SEJAK pagi ribuan orang berdatangan ke Dukuh Umbulwalu, Kecamatan Puger Jember. Mereka datang dari berbagai kota seperti Lumajang, Banyuwangi, Malang, dan Surabaya. Juga dari Madura. Mereka punya kesepakatan tunggal. Berbondong-bondong ke sawah Soedjari. Sawah sepetak itu mestinya tak perlu digarap begitu banyak orang. Tapi mereka, astaga, rebutan nyemplung ke sebuah sumur. Supaya tak semrawut, mandi kebo ini diatur bergiliran. Yang tak sabar, dan tak bisa nyemplung, mengguyur tubuhnya dengan bantuan ember. Sebagian lagi malah nekat minum air kekuning-kuningan itu. Yang punya sumur, Soedjari, terheran-heran. "Sumur ini keramat dan kami datang untuk ngalap berkah," kata Nyonya Hoo Mey Ling kepada Budiono Darsono dari TEMPO, persis di pinggir sumur itu. Soedjari, yang ikut mendengarkan, tambah heran, sambil bergumam, "Oalah, Gusti, Gusti." Seperti juga Nyonya Hoo, pengunjung yang berjibun itu ingin ngalap berkah. Harapannya macam-macam. Ada yang minta sembuh penyakitnya, enteng jodoh, murah rezeki, cepat naik pangkat. Mereka yang belum puas membawa pulang air sumur dengan jeriken. Dibagikan ke sanak famili, barangkali. Menurut kabar yang masih kabur, asal mulanya adalah seorang buta yang mengaku dari Banyuwangi. Ia bersamadi di alas Purwo. Di sana, ini konon lagi, ia menerima wangsit agar mandi di sumur sawah milik Soedjari. Setelah mandi, matanya mendadak melek. Berita itulah yang menyebar ke mana-mana. Sampai awal bulan ini, sumur itu bagaikan pasar siang pasar malam. Penduduk setempat jelas ketiban rezeki. Kotak amal tiba-tiba bermunculan. Kendaraan yang datang kena uang parkir. Belakangan muncul bisnis air. Satu jeriken dijual Rp 250,00 sampai Rp 1.000,00, tanpa jerikennya. Yang semakin bingung adalah Soedjari, pemilik sumur. "Sumur itu 'ndak istimewa. Tidak ajaib. Wong airnya cuma digunakan untuk mengairi sawah," katanya. Semestinya ia kebagian rezeki juga, tapi orang ini takut dituduh bikin gara-gara. Maka, Soedjari melaporkan ihwal sumurnya itu ke Bupati. Adapun Bupati Jember sudah mengeluarkan instruksi agar orang dilarang mendekati sumur itu. "Harusnya ya dilarang. Saya 'kan tidak bisa bekerja di sawah," kata Soedjari. Di sinilah uniknya orang kita, semakin dilarang semakin berbondong-bondong yang datang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini