KERETA Rel Diesel (KRD) jurusan Padalarang-Cicalengka baru saja berhenti di stasiun Cimahi. Sejumlah bocah ingusan, berusia sekitar 10 tahun, di antaranya berseragam SD, ikut berdesakan dengan penumpang yang turun. Tapi, ketika sebuah tangan mungil menyelusup ke kantung seorang penumpang, seorang anggota provost, yang sedari tadi memperhatikan bocah-bocah itu, dengan sigap menangkapnya. "Saya sudah lama mencurigai anak-anak itu komplotan pencopet cilik," kata Pratu. Samadji, anggota Provost TNI AD yang setiap hari naik KRD itu. Hari itu, Dede, 10 tahun, diserahkan ke Polres Bandung. Di situ bocah ini terus terang. "Saya bersama teman-teman memang biasa mencopet di atas KRD," kata Dede, yang duduk di kelas dua SD itu. Tapi, pekan lalu, anak itu dilepas dari tahanan. "Belum cukup umur untuk ditahan, kami serahkan kembali kepada orangtuanya agar dibina lebih hati-hati," kata Wakapolres Bandung, Mayor (Pol.) Bambang Sutrisno. "Tapi anak itu terus kami awasi." Walaupun Dede cuma diperiksa satu hari, polisi berhasil mengungkap Jaringan komplotan pencopet cilik itu. Pada waktu Dede beraksi, misalnya, tak kurang dari 6 anggota komplotan berada di sekitarnya. "Mereka semua kabur begitu si Dede tertangkap," kata Pratu. Samadji. Keenam kawanan pencopet cilik ini, begitu pengakuan Dede, tiap hari beroperasi di atas KRD tersebut. Gerbong-gerbong KRD trayek Padalarang-Cicalengka ini memang selalu penuh sesak penumpang. Karena itu, kawanan cilik tadi leluasa menyelinap. "Siapa menyangka, mereka pencopet," kata Serma. (Pol.) Mulyono, yang memeriksa Dede. Di Polres Dede mengaku, sekali mencopet bisa dapat seribu sampai lima ribu rupiah. Uang hasil mencopet itu digunakannya untuk makan-makan bersama komplotannya. "Tapi kadang-kadang saya berikan juga kepada Emak (ibu)," kata bocah berperawakan kecil dan kurus itu. Anggota komplotan pencopet cilik itu rata-rata usia 10 tahun, dan masih bersekolah mulai kelas dua sampai kelas empat, kecuali "bos"-nya, yang berusia 15 tahun dan duduk di bangku kelas satu SMP. Asep, demikian nama bos sindikat pencopet cilik itu, sekarang masih buron bersama anggota lainnya. Polisi tampaknya belum berhasil membongkar seberapa luas jaringan pencopet cilik ini. Namun, Pratu. Samadji, yang mengaku dalam enam bulan terakhir ini mengamati tingkah laku mereka, menduga komplotan itu diorganisasikan penjahat profesional. "Saya pernah menangkap seorang pencopet cilik di stasiun Bandung, tiba-tiba sekitar 12 orang pemuda mau mengeroyok saya," kata Samadji. "Untung, mereka tahu bahwa saya anggota tentara, dan mereka pun mundur teratur," ujarnya. Cara mereka beroperasi pun, menurut Samadji, tampak terorganisasi rapi. Umumnya mereka beroperasi di pintu-pintu gerbong. Tiga orang bertugas menjarah mangsa yang turun, dan tiga lagi untuk penumpang yang naik. "Pada saat sibuk itulah mereka beroperasi," tutur Samadji. Kemungkinan ada yang mengorganisasikan komplotan cilik ini dlragukan May,or (Pol.) Bambang Sutrisno. "Saya melihat gejala ini cuma dampak lingkungan sosiai saja. Mungkin juga karena latar belakang ekonomi orangtuanya," kata Bambang. Bambang mungkin benar. Dede, bocah pencopet itu, misalnya, adalah anak kelima dari 9 bersaudara dari ayah seorang pengayuh becak. Mereka tinggal di rumah petak ukuran 3 x 7 m, dengan bilik bambu dan lantai tanah. Di situlah Oyin, ibu Dede, memasak, tidur, dan menerima tamu. "Si Dede memang sering memberi uang kepada Ibu, tapi katanya hasil parkir kendaraan. Sedikit pun saya tak menyangka, anak itu berani mencopet," kata Oyin. Hasan Syukur, Agung Firmansyah, Hedy Susanto (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini