MBOK Saminten, warga Desa Cengkok, Nganjuk, Jawa Timur, sudah lama sakit. Nafsu makannya hilang. Sehari-hari perutnya hanya diisi air kendi. Ya, cuma itu yang dimauinya. Sudah diperiksakan ke puskesmas, tak ada perubahan. "Ia sakit tua. Kami disuruh sabar dan telaten merawatnya," kata Darmo, 55 tahun, anak satu-satunya Mbok Saminten. Usia Simbok diperkirakan 80 tahun. Akhir Januari lalu, malam hari, keadaan Simbok kritis. Napasnya tersengal. Tubuhnya gemetaran. Kedua tangannya menegang. Lalu kaku. Matanya sendiri berkedip-kedip. Darmo panik. Menjelang dinihari, Simbok terbatuk sekali. Dan, ya, tibalah saatnya. Napasnya berhenti sudah. Tangis meledak meratapi kepergian Simbok. Tetangga dibuatnya sibuk, dan ini sudah biasa. Tikar dibentangkan, kursi dijejerkan. Pelayat berdatangan, lalu Surat Yassin dikumandangkan. Sumbangan duka mengalir, ada beras, ada lauk-pauk, ada uang. Dan yang penting proses pemakaman sudah disiapkan. Lalu, apa lagi yang unik untuk diberitakan? Mbok Saminten, yang terkujur kaku itu, tiba-tiba membuka matanya. Tubuhnya menghangat dan napasnya muncul lagi, walau agak tersengal-sengal. Ia malah bisa berbicara. Mula-mula ia minta air. Kemudian ia menanyakan cucu-cucunya. Tentu saja, yang meratap tadi jadi tercengang dan mengucap syukur alhamdudillah. Semuanya gembira. Tak ada orang yang meninggal. Pelayat pun pulang satu demi satu. "Kami senang sekali. Lha wong harapan kami Simbok masih bisa hidup lebih lama lagi," kata Arif, menantu Darmo, sambil tertawa bahagia. Dengan demikian, kisah Mbok Saminten ini memang layak jadi berita. Apalagi kisah lanjutannya cukup dramatis dan tragis. Begitu rumah itu sepi kembali, Simbok ternyata kembali kejang, dan napasnya berhenti. Persis adegan pagi harinya. "Ketika saya pegang kakinya, terasa dingin," ucap Sukarti, anak pertama Darmo. Tangis pun meledak lagi. Tikar dibentang lagi. Pelayat datang lagi. Kali ini, Simbok wafat betul-betulan. Inna lillahi....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini