Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AIXIN Joe Luo, surat ini aku kirim dari negeri yang jauh, dari seorang yang tak kaukenal, meski kita bukan tak pernah bertemu. Aku melihatmu dalam sebuah ruang yang tak lapang di sisi utara Kota Terlarang di pusat kota Beijing.
Ruangan yang sumpek: sekitar 100 meter persegi dengan lukisan tergantung dan tergeletak di sana sini. Di sudut-sudut berdiri guci-guci antik seukuran orang dewasa dengan warna-warna cerah. Semua berimpit, berdesak-desakan, tak teratur. Di meja kecil di tengah ruangan tersedia beberapa cangkir teh hijau mengepul yang membantu para tamu menghalau dingin.
Di luar, cuaca sedingin tugu. Langit abu-abu. Angin akhir November menjatuhkan suhu hingga tiga derajat di bawah nol. Pohon-pohon meranggas. Ranting sepi ditinggalkan daun-daun. Helai daun jatuh, pergi bersama angin, dan dalam perpisahan yang murung berharap bisa bertemu dahan pada semi berikutnya.
Tak jauh dari tempatmu duduk, beberapa anak muda, 20 tahunan, berdiri dengan sikap sempurna yang takzim. Mereka mengenakan T-shirt putih dengan tanda pengenal tergantung di leher. "Dilarang memotret," kata salah satu di antara mereka.
Di atas kursi tua warna cokelat itu, Aixin, kau duduk dengan badan doyong ke kiri. Di usia yang ke-72, dengan kemeja Cina warna biru kau tampak sehat meski tubuhmu tambun dengan perut yang maju ke depan.
Kau tak bicara. Tanganmu asyik memilin nian-ghu, tasbih Cina yang besar-besar bijinya.
Kata penjaga, engkau tak berbahasa lain kecuali Mandarin. Mereka tak mengizinkan para tamu mengajakmu berbincang meski dengan bantuan penerjemah. Begitu jauh, kau tak tersentuh, meski kau berdiri di depanku.
Para tamu akan terkesima melihatmu. Pemandu wisata mengenalkan engkau sebagai kemenakan Pu Yi, kaisar terakhir Kerajaan Cina sebelum invasi Jepang dan revolusi nasionalis yang digelorakan Dr. Sun Yat Sen memorakporandakan monarki itu.
Semakin decak kagum itu berulang-ulang terdengar semakin tak acuh engkau pada sekelilingmu. Sesekali engkau menggerakkan kepala, mengusir pegal pada tengkukmu yang tebal.
"Para turis biasanya meminta Tuan Aixin menuliskan sesuatu pada kertas dan untuk itu ada bayarannya," kata seorang pemandu. Kertas bertulisan aksara kanji itu akan dibawa pulang dengan rasa bangga karena para pelancong merasa telah membawa serpihan sejarah.
Tak banyak informasi tentang apa yang kau kerjakan selain duduk di kursi itu. Anak-anak muda yang menjaga bahkan tak pernah menyebut nama aslimu. Buku-buku mengatakan Aixin Joe Luo adalah nama keluarga. Pu Yi, pamanmu, memiliki nama lengkap Aixin Joe Luo Pu Yi.
Pamanmu tak punya anak, tapi ia punya banyak adik dan kakak. Dan kalian berkembang biak. Semuanya kini hidup sebagai orang biasa. "Pengelola Kota Terlarang memang mengundang Aixin untuk keperluan pariwisata," kata Xie Yonghui, seorang pekerja pada Departemen Luar Negeri Cina. "Saya rasa Aixin menikmati pekerjaannya itu. Ditonton seperti hewan di kebun binatang."
Saat ini kekaisaran Cina memang tinggal sejarah. Ketika Pu Yi terusir dari Kota Terlarang, pemerintah mensubsidi kerajaan US$ 4 juta per tahun. Hingga hari ini Kota Terlarang tetap terpelihara sebagai obyek pelesir.
Semua bagian istana terbesar sejagat itu terpelihara dengan baik. Lantai batu yang dirampat 600 tahun lalu, atap kayu yang meliuk-liuk, tangga batu berornamen naga. Beberapa bagian istana bahkan tengah direnovasi menyambut Olimpiade Beijing 2008 dan dinyatakan tertutup untuk umum. Di beberapa bagian dinding, di atas tembok kayu ribuan tahun tertera tulisan, "Proyek ini dibiayai American Express Society".
Tak terbayangkan, Aixin, perusahaan AS, negeri yang bertahun-tahun kalian musuhi kini menjadi salah satu penopang ekonomi. Di sebuah gedung jangkung di pusat kota, seorang kepala cabang maskapai penerbangan Asia berkata, "Hampir semua ruang di gedung ini dipakai Intel, perusahaan Amerika."
Waktu berlari, Aixin, dan tak terasa 26 tahun berlalu. Ketika itu 1978, Deng Xiaoping mengumumkan Cina menjadi negeri yang menjalankan pasar bebas. Tidak serta-merta, tapi bertahap. Mula-mula reformasi pertanian dengan mengembalikan usaha tani yang dulu dikuasai pemerintah. Sekitar 800 juta petani dapat bekerja tanpa intervensi negara. Lalu industri manufaktur dibuka. Belakangan, langkah revolusioner diambil: Cina membuka diri untuk penanaman modal asing. Kota-kota percontohan pun dibangun.
Deng tahu betul semua harus dilakukan dengan selaras. "Membangun Cina itu seperti menyeberangi sungai. Kita berjalan dengan merasakan bebatuan yang terinjak," katanya.
Hasilnya memang mencengangkan. Bank Dunia dalam China 2020, laporan yang dikeluarkan 1997, menyebut Cina hanya membutuhkan waktu sembilan tahun (1978-1987) untuk melipatduakan pendapatan per kapitanya. Bandingkan dengan Inggris yang membutuhkan 100 tahun, Amerika Serikat 47 tahun, Jepang 34 tahun.
Produk domestik bruto 1979-1997 mencapai 9,8 persen per tahun atau tiga kali lebih besar dari rata-rata yang dihasilkan dunia. Pada periode Deng, 170 juta orang Cina diselamatkan dari kemiskinan.
Bagaimanapun, setiap kemajuan membawa dampak. Swastanisasi badan usaha milik negara, misalnya, menciptakan pengangguran yang hingga tahun 2000 mencapai 30 juta orang. Dalam 2-3 tahun ke depan 20-30 juta orang lainnya diduga akan mengalami nasib yang sama.
Gordon Chang penulis The Coming Collapse of China dengan sinis mengejek fenomena itu sebagai awal kebangkrutan Cina. Agak berlebihan memang, meski Gordon menyajikan data yang cukup meyakinkan.
Katanya, suasana tidak puas terhadap rezim yang berkuasa terjadi kalangan petani dan buruh. Dicatatnya kasus-kasus di mana petani marah terhadap pamong-pamong desa. Para buruh protes dengan menuduh pemerintah hanya mementingkan para kapitalis, kelompok yang semestinya dilawan
Partai Komunis Cina. Bank-bank di Cina yang seluruhnya dimiliki pemerintah megap-megap karena harus menalangi kerugian perusahaan negara untuk mencegah penambahan orang menganggur.
Ada pula nostalgia masa lalu, ketika pemerintahan komunis di bawah Mao Zedong menyediakan tie fan wan (mangkok nasi dari besi)ungkapan untuk pekerjaan dan jaminan sosial dari pemerintah kepada para buruh. Sekarang jaminan itu sudah dihapus.
Disparitas terjadi. Di Ibu Kota Beijing suasana tak mudah dibedakan dengan kota-kota besar di Barat seperti New York, London, atau Paris. Orang-orang berjalan dengan bergegas, anak-anak muda, berjas dan berdasi, dengan tangan dibenamkan ke dalam kantong untuk menahan dingin. Sepeda tak lagi sebanyak 1960-an. Sebagai gantinya orang memilih mobil pribadi, taksi, bus kota atau kereta bawah tanah.
Tapi tengoklah Qinghai, provinsi miskin di Cina bagian barat. Di pusat kota Xining, ibu kota Qinghai, masih banyak orang berkeliaran dengan jas tebal bertambalan untuk menahan dingin. Di desa-desa, para petani tinggal dalam rumah-rumah yang terbuat dari tanah. Cuaca buruk membuat mereka berladang hanya enam bulan dalam setahun. Selebihnyaketika salju menutupi permukaan tanah enam bulan sisanyamereka ke kota menjadi buruh atau pekerja serampangan, sementara kaum perempuan menjadi pemintal karpet. Untuk satu karpet ukuran sedang, upahnya 300 yuan (Rp 330 ribu), kata Chen Wen Ping, perempuan keturunan Tibet di Kampung Xin An.
Biaya hidup di Beijing memang tak semahal di Tokyo atau London. Radio Internasional Cina, sebuah stasiun milik pemerintah yang memancarkan siaran dalam berbagai bahasa, menawarkan posisi penerjemah berita dengan bayaran 8.000 yuan (sekitar Rp 8,8 juta). "Lebih dari cukup untuk hidup sebulan," kata seorang wartawan lokal.
Meski biaya hidup relatif murah, toh orang miskin tetap berkeliaran di kota-kota besar di Cina. Di Xiamen, kota di Cina bagian tenggara, para pengemis bertebaran dan mengejar orang lewat dengan militansi tinggi: mereka sanggup menguntit orang lalu-lalang dengan tangan tengadah hingga 100 meter jauhnya.
Belum lagi para broker penjaja cinta. Belum lagi taksi yang kutumpangi berhenti, seorang anak muda sudah menghamburkan puluhan brosur bergambar seronok ke kabin mobil.
Di Xining, para pelacur menerobos hotel dan mengetuk pintu kamar para tamu. "Ni hau ma," mereka melempar salam. Lalu harga ditawarkan untuk sebuah kencan semalam. Mula-mula US$ 100 atau sekitar Rp 900 ribu. Lalu harga terus melorot jika para tamu tak menunjukkan mimik tertarik.
Ideologi? Lupakanlah. Di Wan Fujingkawasan mirip Malioboro Yogyakarta, hanya sedikit lebih rapigambar Ketua Mao dipajang di toko suvenir dan dijajakan dengan harga 5 yuan. Topi pet hijau dengan bintang merah di keningnya yang mengingatkan kita pada tutup kepala Tentara Merah dilego dengan harga serupa. Lalu buku-buku merah kecil yang menyimpan petuah-petuah Mao Zedong ditumpuk di emper-emperhanya lima sentimeter dari ujung sepatu para pelancong.
Aku ingat seorang penulis pernah bercerita. Di masa jayanya, buku merah Mao adalah kitab suci warga Cina. Mau membersihkan partai? Membersihkan selokan? Baca Mao. Mau jadi atlet loncat tinggi berprestasi? Baca Mao. Para penanam semangka pernah dikutip, mengatakan dengan menggebu-gebu bahwa semangka mereka tak kalah dengan semangka Soviet karena mereka mengutip buku kecil sewaktu menanam bijinya.
Komunisme memang tak lenyap setelah Deng Xiaoping mengibarkan bendera keterbukaan (kaifang) di Cina. Partai komunis tetap digdaya meski itu bukan berarti tak ada perubahan dalam partai yang menentukan hitam putihnya negeri berpenduduk 1,3 miliar jiwa itu.
Kini hanya separuh anggota partai yang berasal dari kelas buruh dan petani. Lima puluh persen sisanya adalah kelompok profesional, intelektual dan kapitalis swasta. Partai secara perlahan telah melucuti dirinya dari ideologi komunisme, baik karena komunisme tidak dinyatakan sebagai ideologi resmi maupun karena di antara anggotanya tidak ada lagi yang percaya akan ideologi itu.
Banyak yang menduga dibukanya pintu partai bagi kalangan swasta hanyalah upaya elite Partai Komunis untuk memperluas dukungan. Dalam prakteknya, keterbukaan memang belum benar-benar terjadi. Presiden Hu Jintau, misalnya, terpilih tanpa surprise. Telah lama orang tahu bahwa ia memang putra mahkota yang dipersiapkan saat Kongres Partai Komunis Cina memutuskan ia menjadi sekretaris jenderal partai itu.
Reformasi Cina, bagaimanapun, telah menelan banyak korban terutama dalam peristiwa Tiananmen 1989. Aksi demonstrasi mahasiswa menuntut demokrasi saat itu disapu dengan bedil tentara. Belakangan, banyak sekali kerusuhan di kawasan pedesaan terjadi menyusul tragedi itu. Pemerintah akhirnya memilih tetap memperlakukan yiyuanhuapenyatuan pejabat partai dan pejabat negara dalam satu tanganuntuk menjaga agar Cina tetap "terkendali" meski praktek itu sempat dikritik oleh Deng Xiaoping sendiri.
Begitulah Aixin, waktu berlalu dan kau menjadi bagian dari gemuruh itu. Masa lalu, ideologi, darah biru yang kau sandang akhirnya cuma jadi pernak-pernik.
Aku terkejut ketika surat ini belum lagi usai ditulis, seorang sahabat dari Beijing memberi kabar tentang dirimu. Setelah berpuluh kali mengontak pengelola Kota Terlarang, akhirnya ia mendapat kepastian bahwa engkau adalah keponakan kesekian dari Kaisar Pu Yi dengan nama asli Aixin Jue Luo Wen Zhong.
Katanya, tak mudah menemukan nama asli Aixin yang dimaksud. Pengelola Kota Terlarang selama ini telah mempekerjakan sedikitnya enam Aixin Jue Luo untuk dipertontonkan kepada para turis. "Semua kemenakan Kaisar Pu Yi."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo