KASUS penggusuran rumah warga kampung HBS (Handelmaatschapij
Borneo Samarinda) akhirnya ditangani Gubernur Kalimantan Timur
Ery Suparjan. Rencana penggusuran rumah-rumah yang konon
dibangun sejak 1850 dan terletak di bibir Sungai Mahakam itu
memang semakin berlarut-larut. Jumlahnya 10 buah. Tapi sejak
direncanakan penggusuran tahun 1974 lalu sampai kini hanya 2
buah yang berhasil dibongkar. Selebihnya, para pemilik masih
"ngotot" mempertahankan.
Sesuai dengan master plan kota, HM Kadrie Uning. Walikota
Samarinda merencanakan akan membikin tempat rekreasi di sana.
"Yah buat anak-anak mancing" kata Kadrie. Berpuluh rumah dan
toko di sebelah utara kampung itu sudah berhasil diamankan.
Untuk itu Kadrie menyediakan pemukiman baru bagi mereka. Tiap
satu kepala keluarga disediakan tanah seluas 20 x 60 meter plus
ongkos bongkar dan membangun kembali. Tapi penduduk HBS merasa
"ganti rugi itu kurang pantas." Mereka menyodorkan kalkulasi
sebesar Rp 450 juta. "Itu keterlaluan. Yang saya bayarkan kan
uang rakyat. Mendingan saya gunakan membangun sekolah" ucap
Kadrie.
Ada Agremen
Karena tak ada persesuaian pendapat penduduk akhirnya
melimpahkan perkara itu ke pengadilan. Dan Pengadilan Samarinda
pun segera menetapkan hari sidang, yaitu tanggal 9 Oktober.
Tapi walikota ternyata menolak menandatangani panggilan. Sikap
walikota ini tentu saja mengundang reaksi dari beberapa pihak,
terutama para penegak hukum. "Pada prinsipnya saya menolak.
Hanya saya sangat terkejut menerima panggilan mendadak itu" ujar
Kadrie pada TEMPO.
Menurut Kadrie, sebelumnya sudah ada agremen antara dia dengan
hakim yang mengurus perkara itu bahwa masalah itu akan
diselesaikan secara damai. Tapi mendadak panggilan datang.
"Itulah sebabnya saya bilang akan bicara dulu dengan ketua
pengadilan" katanya lagi. Tak dijelaskan apakah yang akan
ditemui Kadrie itu ketua pengadilan yang baru atau lama. Sebab
di samping panitera yang menangani soal itu sudah diganti, ketua
Pengadilan Negeri Samarinda juga baru-baru ini diganti oleh
peJabat baru.
Walikota yang akan mengakhiri masa jabatannya tahun 1979 itu
juga melontarkan rasa herannya. "Perkara perdata saya yang
terdahulu di pengadilan cukup banyak. Kok justru yang satu ini
yang diributkan," ucapnya. Yang dimaksud Kadrie adalah perkara
kasus tanah lainnya yang memang menumpuk sejak 1973. Kasus HBS
itu baru masuk pengadilan September tahun ini. Menurut sumber
TEMPO di pengadilan kasus HBS dipercepat penyidangannya sejak
terjadi pergantian pimpinan Pengadilan Negeri Samarinda.
Kadrie juga membantah tuduhan bahwa ia tidak menggubris
instruksi Mendagri. Yaitu supaya menangguhkan penggusuran dan
berkompromi dengan penduduk. Kadrie menyebutkan penangguhan itu
sudah ia laksanakan selama 4 tahun, sambil berusaha melakukan
pendekatan sebaik mungkin. "Saya sudah cukup bersabar dan
berlaku bijak. Kalau ternyata saya dituduh tak mau berkompromi,
saya sungguh tak mengerti" kata Kadrie. Tapi ia juga menyebutkan
ada sementara penduduk yang menghendaki fasilitas. Misalnya,
minta dipasangkan listerik dan instalasi air minum di tempat
mereka yang baru.
H. Salman Syahid (84), penduduk kampung HBS membenarkan soal
kompromi itu. "Selama 4 tahun ini memang kompromi terus. Tapi
hasilnya selalu menemui jalan buntu" ucapnya. Mulanya mereka
sudah setuju menempati tanah yang ditunjuk walikota di
Temindung. Tapi tanah yang disediakan itu ternyata milik
penduduk setempat dan belum dibebaskan. Lokasi akhirnya digeser
beberapa ratus meter dari situ. Tampaknya beres-beres saja. Eh,
lagi-lagi ada pemiliknya. Bahkan pemilik tanah yang terakhir ini
kemudian menggugat lewat pengadilan. Dan walikota kalah, karena
para pemilik memang punya sertifikat tanah.
Tidur Di Mana
Tapi agaknya walikota tetap keras agar warga HBS pindah saja ke
sana. Alasan walikota: mereka hanya punya sertifikat hak milik,
bukan sertifikat untuk bangunan. Tapi warga HBS tetap tidak mau.
"Masak tanah milik orang yang diberikan pada kami" kata Mansyur
Barack, penduduk HBS yang lain. Dan Mansyur ini pulalah yang
berjuang ke sana ke mari -- mewakili warga kampung -- minta
kebijaksanaan soal ganti rugi itu. Menurut Mansyur bukan hanya
soal tanah itu saja yang jadi ganjalan. Juga karena Walikota
hanya bersedia membayar ongkos bongkar. Onkos membangun dibayar
belakangan. "Lha, memangnya kita disuruh tidur di mana."
Alhasil, persoalan agaknya tak segera jadi jernih. Sebab
penduduk tetap ngotot dengan harga yang Rp 450 juta itu. "Kita
bisa cari tanah, bongkar dan membangun sendiri" ucap mereka.
Sementara walikota memberikan batas waktu "paling tidak akhir
tahun daerah itu harus sudah rata dengan tanah."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini