Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Surga di Bawah Fondasi

Bahrain masa kini dibangun di atas kuburan prasejarah terbesar di dunia.

19 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dinding batako itu masih telanjang, belum diplester. Tonggak-tonggak kayu sisa penyangga beton berserak di antara paku dan palu. Beberapa pekerja sibuk mengepas kusen jendela hingga mengaduk adonan semen untuk rumah itu. Sebuah rumah biasa berlantai tiga yang belum usai ditegakkan. Tapi, coba lebarkan pandangan ke halaman. Nah, di sana teronggoklah sesuatu yang tidak biasa: dua gundukan tanah membukit di halaman rumah itu. Salah satunya mangap dengan rongga besar, disangga tumpukan batu gamping seadanya.

Sejumlah buruh asal India tengah meratakan gundukan ke bawah fondasi rumah itu. Rongga gundukan mengandung berbagai kerak tengkorak serta periuk-periuk tanah. "Itu kuburan yang terpaksa mereka bongkar," ujar Abdullah Saleh, 26 tahun, seorang anak muda Bahrain, sembari menunjuk gundukan di halaman rumah tersebut. Hari itu ia mengantar TEMPO ke A'ali. Inilah lokasi kuburan prasejarah Bahrain yang menyimpan ratusan makam kuno. Melampaui sejumlah babak zaman, usia makam ini sudah ribuan tahun, terhitung sejak masa prasejarah.

Ditemani Abdullah, wartawan mingguan ini masuk ke bangunan rumah tersebut setelah mendapat izin dari seorang pria bersorban. Dari dak lantai tiga, pemandangan menjadi jauh lebih jelas. Sejauh mata memandang, terbentang panorama ribuan makam prasejarah A'ali yang sohor di seantero Bahrain. Dalam setiap brosur wisata, nama tempat ini selalu dicantumkan sebagai obyek "wajib kunjung". Tapi, masya Allah, di belakang kuburan-kuburan tersebut, berjejal bangunan—rata-rata berlantai tiga. Dinding-dindingnya secokelat pasir gurun, menyilaukan mata di bawah terik matahari sore.

Ribuan gundukan itu menghampar di atas gurun pasir. Kalau tersesat di tengahnya, rasanya mustahil menemukan jalan pulang. Deretan gundukan makam setinggi hampir dua meter dengan diameter sekitar dua meter itu saling berdempet mirip labirin. Rumah baru yang ditengok TEMPO berada di sisi paling luar, berbatasan langsung dengan makam. "Waktu saya kecil, perumahan ini belum ada. Lima tahun lagi saya yakin gundukan akan kian berkurang," Abdullah menjelaskan.

Ini masuk akal karena dari waktu ke waktu satu per satu gundukan dibongkar, dipatok-patok dengan kayu untuk menandai lokasi bangunan baru. Pembongkaran makam-makam kuno di A'ali adalah contoh betapa dilematisnya problem kawasan hunian di Bahrain. Dengan luas cuma 700 kilometer persegi dan tingkat pertambahan populasi 2 persen per tahun, apa boleh buat, kuburan prasejarah pun disikat menjadi rumah, pasar, mal, pencakar langit.

Kawasan yang bukan makam di selatan Bahrain sebetulnya masih lowong. Tapi penduduk Bahrain emoh tinggal di sana. "Tak ada apa-apa di tempat itu selain pangkalan militer, sumur minyak, dan gurun tandus," ujar sejarawan Fuad Noor dari Museum Nasional Bahrain. Maka penduduk, menurut Fuad, memilih bermukim dekat Kota Manama di kawasan utara. Perumahan elite para anggota keluarga kerajaan pun dibangun di atas pekuburan kuno Hamad. Disebut Hamad Town, kota satelit nan mewah itu betul-betul berfondasikan makam.

A'ali, bukanlah satu-satunya areal kuburan kuno di Bahrain. Masih ada puluhan kompleks makam prasejarah lain. Umpama, Saar, Karzakkan, Madinat Isa, Karannah, Al-Maqsa, Dar Kulayb, Janabiyah, Umm Jidr, dan Rifaa. Jumlahnya mencapai sekitar 170 ribu tumuli—ini istilah arkeologis untuk gundukan makam kuno. Dan pekuburan di Bahrain itu dinyatakan sebagai makam prasejarah terbesar di dunia yang pernah ditemukan sejak penggalian pertama di abad ke-18.

Tersebar di kawasan tengah Bahrain hingga utara, sebagian warisan prasejarah tersebut telah beralih menjadi permukiman, gedung-gedung tinggi, dan mal. Makam-makam di Karannah dan Al-Maqsa, misalnya, sudah bersalin rupa menjadi Seef Mall, pusat perbelanjaan termegah dan termewah di Bahrain.

Arkeolog asal Prancis, Jean Yves Breuil (1999), mencatat kuburan Bahrain berasal dari masa 2400 hingga 1700 SM. Dalam kalender sejarah, ia masuk dalam masa Bronze Age (Zaman Perunggu). Dikenal dengan nama Dilmun di masa itu, Bahrain mencapai puncak kejayaannya. Dilmun terletak di tengah Teluk Persia, merupakan bagian dari peradaban Sumeria yang dicatat sebagai peradaban tertua di dunia. Terbentang di antara Sungai Tigris dan Eufrat di Mesopotamia, Bahrain berperan amat penting sebagai tempat transit perdagangan dari Magan (kini Oman). Barang yang diperniagakan di kala itu antara lain batu granit, kayu, dan tembaga.

Temuan arkeologis Breuil dalam tumuli berupa periuk-periuk lumpur tradisional dari Lembah Mesopotamia kian memperkuat catatan sejarah tersebut. "Selain tulang-belulang, kadang ditemukan pula perhiasan, kerang, dan batu mulia," tulis Breuil dalam laporannya. Bentuk tumuli itu menyerupai bermacam konstruksi. Secara umum, bentuknya sama. Galian berbentuk lingkaran, dipagari batu gamping. Di tengahnya terdapat ruangan kecil yang berfungsi sebagai peti mati—lagi-lagi dari susunan gamping. Setelah itu, pasir gurun diuruk membentuk gundukan jerawat batu.

Di A'ali, masih tersisa beberapa tumuli raksasa setinggi 20 meter, berdiameter 25 meter. "Di dalamnya terdapat beberapa tengkorak manusia. Kuat diduga, ini menunjukkan hierarki keluarga dalam tatanan sosial kala itu.

Yang masih menjadi pertanyaan para arkeolog adalah apakah cara penguburan seperti itu karena memenuhi ritual agama ataukah model kuburan di zaman tersebut memang demikian. Beatrice Andre-Salvini, kurator dari Museum Louvre, Prancis, mencoba menelusuri jawabannya melalui prasasti kuno tentang mitologi Enki dan Ninshurhag, Dewa Zeus-nya kaum Sumeria.

Prasasti itu didapat dari penggalian arkeologis di Lembah Mesopotamia. Dalam mitologi tersebut, Dilmun, yang berarti tanah keabadian, dianggap sebagai surga dunia. Di tanah itu konon—begitu yang tertulis dalam prasasti—air nan jernih memancar berlimpah ruah, bahkan gurun-gurun pasir dan batu-batu karang. Pohon-pohon rimbun menghijau, bunga bermekaran mendandani gurun. Enki, dewa Sumeria itu, menyebut Dilmun yang surgawi sebagai tempat di mana "singa-singa tak membunuh, tak seorang pun merasa tua, dan matahari selalu bersinar".

Di saat peradaban Sumeria mulai runtuh, Dilmun menjadi tempat peristirahatan abadi. Maka, tanah surgawi itu menjelma menjadi necropolis, kota kematian dengan ribuan tumuli. Kuburan prasejarah ini tak pelak lagi amat berarti dalam peta sejarah dunia. Lalu, sejauh apa usaha pemerintah Bahrain untuk mengkonservasi warisan kuno tersebut? "Melihat kebutuhan akan lahan tempat tinggal, kerajaan akhirnya membolehkan warga membongkar kuburan untuk permukiman atau pasar," ujar Fuad Noor. "Tapi, setiap pembangunan harus diawasi dengan ketat oleh arkeolog," Fuad melanjutkan.

Maka, Bahrain modern pun menumpang hidup pada Bahrain masa lalu—sebuah fenomena yang sudah menjadi soal biasa. Ahmed al-Salem, 24 tahun, yang dibesarkan orang tuanya di kompleks makam tersebut, merumuskannya dengan santai: "Saya kira arwah nenek moyang kami dapat memahami kebutuhan masa kini."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus