Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Swasta Berlistrik

Penduduk di kelurahan Cempaka Putih Barat dan kelurahan Sunter, Jakarta, terpaksa memanfaatkan listrik tenaga diesel milik swasta. PLN pura-pura tak tahu.

16 April 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MESKI ternyata kemampuan penyediaan tenaga listrik buat DKI Jakarta (dan Jawa Barat) sebenarnya 2 sampai 3 kali lipat lebih dari kebutuhan, toh banyak permintaan aliran listrik warga kota ini tak gampang dipenuhi. Karena menurut orang yang berwenang di PLN. kemampuan pendistribusiannya belum memadai. Lagi pula tampaknya Pemda DKI Jakarta lebih mementingkan menghias dan mengkemilaukan kawasan tertentu ibukota, ketimbang memenuhi hajat ribuan warganya - terutama di kampung-kampung - yang antri memimpikan cahaya listrik (TEMPO, 2 April 1977). Syahdan, jalan pintas pun apa boleh buat ditempuh warga metropolitan ini agar bisa hidup berlistrik Hingga tentu saja mereka akan menyambut gembira misalnya orang semacam Ibrahim Yusuf di Jalan Mardani Raya, Kelurahan Cempaka Putih Barat, Jakarta Pusat atau SD Mariman di Kelurahan Sunter, Ancol Selatan, yang mengusahakan pembangkit tenaga diesel. Dengan menggunakan generator 12 KPH, Ibrahim Yusuf, 48 tahun, mampu merangkul 50 konsumen dari RT 010 dan 011, RW 05 Dengan tarif Rp 15 per watt, para penghajat aliran listrik itu saling berebut mendapatkan bagian antara 50 sampai 250 watt. Generator buatan Rusia tahun 1962 itu sebenarnya semula merupakan perlengkapan usaha bengkel dan karoseri CV Pantai Mas milik Ibrahim. Karena merasa ada kelebihan - dan keperluan bengkel cuma pada siang hari - lalu ia berniat mewakafkannya buat penerangan langgar dan mesjid di kampungnya. Tapi justru warga sekampungnya ramai-ramai menghajatkannya pula. Ini terjadi pertengahan 1971. Penghajat-penghajat ini kebanyakan sudah mengajukan permintaan ke PLN lewat satu instalatir di Rawamangun. Tapi meski intalasinya telah dipasang dan uang Rp 90 ribu sudah dilunasi, toh sang arus listrik tak kunjung tiba. Di antara mereka terdapat seorang anggota DPRD DKI Jakarta. Yang saking kesalnya, terpaksa menerangi rumahnya dengan generator mini Honda. Maklum ia tentunya orang mampu. Pembinaan Wilayah Tapi setelah cukup lama berjalan, beberapa bulan di tahun 1975, sang generator milik Ibrahim harus distop atas perintah lurah setempat. "Tak ada izin yang berwajib", tutur Ali Syafii, Ketua RW 05 mengutip alasan sang lurah: Tapi atas desakan penduduk yang sudah menikmati manfaat generator Ibrahim itu, akhirnya lurah mengalah. "Karena buat kepentingan masyarakat dan tempat ibadah", kata sang lurah memberi alasan. Akan halnya usaha listrik diesel SD Mariman tampaknya bisa dikaitkan dengan upaya "pembinaan wilayah". Hingga selain kebutuhan warga terpenuhi, kehadirannya "punya alasan hukum" meski tak ada izin. Sebab SD Mariman sendiri -- ia perwira AL yang memasuki masa menjelang bebas tugas - adalah Ketua RW 005 di Kelurahan Sunter. Atas kesadarannya bersama 700 kepala keluarga di wilayahnya, "membina wilayah dengan mengusahakan kebutuhan warga". Misalnya menyediakan terpal dan korsi buat keperluan bersama. Sampai akhirnya tiha pada kebutuhan penerangan listrik. Dengan sebuah generator berharga Rp 600 ribu yang dibeli secara gotong royong, 35 konsumen Kelurahan Sunter mendapat guyuran listrik antara 100 -200 watt. Mereka membayar uang muka Rp 15 ribu tambah biaya pembayaran Rp 1500 sebulan bagi pemakai 100 watt dan Rp 27.500 uang muka dan pembayaran Rp 2750 sebulan bagi yang 200 watt. Mesin pembangkit 7,5 KW itu beroperasi antara 5,30 sore sampai 12 malam. Tapi berbeda dengan usaha Ibrahim, di sini setiap rumah memakai sekring otomat. Di samping juga diawasi ahli (oknum) dari PLN. Semua usaha swasta seperti itu bagi ir. Kamarga (TEMPO, 2 April) "bisa ditolerir, sepanjang memang belum terjangkau PLN". Bagi PLN Distribusi IV, hanya Renerator swasta yang berkekuatan 25 KVA (kilo volt amperes) saja yang harus ada izin. Walaupun sebegitu jauh terasa bahwa instansi ini berlaku pura-pura tak tahu terhadap usaha perlistrikan swasta itu. Toh, bila bersikap keras pun apa daya PLN?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus