SESOSOK mayat laki-laki dengan kaki dan leher terjerat tali plastik serta isi perut keluar, tergeletak di tepi jalan jurusan Mojokerto-Lamongan. Di dada kirinya ada tato bertuliskan Perisai Sakti. Dibunuh Petrus? Sekurangnya begitulah kesimpulan Pamong Desa Mojorejo, tempat mayat ditemukan. Tanpa perlu mengusut, mayat tak dikenal itu mereka kuburkan. "Pasti bromocorah yang dilenyapkan aparat," begitu kesimpulan pamong di situ. Tapi, Kapolres Mojokerto Letkol. F. Soemardi, yang mendengar kabar mayat misterius itu, tepat pada tahun baru lalu bertindak. "Bongkar kuburan itu, dan mayat harus divisum," katanya. Ia tak percaya mayat itu dibuang, aparat keamanan. Setelah itu pelacakan pun dimulai. Polisi mengumpulkan berbagai informasi. Di Desa Ringinanom, Gresik, yang lokasinya hanya beberapa kilometer dari tempat ditemukannya mayat itu, ada kabar. Seorang bromocorah, Suparman, yang November lalu, dibebaskan dari LP Kalisosok, Surabaya, kini hilang. Tapi setelah diusut polisi, kemungkinan itu gugur karena Suparman tak punya tato bertuliskan Perisai Sakti. Perguruan silat Perisai Sakti yang tersebar di Lamongan, Gresik, dan Mojokerto kemudian ditelusuri. Siapa tahu ada muridnya yang hilang Hasilnya juga nihil. Mayat itu tetap saja misterius. "Kami dibikin pusing," kata Letkol. Soemardi yang bersama atasannya, Kapolwil Surabaya Luar, Kol. Pol.Gumilar M., pekan lalu, kepada TEMPO. Cara lain dicoba. Kali ini Kapolres menyebarkan foto korban ke berbagai media cetak. Hasilnya menyibakkan misteri mayat tadi. Lima petani Mojokerto melapor bahwa mayat itu bernama Salamun, 36 tahun, asal Desa Canggu, Kecamatan Jetis, Mojokerto. Salah seorang pelapor, Ridwan, mengungkapkan pula cerita di balik itu. Kakak kandung Almarhum, Kasiman, sering mengeluh karena tidak mampu lagi mengatasi kelakuan Salamun. Adiknya itu, katanya, suka memerasnya. Kalau permintaannya tak dipenuhi, Mendiang mengamuk. Sebab itu, Kasiman pernah berniat menghabisi Salamun. Polisi, berbekal informasi itu, mengalihkan sasaran ke Kasiman, 42 tahun, yang tinggal di jalan Tempel Sukorejo Gang I Surabaya. Bapak enam anak itu ditangkap awal bulan lalu. Terus terang Kasiman mengakui perbuatannya. "Saya sudah terlalu jengkel, Pak," katanya penuh sesal. Ia tega menghabisi adiknya itu, katanya, karena sejak remaja sampai beranak satu, Salamun merongrongnya. Apalagi adiknya itu kalau lagi minta uang sering dalam keadaan mabuk. Awal Desember lalu, si adik datang lagi ke rumahnya meminta uang Rp 100 ribu. "Katanya untuk kawin lagi," kata Kasiman. Permintaan ditolaknya. Akibatnya, ia dihajar Salamun hingga pingsan. Tapi pertengahan Desember Salamun datang lagi. Kali ini ia minta Rp 90 ribu. Karena tak ingin ribut lagi, Kasiman memberinya Rp 60 ribu. Tapi sejak itu ia berkesimpulan Salamun, anak bungsu dari 10 bersaudara ini, harus dilenyapkan. Kasiman lalu menghubungi Suhadi, kawan seprofesinya, sesama pembeli tempurung kelapa dalam partai besar. "Beres," kata Suhadi, yang juga berasal dari Desa Canggu. Asal Kasiman menyediakan Rp 600 ribu. Permintaan itu disanggupi. Malam itu, akhir tahun 1987, setelah menerima tanda jadi Rp 400 ribu, Suhadi bergerak. Bersama tiga kawannya, Sadriman, Mujiono, dan Amir, ia menjemput Salamun untuk diajak minum di malam tahun baru lalu. Salamun teler. Dalam keadaan setengah sadar, ia diboyong ke kompleks pelacuran di Balung Cangkring, Mojokerto. Dari situ, Salamun dibawa lagi dengan sebuah mobil mimbus carteran. Di atas mobil itu Salamun digarap. Lehernya dijerat dengan tali plastik. Tanpa perlawanan pekeraan ltu mereka selesaikan. Setelah itu isi perut korban dikeluarkan. "Sebab, begitu perintah Kasiman," kata Suhadi, yang tertangkap dua pekan lalu. Kini keluarga Kasiman memang bebas dari rongrongan Salamun. "Kami memang tenang, tapi sayang, suami saya harus menanggung akibatnya," kata Nyonya Kasiman. Tak hanya itu. Tabungan keluarga sebanyak Rp 600 ribu, yang dikumpulkan bertahun-tahun untuk menyekolahkan anak mereka, kini tak berbekas. Uang itulah yang dipakai sebagai honor si pembunuh bayaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini