MESKI ternyata kemampuan penyediaan tenaga listrik buat DKI
Jakarta (dan Jawa Barat) sebenarnya 2 sampai 3 kali lipat lebih
dari kebutuhan, toh banyak permintaan aliran listrik warga kota
ini tak gampang dipenuhi. Karena menurut orang yang berwenang di
PLN. kemampuan pendistribusiannya belum memadai. Lagi pula
tampaknya Pemda DKI Jakarta lebih mementingkan menghias dan
mengkemilaukan kawasan tertentu ibukota, ketimbang memenuhi
hajat ribuan warganya - terutama di kampung-kampung - yang antri
memimpikan cahaya listrik (TEMPO, 2 April 1977).
Syahdan, jalan pintas pun apa boleh buat ditempuh warga
metropolitan ini agar bisa hidup berlistrik Hingga tentu saja
mereka akan menyambut gembira misalnya orang semacam Ibrahim
Yusuf di Jalan Mardani Raya, Kelurahan Cempaka Putih Barat,
Jakarta Pusat atau SD Mariman di Kelurahan Sunter, Ancol
Selatan, yang mengusahakan pembangkit tenaga diesel. Dengan
menggunakan generator 12 KPH, Ibrahim Yusuf, 48 tahun, mampu
merangkul 50 konsumen dari RT 010 dan 011, RW 05 Dengan tarif Rp
15 per watt, para penghajat aliran listrik itu saling berebut
mendapatkan bagian antara 50 sampai 250 watt.
Generator buatan Rusia tahun 1962 itu sebenarnya semula
merupakan perlengkapan usaha bengkel dan karoseri CV Pantai Mas
milik Ibrahim. Karena merasa ada kelebihan - dan keperluan
bengkel cuma pada siang hari - lalu ia berniat mewakafkannya
buat penerangan langgar dan mesjid di kampungnya. Tapi justru
warga sekampungnya ramai-ramai menghajatkannya pula. Ini terjadi
pertengahan 1971. Penghajat-penghajat ini kebanyakan sudah
mengajukan permintaan ke PLN lewat satu instalatir di
Rawamangun. Tapi meski intalasinya telah dipasang dan uang Rp 90
ribu sudah dilunasi, toh sang arus listrik tak kunjung tiba. Di
antara mereka terdapat seorang anggota DPRD DKI Jakarta. Yang
saking kesalnya, terpaksa menerangi rumahnya dengan generator
mini Honda. Maklum ia tentunya orang mampu.
Pembinaan Wilayah
Tapi setelah cukup lama berjalan, beberapa bulan di tahun 1975,
sang generator milik Ibrahim harus distop atas perintah lurah
setempat. "Tak ada izin yang berwajib", tutur Ali Syafii, Ketua
RW 05 mengutip alasan sang lurah: Tapi atas desakan penduduk
yang sudah menikmati manfaat generator Ibrahim itu, akhirnya
lurah mengalah. "Karena buat kepentingan masyarakat dan tempat
ibadah", kata sang lurah memberi alasan.
Akan halnya usaha listrik diesel SD Mariman tampaknya bisa
dikaitkan dengan upaya "pembinaan wilayah". Hingga selain
kebutuhan warga terpenuhi, kehadirannya "punya alasan hukum"
meski tak ada izin. Sebab SD Mariman sendiri -- ia perwira AL
yang memasuki masa menjelang bebas tugas - adalah Ketua RW 005
di Kelurahan Sunter. Atas kesadarannya bersama 700 kepala
keluarga di wilayahnya, "membina wilayah dengan mengusahakan
kebutuhan warga". Misalnya menyediakan terpal dan korsi buat
keperluan bersama. Sampai akhirnya tiha pada kebutuhan
penerangan listrik.
Dengan sebuah generator berharga Rp 600 ribu yang dibeli secara
gotong royong, 35 konsumen Kelurahan Sunter mendapat guyuran
listrik antara 100 -200 watt. Mereka membayar uang muka Rp 15
ribu tambah biaya pembayaran Rp 1500 sebulan bagi pemakai 100
watt dan Rp 27.500 uang muka dan pembayaran Rp 2750 sebulan bagi
yang 200 watt. Mesin pembangkit 7,5 KW itu beroperasi antara
5,30 sore sampai 12 malam. Tapi berbeda dengan usaha Ibrahim,
di sini setiap rumah memakai sekring otomat. Di samping juga
diawasi ahli (oknum) dari PLN.
Semua usaha swasta seperti itu bagi ir. Kamarga (TEMPO, 2
April) "bisa ditolerir, sepanjang memang belum terjangkau PLN".
Bagi PLN Distribusi IV, hanya Renerator swasta yang berkekuatan
25 KVA (kilo volt amperes) saja yang harus ada izin. Walaupun
sebegitu jauh terasa bahwa instansi ini berlaku pura-pura tak
tahu terhadap usaha perlistrikan swasta itu. Toh, bila bersikap
keras pun apa daya PLN?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini