Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Surat Pembaca

19 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KPU yang Amburadul

DARI persoalan logistik hingga ke kualitas tinta, terlihat cara kerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) amburadul. Terakhir, tapi yang justru sangat penting dan menentukan pemilihan presiden di negara ini, adalah masalah sah atau tidaknya surat suara yang dicoblos sampai menembus halaman atas.

Apakah anggota KPU yang cukup banyak dan menyandang nama-nama besar itu selama ini kerjanya hanya asal kerja, sehingga tidak ada seorang pun di antara mereka yang mengantisipasi kemungkinan timbulnya masalah tersebut? Seharusnya mereka sudah mengantisipasinya sejak dini, karena surat suara bila dibuka segera terlihat lima gambar calon presiden dan wakilnya masing-masing yang berukuran sama. Tentu akan ada banyak orang yang beranggapan bahwa mereka hanya tinggal mencoblos salah satu kotak yang memuat gambar para calon pemimpin tersebut. Mereka mengira tidak lagi perlu membuka seluruh lembaran surat suara.

Saya sendiri kebetulan bertindak sebagai ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan sampai akhir penghitungan suara, bahkan sampai kami membubarkan diri, tidak mendapat instruksi dari KPU yang memuat penegasan mengenai sah atau tidaknya surat suara yang dicoblos seperti itu. Artinya, kalaupun memang ada instruksi ataupun pernyataan yang disampaikan KPU, semua itu sudah sangat terlambat. Kalau saya saja yang bertugas di jantung Ibu Kota negara ini tidak mendapatkannya, bagaimana dengan yang ada di berbagai pelosok desa dan daerah.

Itulah salah satu contoh kerja orang-orang di KPU. Karena itu seharusnya ada pihak yang peduli terhadap masalah tersebut, bila mungkin mengajukan suatu gugatan class action. Setidak-tidaknya, pemerintah memberlakukan sanksi kepada mereka karena cara kerjanya yang sangat tidak profesional.

Taufik Karmadi
Cengkareng, Jakarta


Kecewa terhadap Adam Air

Pada 18 Mei 2004, ayah saya, Bangun Martinus Sinuraya, dan rombongan keluarga berangkat ke Jakarta dari Medan dengan menggunakan pesawat Adam Air. Mereka terbang pada pukul 15.35. Tujuannya untuk menghadiri pernikahan anggota keluarga dan mengunjungi adik-adik yang kuliah di Yogyakarta.

Pada penerbangan tersebut tas bagasi orang tua kami (KI 118646) yang berisi pakaian dan obat-obatan hilang. Meskipun sudah dilaporkan ke petugas, sampai sekarang tidak jelas bentuk pertanggungjawaban dari Adam Air. Mereka hanya memberikan janji-janji untuk mengusahakan mencari tanpa pernah mencoba proaktif.

Untuk diketahui, ayah kami mengidap penyakit jantung dan hipertensi. Sehari-harinya sangat bergantung pada obat-obatan yang ikut hilang beserta tas tersebut. Dampak dari hal itu penyakitnya kini semakin parah karena terlambat mengkonsumsi obat dan terus dibebani pikiran kehilangan.

Kami meminta pertanggungjawaban material maupun moral dari Adam Air. Soalnya, sejak kejadian tersebut hingga kini, ayah saya mengalami gangguan psikis yang sangat berat.

Adisinta Sinuraya
Puri Gading Villa Kintamani A4 No. 25
Pondok Gede, Bekasi


Koreksi Komaruddin Hidayat

Saya mengucapkan terima kasih atas pemuatan wawancara saya di Majalah TEMPO Edisi 12-18 Juli 2004. Namun ada sedikit kesalahan yang perlu dikoreksi. Saat saya menjawab pertanyaan soal Al-Zaytun, jawaban yang tertulis di majalah adalah ?Panwaslu sudah menganggapnya selesai. Tak ada aturan administratif dan prosedur yang dilanggar?.? Seharusnya jawaban yang benar adalah ?Panwaslu tengah menugaskan pengkajian lebih lengkap. Kami akan menyelesaikannya menurut undang-undang dan aturan yang ada.?

Demikian koreksi saya. Semoga pemilu presiden ini menghasilkan pemimpin yang jujur, kompeten, dan bisa menyampaikan gagasan kepada publik.

Komaruddin Hidayat
Ketua Panwaslu


Soal Kewarganegaraan

Pada 10 April 1946, di Yogyakarta, Bung Karno, sebagai Presiden Republik Indonesia yang baru diproklamasikan, menandatangani undang-undang yang bersejarah, UU No. 3/1946 tentang Warga Negara dan Penduduk Negara.

Waktu itu kedudukan Republik praktis terkepung oleh kekuatan kolonial yang berusaha mencengkeram kembali Indonesia. Bung Karno, Bung Hatta beserta keluarga, sejak 3 Januari 1946 mengungsi dari Jakarta ke Yogyakarta. Mereka berangkat secara rahasia dari Pegangsaan Timur 56, dengan menumpang kereta api yang sengaja berhenti di belakang rumah. Kemudian, dengan pengawalan 1 regu pengawal dari kepolisian, beranggotakan 13 orang, Sukahar dan kawan-kawan menerobos pengepungan musuh, berangkat ke Yogyakarta. Hari itu, di Jatinegara terjadi pertempuran antara pihak Indonesia dan Belanda, yang membakar rumah penduduk, sehingga 500 warga negara Indonesia kehilangan rumahnya.

Pada 4 Januari 1946, diumumkan bahwa presiden, wakil presiden, dan pemerintahan Republik pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Artinya, ibu kota Republik Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta.

Di tengah gemuruh perang kemerdekaan itulah, ditandatangani UU No. 3/1946 untuk mempersatukan seluruh potensi bangsa Indonesia, dari usaha pemecahbelahan oleh pihak kolonial. Prinsipnya, seluruh penduduk yang berada di wilayah Republik Indonesia, yang telah bertempat tinggal dan tempat kediaman selama lima tahun berturut-turut, adalah warga negara Republik Indonesia (pasal 1b). Dasar kependudukan ini dipakai oleh pemerintah Republik Indonesia untuk menghadapi politik memecah belah (divide et impera) dari pemerintah kolonial.

Hari ini, ketika kita memasuki abad globalisasi, ketika paham neoliberalisme bergentayangan di seantero bumi, sudah waktunya seruan persatuan tanpa membeda-bedakan asal-usul, keturunan, dan golongan, dikumandangkan kembali. Ini untuk mencegah kita terperangkap di dalam ?bubu? imperialisme global.

Berantas diskriminasi di antara sesama anak bangsa, persatuan dengan sungguh-sungguh bangsa Indonesia, untuk menghadapi tantangan global. Berlakukan kembali UU No. 3/1946 tentang warga negara dan penduduk negara, untuk mengakhiri diskriminasi rasial di tanah air kita.

I.H. Kendengan
Jakarta


Calo di Stasiun Gambir dan Bandung

Saya adalah pengguna setia kereta api Parahyangan dan Argo Gede Jakarta-Bandung pulang-pergi. Saya memilih kereta api dengan pertimbangan keamanan dan kepraktisan. Tapi belakangan saya merasa kenyamanan penumpang sangat terganggu oleh ulah para calo di Stasiun Gambir dan Stasiun Bandung. Bayangkan, pada hari-hari ramai (Jumat, Sabtu, dan Minggu), banyak calo yang memborong tiket kereta. Akibatnya, harga tiket melonjak tinggi. Untuk kereta Argo Gede, misalnya, tiket seharga Rp 75 ribu ditawarkan para calo dengan harga Rp 120 ribu-Rp 125 ribu. Kalau ditanyakan soal harga yang selangit, ?Setoran ke dalam mahal, Mas,? ujar seorang calo di Stasiun Gambir.

Anehnya, para calo terlihat bebas beraksi di depan petugas keamanan resmi PT Kereta Api Indonesia. Bahkan, pekan lalu, saya sempat melihat seorang calo mengembalikan tiket yang tak laku ke dalam loket resmi di Stasiun Gambir, kemudian petugas membuka lagi loket yang sebetulnya sudah ditutup hanya untuk menjual tiket dari calo tersebut. Saya berharap PT KAI berkenan menertibkan calo yang merugikan calon penumpang. Semoga citra PT KAI tak tercoreng oleh ulah para calo dan segelintir oknum yang tak bertanggung jawab.

Eman Rahman
Perumahan Bumi Anggrek, Bekasi


Kontroversi Penjualan Kapal Tanker

Kontroversi penjualan kapal tanker milik Pertamina masih terus menghangat. Masing-masing pihak mengemukakan argumentasi dan alasannya, termasuk para petinggi Pertamina. Kalau tidak keliru, menyimak tulisan dalam Majalah TEMPO belum lama berselang, alasan direksi Pertamina menjual kedua tanker yang sedang dibangun di Korea adalah masalah biaya. Biaya operasi tiap kapal akan mencapai US$ 45 ribu, sementara kalau menyewa hanya US$ 20 ribu untuk ukuran kapal yang sama. Terlepas dari masalah umur kapal, jelas bahwa pengoperasian kapal oleh Pertamina sendiri akan jauh lebih mahal dibandingkan dengan cara menyewa kapal.

Penjualan kedua tanker yang menghebohkan akhir-akhir ini juga menguak tabir betapa selama ini kepemilikan dan pengoperasian kapal-kapal tanker oleh Pertamina jauh dari efisien. Tanpa mengabaikan masih adanya pejabat yang memiliki integritas di Pertamina, mungkin ada kaum vested interest.

Karena itu, sebaiknya tanker milik Pertamina dijual saja semuanya dan lebih baik menyewa saja daripada mengoperasikannya sendiri, yang merupakan pemborosan.

Pengoperasian kapal menyangkut banyak segi yang bisa menjadi sumber korupsi, kolusi, dan nepotisme. Penyimpangan bisa terjadi dari pembelian suku cadang, berbagai macam cat, alat perlengkapan dek, dan navigasi. Yang paling besar porsinya adalah biaya untuk docking dan perbaikan yang merupakan sumber mark-up harga-harga. Karena itu, perlu segera diadakan audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan dalam pengadaan, pengoperasian, dan pemeliharaan armada Pertamina.

Iskandar B. Ilahude
Jalan Intan I/63
Kemayoran, Jakarta Pusat


Internet dan Kaum Lansia

Penguasaan teknologi informasi, komputer, dan Internet dipercayai sebagai senjata dan bekal tiap insan guna mampu memenangi persaingan dalam kehidupan antarbangsa. Di negara kita, yang agak sering terdengar adalah upaya pembekalan keterampilan teknologi informasi untuk generasi muda. Hal itu tentu tidak salah. Kini saya mengajukan usul tambahan, mengenai pentingnya kampanye pengenalan dan praktek pemanfaatan komputer dan Internet bagi golongan lanjut usia alias lansia.

Begawan digital dari Amerika Serikat, Nicholas Negroponte, dalam bukunya Being Digital, mengatakan di Amerika terdapat 30 juta anggota AARP (organisasi kaum pensiunan) yang merupakan sumber kolektif ilmu pengetahuan dan kearifan yang masih terbengkalai. Dengan bantuan komputer dan Internet, harta karun pengetahuan dan kearifan jutaan kaum lansia dapat dikomunikasikan dengan generasi anak-cucu mereka hanya dengan beberapa ketuk tombol mesin ketik.

Merujuk hebatnya visi tersebut, alangkah bijak bila mulai kini di Indonesia para pemimpin lembaga tempat kaum lansia dulu bekerja atau institusi terkait seperti Persatuan Wredatama Republik Indonesia (PWRI) tergerak menindaklanjuti visi Negroponte. Orang bisa menyumbangkan komputer lama untuk organisasi pensiunannya. Organisasi ini lalu bisa melakukan penataran penggunaan komputer dan Internet secukupnya dan aktivitas lainnya yang menunjang.

Saya sebagai pencetus Epistoholik Indonesia (EI), yaitu komunitas jaringan penulis surat pembaca di media massa yang kebetulan banyak warganya adalah pensiunan, juga mengupayakan hal semacam itu. Kami berusaha mengenalkan komputer dan Internet bagi kaum lansia. EI saat ini mengalbumkan surat pembaca para lansia yang kaya kearifan dan canggih-canggih itu di situs epsia.blogspot.com agar mudah diakses peminat dari mana pun di dunia. Semoga gagasan sederhana ini memperoleh sambutan dan pengayaan secukupnya.

Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia
Jalan Kajen Timur 72
Wonogiri 57612


Jangan Lupa Sejarah

Berdirinya negara Republik Indonesia ini telah mengorbankan cukup banyak nyawa, darah dan air mata maupun harta. Kami anak bangsa amat sangat sedih dan prihatin menyaksikan kekejaman dan kedhaliman terhadap rakyat. Penggusuran, terakhir terjadi di Makassar, aparat berbuat kasar padahal mereka mengaku pelindung rakyat negara ini.

Jika negara ini mau aman dan tentram, maka aparat pemerintahan maupun presiden harus mengenyampingkan kepentingan pribadi maupun partainya. Janganlah berbuat kasar kepada rakyat. Ingatlah apa yang dilakukan rezim Soeharto dulu, pedihnya masih kita rasakan sampai sekarang. Tindak tanduknya yang menaburkan fitnah dan pembunuhan yang keji, lebih keji dari Firaun. Mulai dari kasus G30S tahun 1965, Surat perintah Sebelas Maret 1966, sampai kasus-kasus yang belum tuntas hingga kini: Tanjung Priok, Talangsari (Lampung), Imron, Haur koneng, Petrus, Ambon, Sampit, Trisakti, Semanggi, DOM di Aceh, penculikan mahasiswa dan aktifis, termasuk saudara kami, Dedy Hamdun, Noval, Ismail maupun peristiwa 27 Juli kelabu 1996.

Jangan lupakan sejarah, begitu kata Bung karno. Jadikan masa lalu yang kelam untuk menjadi pelajaran agar tak ada lagi kekejaman terhadap rakyat. Jangankan rakyat jadi korban lagi.

Habib Idrus Palembang
(yang pernah berjabat tangan dengan Bapak proklamator, Ir.Soekarno pada peletakanan batu pertama pembangunan Jembatan Ampera, Palembang pada tahun 1962)
Lintas Etnis Al-Haq, Depok


Pedesterian di Jalan Thamrin

Jakarta seharusnya sudah menjadi surga bagi pejalan kaki. Adanya, program Busway, harusnya didukung dengan pola lalu lintas terpadu terutama bagi pejalan kaki. Kegagalan bus feeder (pengumpan) seharusnya menjadi umpan balik untuk memanjakan pejalan kaki (Pedesterian). Karena itu sebaiknya, ruang untuk pejalan kaki lebih luas. Kami mengusulkan sepanjang Jalan Thamrin-Sudirman dibagi menjadi, pedesterian yang luas untuk pejalan kaki, satu jalur untuk sepeda motor, dua jalur untuk mobil dan satu jalur busway. Tak ada lagi metro mini, kopaja, atau bus lain yang boleh lewat jalan itu.

Agar tetap asri, taman tetap dijaga. Lalu pohon-pohon peneduh bukan berada di sisi gedung, tetapi beada di tengah berbatasan dengan jalur khusus sepeda motor. Mari ciptakan Jakarta yang berbudaya dan surga untuk pejalan kaki.

A.Taufik
Jakarta Pedesterian Club (JPC)


Nasib Nurhayati dan Sikap Pemerintah Banten

MENYIMAK berita di Liputan6 SCTV tentang nasib Nurhayati?TKI yang menjadi korban majikannya di Malaysia?memang memilukan. Tetapi yang jauh lebih memilukan adalah perlakuan Pemerintah Kabupaten Serang dan Dinas Tenaga Kerja Banten kepada keluarga korban. Aparat pemerintah daerah itu menyarankan agar keluarga Nurhayati membuat proposal permohonan bantuan kepada Bupati Serang dan Gubernur Banten.

Ini keterlaluan! Pernyataan ini sangat mengobrak-abrik rasa kemanusian dan kewarasan. Sejak kapan rakyat kecil yang tertimpa musibah diharuskan membuat proposal kepada pemerintah? Pikiran sehat mengatakan seharusnya tanpa diminta dan disuruh pejabat pemerintah wajib menolong warganya karena tugas aparat adalah melayani warga. Saya tidak habis pikir, seberapa rusak mental dan pikiran aparat yang punya gagasan itu.

Sudah semestinya Bupati Serang Bunyamin dan Gubernur Banten Joko Munandar ?merah muka? mendengar berita memalukan itu. Atau memang kenyataannya seperti itu? Di Banten kalau warga tertimpa musibah harus mengajukan proposal terlebih dahulu agar mendapat bantuan?

Jika betul, malu saya jadi warga Banten. Tetapi saya punya ide ?waras?. Saya sarankan Pak Bupati dan Pak Gubernur menyumbang satu unit komputer dan printer, sekaligus biaya kursus komputer bagi keluarga Nurhayati. Hal ini penting agar keluarga korban bisa menyusun proposal dengan bagus dan rapih agar berkenan di hati bapak-bapak sekalian.

SUKANDAR
Cikupa, Tangerang
Banten


Bantuan Kebakaran Kebon Melati

Ratusan anak terlantar, buku-buku pelajaran dan peralatan sekolahnya habis terbakar. Para orang tuanya tak mampu lagi, karena semuanya dilalap api. Memang musibah bisa menimpa siapa saja. Namun, tak salah kalau kita semua bergerak membantu korban kebakaran di RW 14 kelurahan Kebon Melati, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Mari kita bergandeng tangan lupakan sekat-sekat partai politik atau presiden pilihan anda. Bergerak membantu bukankah lebih mulia?

Abdul Malik
Paguyuban Peduli Anak Bangsa
Petamburan, Telepon : 021-53678369


Lingkungan Gedung Sate Semrawut

JIKA pergi ke Bandung dan kebetulan melalui kawasan Gedung Sate mungkin kita akan terkejut. Kenapa? Karena Gedung yang tersohor itu ternyata tidak memancarkan aura berwibawa. Penyebabnya adalah lingkungan sekitarnya yang kotor, jorok dan semrawut. Betapa tidak pedagang kaki lima, tenda biru dan gubuk berserakan di mana-mana. Bahkan pagar depan kantor Gubernur Jawa Barat itu menjadi cantolan tenda-tenda pedagang bakso. Lebih parah lagi setiap hari Minggu lapangan Gedung Sate dijadikan pasar kaget yang menjual beraneka rupa, dari pakaian, makanan sampai barang loak. Luar biasa, baru sekarang saya menemukan kantor Gubernur sejorok ini.

Akhirnya saya berpikir, jangan-jangan gubernurnya memang jorok juga.

Raisa AMALIA
Bintaro , Jakarta Selatan


Ralat

Terdapat kekeliruan pada Rubrik Gaya Hidup, TEMPO, Edisi 18 Juli 2004, halaman 59, yang berjudul "Mengayuh Hidup Dengan Sepeda". Pada paragraf kelima tertulis sepeda Colnago, yang harganya setara BMW seri 7. Seharusnya, sepeda Colnago yang harganya setara mobil van buatan Jepang.

Terima kasih.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus