Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AGUSTINA Amprawati tetap sumringah meski diperiksa sekitar tujuh jam di Markas Kepolisian Resor Kota Pasuruan, Jawa Timur, Rabu sore pekan lalu. Ia menebar senyum ketika melangkah ke luar ruang pemeriksaan di lantai dua. Calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Timur dari Partai Gerindra ini diduga menyuap Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Kabupaten Pasuruan.
"Saya sudah habis banyak. Kalau enggak dibuat santai, bisa stres saya nanti," ujarnya. Ia mengaku telah menyogok 12 ketua PPK plus seorang anggota PPK lain. Penyelenggara pemilihan itu berjanji kepadanya bisa mengatur kemenangan. Mereka datang ke posko pemenangannya di Jalan Panglima Sudirman, Pasuruan, pada 24 Maret lalu.
Hari itu, ia menyerahkan uang muka Rp 77,5 juta. Para tamu meminta masing-masing satu unit sepeda motor bila misinya berhasil. "Saya langsung percaya saja. Bagaimana teknis pemenangannya, saya tidak tahu," ujar pengusaha konstruksi itu.
Ia mengaku telah menghabiskan duit Rp 128 juta, tapi bukannya menggelembung, perolehan suaranya justru kempis. Calon legislator nomor urut 8 dari daerah pemilihan Jawa Timur 2 (Kabupaten Pasuruan, Kota Pasuruan, Kabupaten Probolinggo, dan Kota Probolinggo) ini belum tahu secara pasti perolehan suaranya. Tapi ia merasa hasilnya jeblok. "Per TPS ada yang hilang 70, ada yang hilang 45 suara."
Berbekal surat pernyataan penerimaan uang yang ditandatangani 11 dari 13 orang tersebut, ia melaporkan penipuan itu ke Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kabupaten Pasuruan dan Badan Pengawas Pemilu Provinsi Jawa Timur. Ia juga menuding ada permainan di antara saksi partainya sendiri untuk menggemukkan perolehan suara calon tertentu. Sebab, hasil perolehan suara yang ia catat berbeda dengan yang tertera di formulir C1 (perolehan suara).
Wakil Ketua DPD Partai Gerindra Jawa Timur Faf Adisiswo menegaskan, partai tak bisa mengintervensi suara calon legislator atau memindahkan suara partai ke calon. "Itu hanya mungkin bisa dilakukan antara caleg dan penyelenggara pemilihan," katanya Jumat pekan lalu.
Kasus serupa dialami Djoni Rolindrawan. Calon legislator nomor urut 2 Partai Hati Nurani Rakyat dari daerah pemilihan Jawa Barat 3 (Kabupaten Cianjur dan Kota Bogor) ini merasa unggul 585 suara atas calon inkumben, Erik Satrya Wardhana. Ia mengatakan rapat pleno penghitungan suara di PPK Cianjur pada 19 April menyatakan Erik meraup 1.071 suara, Djoni 560 suara, dan Hanura 1.948 suara.
Ia menemukan kejanggalan dalam rapat pleno KPU Kabupaten Cianjur keesokan harinya, di antaranya jadwal rapat dimajukan sehari dan beberapa saksi partai dan Panwaslu belum memegang formulir DA1 (rekapitulasi hasil penghitungan suara desa/kelurahan) Kecamatan Cianjur Kota. Rapat pleno juga tak menampung temuan kecurangan, seperti penggelembungan suara, pemindahan suara partai ke suara calon legislator, pemindahan suara antarcalon, dan jual-beli suara.
Dalam rapat pleno di PPK Cianjur Kota itu, perolehan suara Erik naik 1.206 menjadi 2.277, suara Djoni tetap 560, dan suara Hanura berkurang 1.067 menjadi 881. Suara calon nomor 4, Nadjamuddin, menjadi 62 dari semula 172 dan suara calon nomor 7, Agust Shalahuddin, menyusut menjadi 39 dari semula 68. Erik pun unggul dengan total 14.958 suara, disusul Djoni dengan 13.948 suara.
Menurut Djoni, penggelembungan tak mengubah total perolehan suara partai. "Tapi mengambil suara partai kemudian mengambil suara caleg nomor tertentu," ujarnya Jumat pekan lalu.
Di Kecamatan Pacet, kata dia, ada penyelenggara pemilu menawari tim suksesnya tambahan 200 suara dengan imbalan Rp 30 juta. Djoni menolak karena merasa unggul. Ia pun mengajukan keberatan atas rekapitulasi hasil penghitungan suara di Kecamatan Cianjur kepada Panwaslu.
Ketua Panwaslu Kabupaten Cianjur Saepul Anwar mengatakan sedang memproses 18 laporan pelanggaran, termasuk pengaduan Djoni. Dari 18 laporan tersebut, ada tujuh PPK yang dilaporkan dengan tudingan menggelembungkan suara, yaitu PPK Cianjur, Karangtengah, Cilaku, Cidaun, Leles, Cijati, dan Kadupandak.
Saepul mengatakan sudah berkoordinasi dengan penyidik Posko Penegakan Hukum Terpadu. "Kami belum mengambil kesimpulan, tapi indikasi tersangka mengarah ke tujuh PPK dan KPU," katanya Jumat pekan lalu.
Calon anggota DPRD dari Partai NasDem, Jupiter, juga merasa jadi korban pemindahan suara antarcalon. Ia menduga perolehan suaranya dialihkan ke calon legislator NasDem lainnya, James Arifin Sianipar. Mereka bersaing di daerah pemilihan 10 (Jakarta Barat).
Jupiter menduga ada kecurangan di Kelurahan Jelambar. Kecurangan ditemukan saat penghitungan suara di Kecamatan Grogol Petamburan. Pada penghitungan di Jelambar, James memperoleh 97 suara. Suaranya naik menjadi 127 di kecamatan. "Sedangkan suara Partai NasDem dari 158 berkurang jadi 128. Nah, yang 30 suara masuk ke James," ujar Ketua DPD NasDem Jakarta Barat ini Rabu pekan lalu.
Dari hasil rekapitulasi suara KPU DKI Jakarta, NasDem memperoleh 22.423 suara atau setara dengan satu kursi di daerah pemilihan 10. Jupiter meraih 3.079 suara, sedangkan James, Wakil Ketua DPD NasDem Jakarta Barat, unggul dengan 3.461 suara. Jupiter telah melaporkan dugaan kecurangan itu ke KPU Jakarta Barat dan Panwaslu.
Ketua Panwaslu Jakarta Barat Abdul Roup mengatakan masalah itu sudah kelar. "Ada kesalahan dalam perhitungan suara." Menurut dia, ada kertas suara yang dicoblos dua kali, satu di gambar partai dan lainnya di gambar calon, dan 30 suara yang diduga hilang itu milik James.
Menurut Deputi Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz, perebutan suara antarcalon legislator terjadi karena perolehan suara setiap partai tak jauh berbeda. Apalagi sejumlah lembaga survei sudah memprediksi perolehan kursi beberapa hari setelah pemilu. "Kalau mau memperebutkan kursi orang lain atau mau curang, kemungkinannya ada."
JPPR menemukan kesalahan administrasi masif yang memunculkan kecurigaan adanya indikasi kesengajaan petugas penyelenggara pemilu memenangkan partai atau calon tertentu. Relawan JPPR melaporkan ada dugaan penggelembungan suara hasil rekapitulasi suara calon anggota DPR sekitar 61 ribu untuk partai tertentu di KPU Lumajang. Tapi, setelah hasil itu diprotes beberapa partai, jumlah suara dikembalikan menjadi seperti semula. "Itu menunjukkan di bawah sangat rentan terjadi permainan."
Anggota KPU Lumajang Divisi Pemungutan dan Penghitungan Suara, Nur Ismandiana, membantah ada penggelembungan 61 ribu suara. Ia mengakui kelebihan cuma satu suara. "Pengetikannya keliru," katanya Kamis malam pekan lalu.
Penyelenggara pemilu memang rentan jadi makelar suara. Calon legislator asal Nusa Tenggara Barat yang minta dipanggil Nabil mengaku pernah ditawari anggota KPU setempat untuk mengatur perolehan suaranya. "Dia bilang, menjelang pemilu, 'Kita ketemu'," ujarnya melalui sambungan telepon Kamis pekan lalu. Nabil pernah menanyakan kelanjutannya, tapi dia menghindar.
Noura Fadhillah, calon legislator Partai Kebangkitan Bangsa dari daerah pemilihan Nusa Tenggara Barat, mengatakan seorang petugas PPK menyatakan ia tak perlu blusukan. Ia cukup membayar Rp 1 juta per orang yang menggantikan tugasnya. Ia menolaknya. "Betapa murah, tapi sangat mencederai proses demokrasi."
Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay mengatakan penyelenggara pemilu di tingkat lokal mendapat tekanan dari pihak-pihak yang ingin menang. "Akhirnya, mereka masuk lingkaran itu. Ada juga yang memang tertarik oleh uang yang mungkin ditawarkan," ujarnya di gedung KPU, Jumat pekan lalu.
Sapto Yunus, Bunga Manggiasih, Syailendra, Tika Primandari, David Priyasidharta (Pasuruan), Deden Abdul Azis (Cianjur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo