Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Perampas cuti lebaran

Dalam perkara korupsi dana reboisasi di lampung, pembela tertuduh, fachrudin lutfi, memprotes tindakan jaksa yang tidak melaksanakan perintah hakim untuk memberikan cuti lebaran kepada terdakwa.(hk)

13 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAGI sekali, tiga hari menjelang Lebaran lalu, istri beserta dua anak Kepala Dinas Kesatuan Pemangkuan Hutan Lampung, Ir. Fachruddin Lutfi, telah menunggu di pintu gerbang Lembaga Pemasyarakatan Tanjungkarang. Kedua anak kecil yang masih duduk di bangku TK dan SD itu dengan gembira menunggu munculnya si ayah yang konon sudah mendapat izin berlebaran dari hakim selama 9 hari. Tapi sampai sore harapan mereka tak sampai. Jaksa, sebagai pelaksana keputusan hakim, memutuskan bahwa Fachruddin, yang dituduh mengkorupsikan dana reboisasi, tidak bisa keluar. "Anak saya ketika itu menangis sejadi-jadinya, karena ayahnya tidak jadi pulang," cerita Nyonya Fachruddin kemudian. Tindakan jaksa itu belakangan diprotes keras para pembela. Dalam sidang pekan lalu, Pengacara O.C. Kaligis menuduh Jaksa E. Supardi, merampas kemerdekaan orang lain. Sebab itu, Kaligis meminta majelis hakim memerintahkan agar jaksa itu diusut. Ketua Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Tanjungkarang, Soenardi, membenarkan bahwa pembela bisa menuntut jaksa. Tapi untuk mengusutnya, "bukan wewenang saya," ujar Soenardi. Pada sidang-sidang sebelumnya, pembela yang lain, Rusdi Nurima dan Denny Kaliamang, mengeluarkan protes yang sama atas kasus yang dianggap baru pertama kali terjadi itu. Kedua pembela itu bahkan telah mengirim pengaduan resmi kepada Jaksa Agung Ismail Saleh. "Kalau kasus itu tidak diselesaikan, bisa menjadi preseden buruk," ujar Rusdi. Rekannya, Kaligis, selain menuduh tindakan jaksa melanggar undang-undang, juga menghina lembaga peradilan. Kepala Kejaksaan Tinggi Lampung, Murni Rauf, membantah telah mengabaikan keputusan hakim. "Sebenarnya kami telah melaksanakan penetapan itu," kata Murni, yang bulan ini menjabat sebagai Jaksa Tinggi Kalimantan Barat. Tapi pelaksanaan itu, katanya, terpaksa dibatalkan. Karena polisi, yang diminta kejaksaan untuk memberikan pengawalan, ternyata tidak bersedia. "Polisi kekurangan personil pada hari raya itu," tambah Murni lagi. Pembatalan itu, menurut Murni, telah dilaporkannya ke pengadilan. "Karena tidak ada perintah selanjutnya, kami anggap urusan sudah selesai," tambahnya. Namun, sebenarnyalah, Murni Rauf merasa berkeberatan terhadap penetapan hakim yang memberi tersangka kelonggaran untuk cuti Lebaran itu. "Sebelum penetapan itu keluar, kami sudah menyampaikan keberatan kepada hakim," katanya. Ia khawatir, Fachruddin dikeluarkan, akan menyulitkan jalannya persidangan. Menurut Murni, keraguan terhadap itikad baik Fachruddin itu, didasarkan pada pengalaman keaksaan ketika mengusut kasus reboisasi. Fachruddin, yang ditahan sejak 17 Maret lalu, pernah mempersulit jaksa. Tanpa sepengetahuan jaksa, tiba-tiba Fachruddin dikabarkan dirawat di Rumah Sakit Tanjungkarang, dengan alasan sakit keras. Tapi, setelah diperiksa oleh dokter yang ditunjuk kejaksaan, ternyata tersangka tidak perlu dirawat. "Karena itu saya perintahkan ia harus kembali ke LP," ujar Murni lagi. Pekan ini, Fachruddin, selaku pimpinan pelaksana proyek reboisasi di Lampung, masih dalam proses persidangan atas tuduhan korupsi sebesar Rp 727 juta. Jaksa Supardi menuduh, pejabat kehutanan itu telah memotong anggaran 20% sampai 25% yang jumlahnya meliputi Rp 300 juta, sebelum diserahkan ke unit-unit. Sebagian dari uang itu, menurut Supardi, disetorkan Fachruddin kepada atasannya, Kepala Dinas Kehutanan, Ir. Suhardjo Tjitrowinoto, sebanyak Rp 134 juta. Terdakwa, begitu tuduh jaksa, juga menggelapkan dana pengawasan dan bahkan upah mandor-mandor. Kasus korupsi itu tampaknya menyita perhatian banyak warga Tanjungkarang dan Telukbetung. Ketegangan antara jaksa dan pembela dari Jakarta itu merupakan bunga tersendiri. Sehingga pengunjung tak pernah surut dari ruang sidang. Tapi di persidangan pekan lalu itu, pemeriksaan seperti beralih dari Fachruddin, ke Jaksa Supardi. Selain soal perampasan kemerdekaan, pembela juga mempersoalkan tentang kaburnya Bendaharawan Proyek Reboisasi, Bustami Ismail, ketika diperiksa jaksa pada 18 Maret lalu. Kaligis meminta agar jaksa menjelaskan alasan pemberian izin kepada Bustami untuk pulang ke rumah ketika sama-sama diperiksa sebagai tersangka dengan Fachruddin. Izin itu pula yang kemudian dimanfaatkan Bustami untuk kabur sampai sekarang. Jaksa Supardi tidak segera dapat menjawab pertanyaan pembela. Ia meminta waktu kepada hakim sampai sidang pekan ini. Selain pembela, majelis hakim juga kecewa atas tindakan-tindakan jaksa. Ketua Majelis, Soenardi, terus terang menyatakan penyesalannya karena perintahnya diabaikan kejaksaan. "Seharusnya jaksa tidak berbuat demikian. Kalaupun terdakwa menyulitkan persidangan karena penetapan saya, dan saya yang bertanggung jawab," ujar Soenardi. Tambahan lagi, katanya, "jaksa tidak berhak menilai keputusan seorang hakim." Sebetulnya, tutur Soenardi lagi, ia bisa saja meneluarkan tersangka dari tahanan tanpa melalui kejaksaan. Wewenang untuk itu, katanya, ada diatur ordonansi kepenjaraan 1917. "Tapi, untuk menjaga hubungan baik, saya tetap melalui jaksa," tambah Soenardi lagi. Protes para pembela kepada jaksa seperti tak putus-putusnya. Adalah seorang saksi, A. Salman, yang mengakui bahwa dalam kedudukannya sebagai salah seorang pimpinan Unit Reboisasi Lampung Selatan mengetahui benar adanya pemotongan dana oleh bendaharawan yang konon mendapat perintah Fachruddin. Ketika ia diperiksa di kejaksaan, ia ada menyerahkan bonggol struk cek kepada pemeriksa, yang di dalamnya masih terdapat 6 lembar cek yang sudah terisi. Pemeriksa, menurut saksi, menyerahkan kembali 6 cek tersebut kepadanya untuk dicairkan. Alasannya agar proyek bisa berjalan. Doenny Kailimang langsung mengajukan protes: "Kalau begitu caranya, berarti jaksa ikut membantu orang-orang untuk korupsi." Sebab, menurut pembela, cek itu sebenarnya merupakan barang bukti yang seharusnya disita. Murni Rauf ternyata tidak begitu risau dengan kekecewaan hakim dan berbagai protes serta pengaduan pembela. Ia mengaku tidak mendapat teguran dari atasannya. "Saya hanya mendapat telepon dan saya sudah jelaskan persoalannya kepada Kejaksaan Agung," ujar Murni Rauf mantap.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus