Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Perang Brutal Calon Legislator

Calon legislator saling sikut, baik antarpartai maupun dalam satu partai, demi meraup suara. Aneka modus politik uang dilakukan. Penukaran dolar ke rupiah melonjak menjelang pemungutan suara.

5 Mei 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NURUL Qomaril Arifin menganggap persaingan antarcalon legislator di daerah pemilihannya menyerupai perang Suriah. Kandidat menebar uang untuk pemilih demi memperoleh suara. "Ini perang sadis, vulgar, dan brutal," kata calon legislator di daerah pemilihan Bekasi, Purwakarta, dan Karawang itu pekan lalu. "Lawan kami bukan dari partai lain, melainkan kawan sendiri."

Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar ini harus menghadapi nama populer separtainya, seperti Ade Komarudin. Ia berada di nomor urut tiga daftar calon partai Beringin. Di daerah itu ada pula Rieke Diah Pitaloka, calon inkumben dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, yang juga pernah menjadi calon Gubernur Jawa Barat.

Nurul tiga kali bertarung di daerah yang sama. Pada 2004, dengan sistem proporsional tertutup, ia gagal ke Senayan meski memperoleh suara terbanyak. Sebab, sementara dia dipacak di nomor urut tiga, Golkar hanya meraih dua kursi di daerah itu. Nurul lolos menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada Pemilihan Umum 2009. Ia mengklaim sejak itu rajin merawat konstituen, dengan harapan mereka kembali memilihnya tahun ini.

Kenyataannya, tebaran amplop berisi uang dari para pesaing mematahkan harapan Nurul. Ia menuduh rekan-rekan separtainya ikut memainkan politik uang. Indikasinya, calon lain mengajaknya melakukan hal serupa. Nurul mengaku menolak ajakan itu. Walhasil, kantong suaranya kempis direbut calon lain. "Mereka yang menebar amplop yang lolos," ujarnya.

Nurul mengaku menerima laporan dari tim pemenangannya bahwa kecurangan berjalan hingga tahap penghitungan suara. Menurut dia, suara yang diperolehnya dialihkan ke calon lain. Ia menuduh kawan separtainya main mata dengan petugas pemilihan.

Politikus PDI Perjuangan, Eva Kusuma Sundari, mengatakan mengalami hal yang sama. Perempuan 48 tahun asal Nganjuk, Jawa Timur, itu terjungkal setelah basis pemilihnya dihujani "serangan fajar" oleh calon lain. Upaya Eva, yang rajin menyambangi pemilihnya selama dua tahun terakhir, tak berbuah hasil. Semua dirontokkan pembagian uang oleh para pesaingnya. Pelakunya, menurut dia, calon yang sama sekali tidak pernah datang ke daerah pemilihan.

Eva bersaing di daerah pemilihan Kota Blitar, Kediri, dan Tulungagung di Jawa Timur bersama Wakil Ketua DPR Pramono Anung dan mantan Wali Kota Blitar Djarot Saiful Hidajat. Nama populer lain adalah Nova Riyanti Yusuf dan Venna Melinda dari Partai Demokrat, juga aktor Henky Kurniawan dari Partai Amanat Nasional. Eva menganggap pemilih ternyata memberikan suaranya kepada calon yang membagi-bagikan uang, bukan kepada kandidat yang menawarkan kontrak lima tahun seperti dia. Ia menyalahkan sistem proporsional terbuka sebagai penyebab maraknya politik uang. "Jika terus seperti ini, saya kapok maju lagi," katanya.

Menurut Deputi Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz, sistem proporsional terbuka memaksa persaingan personal calon, baik antarpartai maupun di dalam satu partai. Segala cara dihalalkan, termasuk menyogok penyelenggara pemilu.

Calon legislator kini lebih terang-terangan bermain politik uang. Masykurudin menuturkan, pada Pemilu 2009, para calon perlu pura-pura bersilaturahmi dulu ke kelompok pengajian atau komunitas tertentu untuk minta restu. Baru kemudian mereka memberikan barang kebutuhan pokok atau uang. "Sekarang tidak. Ada amplop dan duit yang langsung diberikan," ujarnya.

Politik uang terjadi di mana-mana. Masykurudin menyebutkan, dari pantauan 2.011 relawan di 1.005 tempat pemungutan suara yang tersebar di 25 provinsi, disimpulkan bahwa aneka modus politik uang terjadi pada sekitar 33 persen tempat. Calon membagikan uang Rp 10-200 ribu atau barang, seperti bahan kebutuhan pokok, peralatan ibadah, baju, air mineral, dan rokok. Ada juga pembagian genset, semen, dan batu bata.

Modus terbaru adalah pemberian kartu asuransi yang dikirimkan berbarengan dengan surat pemberitahuan memilih. Model ini ditemukan di Bekasi dan Banyuwangi. Mohammad Hanif, warga Bekasi, melaporkannya karena merasa namanya dicatut dalam kartu asuransi. Dalam kartu bergambar calon legislator tercantum, jika pemilih pemegang kartu meninggal, ada pemberian uang santunan Rp 1 juta lebih.

Djoni Rolindrawan, calon dari Partai Hanura di daerah pemilihan Kota Bogor dan Kabupaten Cianjur, merupakan kandidat yang menawarkan kartu asuransi MNF Life bagi pemilih. Ia menganggap tawaran itu sebagai "tanda ikatan hubungan". Djoni menyatakan program yang sudah digarap selama setengah tahun itu menyantuni pemilih yang meninggal hingga Rp 9 juta. Tapi, menurut dia, program ini tidak diminati masyarakat. "Mereka minta duit, yang tak mungkin saya kasih," katanya.

Cara lain yang dilakukan kandidat adalah membagikan voucher belanja yang bisa ditukarkan dengan uang. Ada juga voucher pulsa bergambar calon, seperti yang ditemukan di Cibinong, Jawa Barat. Di Petarukan, Pekalongan, tim sukses calon mendirikan warung soto, 10 meter dari tempat pemungutan suara. Warung ini menggratiskan sarapan bagi pemilih yang akan datang ke tempat pemungutan suara.

Peneliti Indonesia Corruption Watch, Abdullah Dahlan, menyebutkan temuan lembaganya di 15 provinsi menunjukkan pelanggaran dilakukan calon dan tim suksesnya di semua tingkatan. Paling banyak dilakukan calon anggota DPRD kabupaten dan kota. Sebab, di tingkat itu, persaingan antarkandidat sangat tinggi. "Pemberian uang dan barang menjadi modus yang paling sering dilakukan," ujarnya.

Calon dari Partai NasDem, Taufik Basari, menganggap politik uang terjadi karena ada kebutuhan dua pihak. Calon membutuhkan kepastian suara para pemilih, sementara masyarakat yang menerima uang ingin merasakan keuntungan langsung ketika memberikan suaranya. Demokrasi menjadi transaksional. "Masyarakat mengukur: apa manfaat materialnya kalau saya beri suara?" kata Taufik.

Hendrawan Supratikno dari PDI Perjuangan menceritakan, banyak istilah dilontarkan pemilih ketika ditemui calon. Misalnya, kode NPWP dipelesetkan menjadi nomer piro wani piro-calon nomor berapa dan berani bayar berapa. "Tinggal calon mau meladeni permintaan itu atau tidak," ujar calon inkumben yang bertarung di daerah pemilihan Pemalang, Pekalongan, dan Batang, Jawa Tengah, ini. "Kalau dituruti, bisa bangkrut. Permintaan ini seperti sumur tanpa dasar."

Hendrawan mengklaim tidak pernah meladeni permintaan uang dari pemilih. Karena itu, ia menyiapkan muka tebal alias tutup telinga dari aneka sindiran. Hendrawan menuturkan, suatu ketika, setelah dua jam berkampanye, ia mendengar sentilan warga: "Wah, Pak, itu namanya es teh gula batu: kebanyakan ngoceh, duite ora metu (banyak bicara, tak ada uang)."

Calon yang tidak mau memberikan duit dilabeli "caleg bratawali", yang programnya sepahit tanaman bratawali. Ada pula masyarakat yang terang-terangan menodong: "Sudahlah, Pak, yang penting waspada: walau sedikit tetapi ada."

Persaingan tinggi membuat segala kegiatan bisa jadi duit. Urusan tempel-menempel poster, stiker, dan baliho menyediakan peluang usaha. Agar atribut terjaga dan tidak dicopot rival politik, para calon membayar jasa pengamanan. Ongkosnya sekitar Rp 200 ribu per bulan. Penduduk juga membolehkan rumahnya ditempeli stiker calon dengan imbalan uang.

Di tempat lain, ada jasa "pengerahan pemilih". Sri Hardjono, calon dari PDI Perjuangan di Karanganyar, menuturkan, banyak broker dan koordinator yang memegang daftar nama ratusan pemilih. Mereka menawarkan pemberian suara dengan tarif Rp 30 ribu per pemilih untuk calon anggota DPR, Rp 40 ribu per nama buat DPRD provinsi, dan paling tinggi untuk DPRD kabupaten atau kota, yang mencapai Rp 50-100 ribu.

Tak jarang broker berlaku curang. Data pemilih yang dipegang dijual ke banyak calon. Mereka mengklaim pemilih itu bisa "dikondisikan". Sri Hardjono mengaku ditawari jasa ini. "Setelah dicek, ternyata nama-nama pemilih itu kader saya. Kurang ajar," katanya.

Sri mengatakan, calon legislator yang menggunakan jasa broker umumnya tak pernah datang ke daerah. Hanya anggota tim suksesnya yang datang dan mengontak para penjaja suara. Broker sekaligus berfungsi sebagai koordinator lapangan pembagian amplop untuk pemilih. Wilayah kerja mereka sering bersinggungan dengan makelar lain. Walhasil, penduduk bisa lebih dari sekali menerima pembagian sogokan. Di Desa Toh Kuning, Karangpandan, Kabupaten Karanganyar, satu rumah penduduk menerima empat-lima amplop dari calon yang berbeda.

Tidak semua jasa makelar menghasilkan suara pada hari pencoblosan. Sebagian calon memang mendapat suara signifikan. "Tapi tak sedikit calon yang duitnya dimakan makelar. Begitu hari pencoblosan, makelar itu lari," ujar Sri Hardjono.

Peneliti ICW, Donal Fariz, menyebutkan sejumlah calon menggunakan model multilevel marketing untuk mengikat suara. Caranya, kandidat membuat jejaring koordinator yang tiap orang bisa menjanjikan, katakanlah, 10 suara. Artinya, jika butuh 500 suara, hanya butuh 50 orang dengan pengeluaran Rp 500 juta. "Caleg tak menyebar uang ke pemilih, cukup ke tim," tuturnya.

Modus ini ditemukan ICW di Kampar, Riau. Para koordinator meneken surat perjanjian bermeterai. Salah satu klausulnya, jasa dibayarkan pada akhir pemilu jika sukses memberikan suara sesuai dengan kontrak untuk kandidat. Suara pun bisa dicek oleh calon melalui tempat pemungutan suara. "Kalau tidak ada suara, ya, tidak dibayar," ujarnya.

Dengan perputaran uang politik yang begitu tinggi, kebutuhan dana kontan pada masa pemilu sangat tinggi. Kantor Bank Indonesia di banyak daerah terpaksa melayani penukaran receh dalam jumlah besar-besaran menjelang pemungutan suara. Penukaran mata uang asing ke rupiah juga meningkat. Seorang konsultan politik menceritakan, sulit menukar dolar dalam jumlah besar pada hari-hari menjelang pencoblosan.

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara membenarkan kabar bahwa ada peningkatan transaksi selama pemilu. Dalam catatan Bank Indonesia, penukaran dolar Amerika Serikat ke rupiah pada Maret-April lalu meningkat menjadi US$ 1,5 miliar per hari.

Agustina Widiarsi, Nur Alfiyah, Ahmad Rafiq, Anang Zakaria, Anwar Siswadi, Sidik Permana, Pribadi Wicaksono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus