Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Surga Pedofilia Bernama Nusantara

Pelaku pencabulan anak di Indonesia kerap menyamar jadi turis. Memanfaatkan vila mewah di Bali.

5 Mei 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERTENGAHAN April lalu, Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia kedatangan tamu tak biasa. Sejumlah petinggi Biro Penyelidik Federal (FBI)-lembaga penyidik kasus kriminal di Amerika Serikat-dan Interpol datang berkunjung. Mereka membawa kabar buruk.

"Berdasarkan data mereka, jumlah kasus pedofilia di Indonesia kini tertinggi di Asia," kata Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Komisaris Jenderal Suhardi Alius, pekan lalu. Semula Suhardi tak percaya. Dia menunjuk jumlah kasus pencabulan anak di Thailand yang, menurut dia, lebih tinggi.

Mereka pun berdebat. Di puncak adu argumentasi, agen penyidik FBI menyorongkan setumpuk dokumen berkategori rahasia. Isinya mencengangkan. Ditanya data apa yang dipaparkan dua lembaga penegak hukum internasional itu, Suhardi menolak memberi jawaban detail. Dia hanya berkata pendek, "Ini mengkhawatirkan."

Informasi FBI dan Interpol bisa jadi terkait dengan jumlah kedatangan warga negara asing yang sebenarnya merupakan buron atau terpidana kasus kekerasan seksual terhadap anak di negerinya. Dengan berkedok sebagai wisatawan, mereka bebas berkeliaran mengincar anak-anak tak berdosa di pelosok Nusantara.

Committee against Sexual Abuse (CASA), lembaga swadaya masyarakat yang aktif mendampingi korban pedofilia dan berbasis di Bali, sudah lama memiliki data serupa. Di situsnya, mereka mengutip informasi itu dari pernyataan Australian Federal Police (AFP) dalam sebuah seminar bertajuk "Child Sex Tourism" di Bangkok, Thailand, dua tahun lalu. "Ada sedikitnya 1.194 pelaku kekerasan seksual yang sudah dipidana di Australia datang berkunjung ke Indonesia pada 2011 saja," kata seorang petinggi kepolisian Australia dalam acara itu.

"Peningkatan jumlah kasus pedofilia di Indonesia terkait dengan semakin tingginya angka kunjungan wisata," ujar Sekretaris CASA Cokorda Bagus Jaya Lesmanakepada Tempo, akhir pekan lalu. "Ironisnya, dalam tiga tahun terakhir, tidak pernah ada penangkapan pelaku pedofilia asing di Indonesia."

Sulitnya mengungkap perilaku bejat para penjahat seksual ini, kata Cokorda, lantaran modus mereka semakin canggih. Salah satunya pemanfaatan vila eksklusif nan mewah yang kini menjamur di Bali. Lokasi vila yang terpencil dengan harga sewa selangit itu membuat kasus pedofilia di tempat pelesir semacam itu nyaris tak mungkin terendus. "Kebanyakan pelaku sekarang adalah orang asing yang punya kantong tebal," ucap Cokorda.

Kesimpulan itu diperoleh dari investigasi CASA atas modus dan profil pelaku pencabulan anak di Bali. Mereka mempelajari perilaku Mario Manara, warga negara Italia yang pada 2001 mencabuli 12 anak di sekitar Pantai Lovina, Buleleng, Bali. Juga kasus Michele Rene Heller, warga Prancis yang melakukan kekerasan seksual terhadap tiga anak di Bali pada 2005. Siasat Jan Jacobus Fogel, warga negara Belanda, ketika mencabuli empat gadis bau kencur di Desa Kaliasem, Buleleng, juga ditelisik dengan teliti.

Berdasarkan pengamatan itu, kata Cokorda, mereka punya bayangan bagaimana para predator ini mengincar mangsa. "Dulu mereka mencari dengan tekun satu per satu korbannya di banyak daerah," ujarnya. Anak-anak kecil yang masih lugu itu diiming-imingi uang dan permainan yang menghibur, seperti meja biliar dan Play-Station. Bocah perempuan biasanya dibelikan baju bagus dan alat kecantikan.

Modus seperti itu masih bertahan hingga kini. Tapi sekarang ada yang berubah. Para pedofil kini memiliki jaringan lintas negara lewat Internet. Ini berbeda dengan pedofil lokal, yang bekerja sendiri-sendiri dan modusnya lebih sederhana sehingga mudah ditangkap.

Berkat jejaring Internet, para pemangsa bocah itu tak perlu lagi berpeluh menyisir suatu daerah untuk mencari korban. "Pengalaman" satu pedofil biasanya ditiru pelaku berikutnya. "Mereka punya situs dan milis sendiri," kata Cokorda dengan nada miris. Bila satu pedofil berhasil mendapatkan korban, foto, identitas, dan alamat si korban mereka unggah ke Internet. "Beberapa korban yang mengadu ke kami mengaku rumah mereka selalu dikunjungi om-om bule yang berbeda setiap tahun," Cokorda.

Bukan itu saja yang membuat angka pedofilia di Indonesia terus membubung. "Penegakan hukum di sini lemah," kata Cokorda. Selain soal implementasi, perangkat perundang-undangan tak mendukung. Bayangkan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak hanya memberikan ancaman hukuman 3-15 tahun penjara untuk pelaku kekerasan seksual terhadap anak.

Di pengadilan, vonis hakim bahkan cenderung lebih ringan. "Mario Manara hanya dihukum sembilan bulan. Michele Rene Heller cuma dihukum tiga tahun," kata Cokorda memberi contoh. Bandingkan dengan negara lain di Eropa dan Amerika Serikat, yang memperlakukan pedofil seperti teroris.

Suhardi Alius bukannya tak sadar besarnya masalah ini. Dia berjanji mulai berbenah. Langkah pertamanya adalah berkoordinasi dengan aparat penegak hukum di negara lain. "Kami akan mengintensifkan komunikasi dengan polisi asing," katanya.

Mustafa Silalahi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus