Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kota yang Tumbuh Bersama Yu

Dalam 24 tahun, Xiamen berubah dari desa udik menjadi kota modern. Investor asing diundang, termasuk para pengusaha Taiwan, negeri seteru Cina. Politik dua wajah pemerintah Cina.

31 Januari 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKU bertanya siapa namanya, dan ia menjawab dengan menyebut sebuah kata yang membuat bibirnya terdorong ke depan.

"Yu?" tanyaku.

"Bukan 'u', tapi bunyi antara 'u' dan 'e'."

Nama yang asing di telinga dan tak mudah diucapkan. Ia mengulang lagi nama itu dan lagi-lagi bibirnya yang basah terdesak ke luar. Aku menirukan dan gagal.

"Ah sudahlah. Panggil saja saya Duty," katanya. Ia tertawa. Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri. Matanya yang sipit seketika berubah menjadi garis tipis di atas pipi yang siang itu semerah tomat matang. Ia memiliki gigi yang berbaris rapi: bersih dan teratur. Wajahnya bulat. Ia tidak terlalu tinggi.

Duty adalah potret gadis Cina masa kini. Rambutnya yang lurus ia biarkan jatuh di bahu. Siang itu ia mengenakan blus kaus warna hitam dan jins belel yang lebih panjang dari tungkainya. Ia memakai sneaker merah dengan hak yang tebal. Hari yang lain ia memakai rok jins berbunga-bunga dengan blus warna cerah.

Duty lahir 23 tahun lalu, setahun setelah pemerintah Cina menjadikan Xiamen—kota tempat ia sekarang bekerja dan beraktivitas—sebagai kota percontohan. Ia kini bekerja sebagai pegawai Departemen Luar Negeri di Xiamen. Ia gesit dan lincah, meski tak pandai berkomunikasi. Bahasa Inggrisnya tak lancar.

Hari itu Duty mengantarku berkeliling Gulangyu, pulau kecil 10 menit penyeberangan dengan feri dari Xiamen. Hujan turun rintik-rintik. Pulau minim penduduk itu seketika ditumbuhi ratusan payung bawaan para turis.

"Dulu Xiamen hanya sebesar ini," kata Cheng Ming, rekan sekantor Duty, sambil menunjuk kawasan kecil di pantai Xiamen pada sepapan peta. "Sekarang seantero pulau sudah menjadi kota."

Xiamen terletak di Cina bagian tenggara (lihat peta). Menjadi bagian dari Provinsi Fujian, kota ini istimewa, meski bukan ibu kota provinsi. Xiamen berbatasan dengan Taiwan, kawasan yang memisahkan diri dari Republik Rakyat Cina. Dari Taiwan, Xiamen dipisahkan selat yang jaraknya hanya sepelemparan batu.

Dengan luas hanya 1.565 kilometer persegi, terasa sungguh Xiamen hanyalah sebuah kota mungil. Penduduknya hanya 2,4 juta jiwa. Kawasan itu terbagi dua: sebagian terletak di daratan Cina, sebagian lain di pulau terpisah. Keduanya dihubungkan dengan dua jembatan yang bentuknya mengingatkan kita pada Golden Gate, jembatan di San Francisco, AS.

Tak terbayangkan Xiamen berubah begitu cepat. Pada tahun 1970-an, kota itu hanya perkampungan kumuh yang tak dilirik turis asing, apalagi investor. Pemilik rumah makan atau hotel di Xiamen bangga sekali memasang foto lama berwarna sephia yang menggambarkan kota mereka tempo dulu: kawasan pantai yang becek dengan orang-orang lalu-lalang tanpa alas kaki.

Kini tak ada lagi orang tanpa sepatu. Xiamen memiliki segalanya: jalan tol yang mulus, universitas berskala internasional, hotel dan gedung konvensi, taman kota yang hijau, transportasi umum yang apik, pusat perbelanjaan, dan tempat-tempat wisata yang tak pernah sepi dari turis.

Ekonomi Xiamen memang melonjak pesat. Ketika ditetapkan sebagai special economic zone (SEZ) pada Oktober 1980, nilai ekspor kota itu hanya US$ 141 juta per tahun. Tahun lalu nilai perdagangan itu membubung menjadi US$ 10 miliar. Industri melejit: kini Xiamen menjadi pengekspor alat bantu dengar (hearing aid) dan bahan kimia tungsten terbesar di dunia.

"Saya senang tinggal di sini karena aman. Di Indonesia paling tidak setahun tiga kali handphone saya dirampas," kata Ling Ling, pelajar asal Jembatan Lima, Jakarta, yang tengah studi di Universitas Xiamen.

Kemiskinan bukan tak ada. Di pinggir-pinggir jalan pengemis berkeliaran, meski tak sebanyak di Jakarta. Para penjaja cinta berkerumun di depan hotel-hotel. "Masaci, Sir. Make lao, Sir," kata mereka tanpa malu-malu. Masaci adalah dialek mereka untuk massage. Make lao? Tentu saja maksudnya make love.

Salah satu penopang utama ekonomi Xiamen adalah investor Taiwan. Di distrik Haicang, satu dari enam distrik yang ada di Xiamen, dibangun Xiamen Haicang Taiwanese Investment Zone, kawasan khusus untuk investor Taiwan. Setidaknya ada 57 perusahaan Taiwan di sana. Pelabuhan Xiamen bahkan sengaja dibangun pemerintah Beijing untuk membuka perdagangan dengan Taiwan. Saat ini 80 persen saudagar Taiwan menanamkan uangnya di Cina daratan, termasuk Xiamen.

Hubungan buruk pemerintah Cina-Taiwan? Lupakan saja. Soalnya, uang tak mengenal ideologi dan batas negara.

Mari kita dengar kisah Wan-Lung Liao, konglomerat Taiwan pemilik kelompok usaha CB Carbide. Tahun 1978 ia mendirikan perusahaan di Tamshui, Taiwan, dan memproduksi carbide—bahan baku metal yang dipakai untuk berbagai industri. Delapan tahun lalu ia membuka cabang di Xiamen dan sekarang ia memiliki tiga pabrik besar yang mempekerjakan lebih dari 1.000 buruh. Investasi yang ia tanam di Xiamen tak kurang dari US$ 100 juta. Sekarang perusahaan Wan-Lung adalah produsen carbide terbesar kelima di dunia. Saat ini hidup WanLung lebih banyak dihabiskan di Xiamen ketimbang di negerinya sendiri. "Dalam setahun, 300 hari saya tinggal di sini," katanya.

Ia pengusaha yang sederhana. Sehari-hari Wan lebih tampak sebagai operator pabrik ketimbang konglomerat. Di hari saya menemuinya, ia mengenakan celana dan jaket warna khaki dan sepatu big boss—alas kaki yang kerap kita lihat dipakai pendekar kungfu di film-film.

Leluhur Wan berasal dari Fujian, meski ia mengaku tak lagi punya famili di sana. "Sepanjang hidup, saya berutang budi pada dua orang. Pertama, seorang pengusaha—anak bekas Presiden Taiwan Chiang Kai Sek—yang pernah meminjami saya uang 100 ribu yuan sebagai modal usaha. Kedua, Deng Xiaoping yang mengubah Cina menjadi negara terbuka," katanya. Adalah menantu Deng yang pertama kali mengundang Wan-Lung untuk berinvestasi ke Cina Daratan. Permintaan Presiden Taiwan Chen Shui-bian agar ia mau menjadi penasihat ekonomi presiden ditolaknya dengan halus.

Money talks. Politik hanya konsumsi diplomat dan politisi, tapi tidak para pengusaha. Saya ingat: di dinding bukit batu di pantai yang menghadap Taiwan, pemerintah Kota Xiamen memasang sebuah billboard raksasa bertuliskan "Yi Guo Liang Zhi". Artinya: "Satu Negara, Dua Sistem". Semacam tawaran kepada Taiwan bahwa mereka bisa bergabung lagi tanpa harus yang satu memaksakan sistem mereka kepada yang lain.

Menurut Wan-Lung, pemerintah Taiwan sebetulnya menganjurkan agar ia dan pengusaha lainnya menanamkan uangnya ke selatan—Filipina, Thailand, atau Indonesia. Namun, sebagian besar pengusaha Taiwan tak menggubris permintaan itu. "Banyak kawan-kawan saya yang merambah ke selatan ternyata gagal," katanya.

Dibandingkan dengan negara Asia Tenggara, Cina Daratan dianggap lebih menguntungkan karena menyediakan buruh murah, sumber daya alam, dan hukum yang lebih pasti. Wan-Lung mengaku tidak diperlakukan sebagai pengusaha asing di Xiamen. Dalam soal pajak dan tetek bengek birokrasi lainnya, ia diperlakukan sama dengan pengusaha Cina lainnya.

Pemerintah Cina memang memasang dua wajah dalam menghadapi Taiwan. Secara ekonomi, mereka tidak pernah menganggap para pengusaha Taiwan sebagai musuh. Maklum, perdagangan dengan negara itu sungguh menggiurkan. Tahun lalu perdagangan Cina ke Taiwan surplus US$ 30 miliar (Rp 270 triliun!). "Cina dan Taiwan seperti keluarga. Bagaimana mungkin dua keluarga berpisah," kata Hong Chengzong, Deputi Direktur Jenderal pada Kantor Urusan Luar Negeri Xiamen.

Soal politik lain lagi. Dalam sebuah jamuan makan malam di hotel berbintang lima dengan para pejabat Xiamen, pembicaraan tentang politik Taiwan dengan mudah memancing suasana tegang.

"Musuh kami bukan warga Taiwan," kata Xie Yonghui, seorang diplomat dari Beijing. "Musuh kami Presiden Chen Shui-bian!"

"Tapi mengapa Chen Shui-bian terpilih dalam pemilu lalu?" tanya seorang rekan dari Jakarta.

"Itu karena pendukung Chen Shui-bian buta. Mereka tidak mengerti!"

Xie lalu berpidato tentang sejarah perpisahan Taiwan dengan Cina. Tentang Chiang Kai Sek yang mendirikan Taiwan setelah terusir oleh pasukan Mao Zedong yang berhaluan komunis. Menurut Xie, kala itu Chiang membawa 1,4 juta tentara dan sipil dari suku Han—etnis terbesar di Cina—ke Taiwan. "Kini hanya 10 persen dari mereka yang bertahan di Taiwan, dan sisanya kembali ke Cina Daratan," katanya berapi-api. Ruang makan laksana terbakar.

Aku terdiam. Sajian di atas meja terlalu menarik perhatian: semangkuk sup sirip ikan hiu, berbagai makanan laut yang direbus, mi Sichuan yang pedasnya menggosongkan lidah, roti, sup lagi, buah beraneka ragam. Semua datang dan pergi berganti-ganti. Di pinggir ruangan, para pelayan dengan baju berkerah Shanghai warna merah selalu sedia menuangkan teh Cina ke gelas-gelas yang kosong.

Di ujung meja, Duty terdiam menahan kantuk. Ia mungkin mulai kekenyangan. Sesekali tampak ia menyibak rambutnya yang terurai. Malam itu aku melihat Duty adalah potret pemudi Xiamen sebenarnya: kenes, modis, dan tak peduli....

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus