akan membikin tempat rekreasi di sana. "Yah buat anak-anak mancing" kata Kadrie. Berpuluh rumah dan toko di sebelah utara kampung itu sudah berhasil diamankan. Untuk itu Kadrie menyediakan pemukiman baru bagi mereka. Tiap satu kepala keluarga disediakan tanah seluas 20 x 60 meter plus ongkos bongkar dan membangun kembali. Tapi penduduk HBS merasa "ganti rugi itu kurang pantas." Mereka menyodorkan kalkulasi sebesar Rp 450 juta. "Itu keterlaluan. Yang saya bayarkan kan uang rakyat. Mendingan saya gunakan membangun sekolah" ucap Kadrie. Ada Agremen Karena tak ada persesuaian pendapat penduduk akhirnya melimpahkan perkara itu ke pengadilan. Dan Pengadilan Samarinda pun segera menetapkan hari sidang, yaitu tanggal 9 Oktober. Tapi walikota ternyata menolak menandatangani panggilan. Sikap walikota ini tentu saja mengundang reaksi dari beberapa pihak, terutama para penegak hukum. "Pada prinsipnya saya menolak. Hanya saya sangat terkejut menerima panggilan mendadak itu" ujar Kadrie pada TEMPO. Menurut Kadrie, sebelumnya sudah ada agremen antara dia dengan hakim yang mengurus perkara itu bahwa masalah itu akan diselesaikan secara damai. Tapi mendadak panggilan datang. "Itulah sebabnya saya bilang akan bicara dulu dengan ketua pengadilan" katanya lagi. Tak dijelaskan apakah yang akan ditemui Kadrie itu ketua pengadilan yang baru atau lama. Sebab di samping panitera yang menangani soal itu sudah diganti, ketua Pengadilan Negeri Samarinda juga baru-baru ini diganti oleh peJabat baru. Walikota yang akan mengakhiri masa jabatannya tahun 1979 itu juga melontarkan rasa herannya. "Perkara perdata saya yang terdahulu di pengadilan cukup banyak. Kok justru yang satu ini yang diributkan," ucapnya. Yang dimaksud Kadrie adalah perkara kasus tanah lainnya yang memang menumpuk sejak 1973. Kasus HBS itu baru masuk pengadilan September tahun ini. Menurut sumber TEMPO di pengadilan kasus HBS dipercepat penyidangannya sejak terjadi pergantian pimpinan Pengadilan Negeri Samarinda. Kadrie juga membantah tuduhan bahwa ia tidak menggubris instruksi Mendagri. Yaitu supaya menangguhkan penggusuran dan berkompromi dengan penduduk. Kadrie menyebutkan penangguhan itu sudah ia laksanakan selama 4 tahun, sambil berusaha melakukan pendekatan sebaik mungkin. "Saya sudah cukup bersabar dan berlaku bijak. Kalau ternyata saya dituduh tak mau berkompromi, saya sungguh tak mengerti" kata Kadrie. Tapi ia juga menyebutkan ada sementara penduduk yang menghendaki fasilitas. Misalnya, minta dipasangkan listerik dan instalasi air minum di tempat mereka yang baru. H. Salman Syahid (84), penduduk kampung HBS membenarkan soal kompromi itu. "Selama 4 tahun ini memang kompromi terus. Tapi hasilnya selalu menemui jalan buntu" ucapnya. Mulanya mereka sudah setuju menempati tanah yang ditunjuk walikota di Temindung. Tapi tanah yang disediakan itu ternyata milik penduduk setempat dan belum dibebaskan. Lokasi akhirnya digeser beberapa ratus meter dari situ. Tampaknya beres-beres saja. Eh, lagi-lagi ada pemiliknya. Bahkan pemilik tanah yang terakhir ini kemudian menggugat lewat pengadilan. Dan walikota kalah, karena para pemilik memang punya sertifikat tanah. Tidur Di Mana Tapi agaknya walikota tetap keras agar warga HBS pindah saja ke sana. Alasan walikota: mereka hanya punya sertifikat hak milik, bukan sertifikat untuk bangunan. Tapi warga HBS tetap tidak mau. "Masak tanah milik orang yang diberikan pada kami" kata Mansyur Barack, penduduk HBS yang lain. Dan Mansyur ini pulalah yang berjuang ke sana ke mari -- mewakili warga kampung -- minta kebijaksanaan soal ganti rugi itu. Menurut Mansyur bukan hanya soal tanah itu saja yang jadi ganjalan. Juga karena Walikota hanya bersedia membayar ongkos bongkar. Onkos membangun dibayar belakangan. "Lha, memangnya kita disuruh tidur di mana." Alhasil, persoalan agaknya tak segera jadi jernih. Sebab penduduk tetap ngotot dengan harga yang Rp 450 juta itu. "Kita bisa cari tanah, bongkar dan membangun sendiri" ucap mereka. Sementara walikota memberikan batas waktu "paling tidak akhir tahun daerah itu harus sudah rata dengan tanah."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus