PAGI sekali, tiga hari menjelang Lebaran lalu, istri beserta dua
anak Kepala Dinas Kesatuan Pemangkuan Hutan Lampung, Ir.
Fachruddin Lutfi, telah menunggu di pintu gerbang Lembaga
Pemasyarakatan Tanjungkarang. Kedua anak kecil yang masih duduk
di bangku TK dan SD itu dengan gembira menunggu munculnya si
ayah yang konon sudah mendapat izin berlebaran dari hakim selama
9 hari. Tapi sampai sore harapan mereka tak sampai. Jaksa,
sebagai pelaksana keputusan hakim, memutuskan bahwa Fachruddin,
yang dituduh mengkorupsikan dana reboisasi, tidak bisa keluar.
"Anak saya ketika itu menangis sejadi-jadinya, karena ayahnya
tidak jadi pulang," cerita Nyonya Fachruddin kemudian.
Tindakan jaksa itu belakangan diprotes keras para pembela. Dalam
sidang pekan lalu, Pengacara O.C. Kaligis menuduh Jaksa E.
Supardi, merampas kemerdekaan orang lain. Sebab itu, Kaligis
meminta majelis hakim memerintahkan agar jaksa itu diusut. Ketua
Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Tanjungkarang, Soenardi,
membenarkan bahwa pembela bisa menuntut jaksa. Tapi untuk
mengusutnya, "bukan wewenang saya," ujar Soenardi.
Pada sidang-sidang sebelumnya, pembela yang lain, Rusdi Nurima
dan Denny Kaliamang, mengeluarkan protes yang sama atas kasus
yang dianggap baru pertama kali terjadi itu. Kedua pembela itu
bahkan telah mengirim pengaduan resmi kepada Jaksa Agung Ismail
Saleh. "Kalau kasus itu tidak diselesaikan, bisa menjadi
preseden buruk," ujar Rusdi. Rekannya, Kaligis, selain menuduh
tindakan jaksa melanggar undang-undang, juga menghina lembaga
peradilan.
Kepala Kejaksaan Tinggi Lampung, Murni Rauf, membantah telah
mengabaikan keputusan hakim. "Sebenarnya kami telah melaksanakan
penetapan itu," kata Murni, yang bulan ini menjabat sebagai
Jaksa Tinggi Kalimantan Barat. Tapi pelaksanaan itu, katanya,
terpaksa dibatalkan. Karena polisi, yang diminta kejaksaan untuk
memberikan pengawalan, ternyata tidak bersedia. "Polisi
kekurangan personil pada hari raya itu," tambah Murni lagi.
Pembatalan itu, menurut Murni, telah dilaporkannya ke
pengadilan. "Karena tidak ada perintah selanjutnya, kami anggap
urusan sudah selesai," tambahnya.
Namun, sebenarnyalah, Murni Rauf merasa berkeberatan terhadap
penetapan hakim yang memberi tersangka kelonggaran untuk cuti
Lebaran itu. "Sebelum penetapan itu keluar, kami sudah
menyampaikan keberatan kepada hakim," katanya. Ia khawatir,
Fachruddin dikeluarkan, akan menyulitkan jalannya persidangan.
Menurut Murni, keraguan terhadap itikad baik Fachruddin itu,
didasarkan pada pengalaman keaksaan ketika mengusut kasus
reboisasi. Fachruddin, yang ditahan sejak 17 Maret lalu, pernah
mempersulit jaksa. Tanpa sepengetahuan jaksa, tiba-tiba
Fachruddin dikabarkan dirawat di Rumah Sakit Tanjungkarang,
dengan alasan sakit keras. Tapi, setelah diperiksa oleh dokter
yang ditunjuk kejaksaan, ternyata tersangka tidak perlu dirawat.
"Karena itu saya perintahkan ia harus kembali ke LP," ujar Murni
lagi.
Pekan ini, Fachruddin, selaku pimpinan pelaksana proyek
reboisasi di Lampung, masih dalam proses persidangan atas
tuduhan korupsi sebesar Rp 727 juta. Jaksa Supardi menuduh,
pejabat kehutanan itu telah memotong anggaran 20% sampai 25%
yang jumlahnya meliputi Rp 300 juta, sebelum diserahkan ke
unit-unit. Sebagian dari uang itu, menurut Supardi, disetorkan
Fachruddin kepada atasannya, Kepala Dinas Kehutanan, Ir.
Suhardjo Tjitrowinoto, sebanyak Rp 134 juta. Terdakwa, begitu
tuduh jaksa, juga menggelapkan dana pengawasan dan bahkan upah
mandor-mandor.
Kasus korupsi itu tampaknya menyita perhatian banyak warga
Tanjungkarang dan Telukbetung. Ketegangan antara jaksa dan
pembela dari Jakarta itu merupakan bunga tersendiri. Sehingga
pengunjung tak pernah surut dari ruang sidang.
Tapi di persidangan pekan lalu itu, pemeriksaan seperti beralih
dari Fachruddin, ke Jaksa Supardi. Selain soal perampasan
kemerdekaan, pembela juga mempersoalkan tentang kaburnya
Bendaharawan Proyek Reboisasi, Bustami Ismail, ketika diperiksa
jaksa pada 18 Maret lalu. Kaligis meminta agar jaksa menjelaskan
alasan pemberian izin kepada Bustami untuk pulang ke rumah
ketika sama-sama diperiksa sebagai tersangka dengan Fachruddin.
Izin itu pula yang kemudian dimanfaatkan Bustami untuk kabur
sampai sekarang. Jaksa Supardi tidak segera dapat menjawab
pertanyaan pembela. Ia meminta waktu kepada hakim sampai sidang
pekan ini.
Selain pembela, majelis hakim juga kecewa atas tindakan-tindakan
jaksa. Ketua Majelis, Soenardi, terus terang menyatakan
penyesalannya karena perintahnya diabaikan kejaksaan.
"Seharusnya jaksa tidak berbuat demikian. Kalaupun terdakwa
menyulitkan persidangan karena penetapan saya, dan saya yang
bertanggung jawab," ujar Soenardi. Tambahan lagi, katanya,
"jaksa tidak berhak menilai keputusan seorang hakim."
Sebetulnya, tutur Soenardi lagi, ia bisa saja meneluarkan
tersangka dari tahanan tanpa melalui kejaksaan. Wewenang untuk
itu, katanya, ada diatur ordonansi kepenjaraan 1917. "Tapi,
untuk menjaga hubungan baik, saya tetap melalui jaksa," tambah
Soenardi lagi.
Protes para pembela kepada jaksa seperti tak putus-putusnya.
Adalah seorang saksi, A. Salman, yang mengakui bahwa dalam
kedudukannya sebagai salah seorang pimpinan Unit Reboisasi
Lampung Selatan mengetahui benar adanya pemotongan dana oleh
bendaharawan yang konon mendapat perintah Fachruddin. Ketika ia
diperiksa di kejaksaan, ia ada menyerahkan bonggol struk cek
kepada pemeriksa, yang di dalamnya masih terdapat 6 lembar cek
yang sudah terisi.
Pemeriksa, menurut saksi, menyerahkan kembali 6 cek tersebut
kepadanya untuk dicairkan. Alasannya agar proyek bisa berjalan.
Doenny Kailimang langsung mengajukan protes: "Kalau begitu
caranya, berarti jaksa ikut membantu orang-orang untuk korupsi."
Sebab, menurut pembela, cek itu sebenarnya merupakan barang
bukti yang seharusnya disita.
Murni Rauf ternyata tidak begitu risau dengan kekecewaan hakim
dan berbagai protes serta pengaduan pembela. Ia mengaku tidak
mendapat teguran dari atasannya. "Saya hanya mendapat telepon
dan saya sudah jelaskan persoalannya kepada Kejaksaan Agung,"
ujar Murni Rauf mantap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini