MATAHARI sedang asyik membakar ubun-ubun. Dua sosok lelaki tiba-tiba mengendap-endap menelusup masuk ke sebuah toko dari pintu belakang. Sepintas tak ada yang istimewa dari bangunan toko di sudut Jalan Panglima Polim, Banda Aceh ini. Begitu pun saat mereka keluar dari sana. ”Biasalah, pesanan khusus,” kata salah satu dari mereka. Apa yang mereka bawa? Ganja? Bukan. Lima bungkusan di tangan mereka memang terkait dengan urusan perut: nasi dan lauk-pauk.
Di Serambi Mekah, menenteng nasi bungkus di siang hari bolong pada saat kebanyakan orang menahan lapar dan haus bisa-bisa menjadi masalah. Karena itu, transaksi harus dilakukan dengan hati-hati. Si empunya warung nasi pun tak mau gegabah melayani sembarang orang, apalagi yang tidak dikenal.
Begitulah keadaan Aceh sejak dulu. Bagi mereka, bulan puasa teramat sakral. Bukan mustahil di bulan suci ini dipastikan tak seorang pun kedapatan seenaknya menyedot asap rokok atau makan di depan khalayak ramai. Maka tempat-tempat yang jauh dari keramaian menjadi sasaran orang yang tidak puasa untuk melepaskan hajatnya.
Tak hanya itu. Selama Ramadan, para pemilik warung, toko, kantor swasta, salon, dan hotel memang diminta menciptakan suasana yang teduh. Warung baru boleh buka pada pukul empat sore. Sedangkan pemilik salon khusus untuk wanita dilarang menerima tamu laki-laki. Demikian sebaliknya. Tak boleh dicampur-campur.
Kiamatkah kalau sampai melanggar? Dihukum cambukkah sang pendosa? Mestinya begitu. Jika syariat Islam konsekuen diterapkan, lazimnya penduduk yang ketahuan makan dan minum seenaknya di depan publik selama bulan puasa niscaya akan dilecut tubuhnya dengan cambuk khusus yang siap bikin memar punggung dan pinggul. Tapi di Aceh, hingga menjelang akhir Ramadan, hukuman itu tak pernah terjadi.
Agak aneh memang. Sebab, daerah ini sudah menerapkan hukum Islam atau syariat Islam sejak Desember dua tahun silam. Aceh boleh dibilang merupakan kawasan induk dari daerah lain yang belakangan ikut-ikutan menerapkan hukum yang sama. Penerapan aturan khusus ini diputuskan semasa Presiden Abdurrahman Wahid, berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh. Pemerintah pusat memberikan kado istimewa ini untuk mencegah rakyat Aceh pisah ranjang dari Republik Indonesia.
Banyak “gula-gula” yang diberikan pusat. Masyarakat Aceh bebas mengatur dirinya sendiri dalam bidang adat, pendidikan, dan agama. Juli tahun silam, Undang-Undang Nanggroe Aceh Darussalam disahkan di DPR. Hal yang kemudian diatur dalam undang-undang ini adalah pembentukan pengadilan berdasarkan syariat Islam.
Pemerintah daerah lalu membentenginya dengan lima peraturan daerah. Isinya antara lain larangan terhadap minuman beralkohol, penerapan syariat Islam di bidang pendidikan, dan penyelenggaraan kehidupan adat. Bagi mereka yang melanggar, hukumannya bikin jeri: disel paling lama tiga bulan atau kena denda Rp 2 juta. Siapa yang mengawasinya? Dinas Syariat Islam.
Tapi jangan berharap sanksi itu segera berlaku. Hasil cespleng dari penerapan syariat ini cuma nemplok di papan-papan nama toko dan kantor, yang kini dilengkapi tulisan huruf Arab Melayu. Itu bisa juga dilihat dari munculnya banyak perempuan bertutup jilbab ketika mereka berada di luar rumah. Soal hukuman bagi kaum muslim yang tak melaksanakan ajaran, ya itu tadi, karena belum ada pengawas, vonis belum juga jatuh.
Penegakan syariat Islam akhirnya belum utuh di Aceh. Ini akibat belum adanya aturan hukum yang baku tentang penerapannya. Tak jelas apa hukuman yang akan dijatuhkan bagi umat Islam yang makan di depan umum pada bulan puasa. ”Memang katanya akan dikenakan hukuman cambuk, tapi buktinya hingga sekarang belum berjalan,” kata Marwan, salah seorang pengurus remaja masjid di Banda Aceh.
Kenapa bisa begitu? Pejabat tinggi di daerah ini cuma bisa menghela napas panjang. Alasan yang dikemukakan terdengar klise: semuanya perlu dilakukan secara bertahap. ”Sekarang kan kita masih pada tahap penyadaran masyarakat dan sosialiasi. Nabi saja butuh lebih sepuluh tahun untuk bisa menyadarkan orang,” kata Azwar Abu Bakar, Wakil Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam.
Tapi aturan mainnya terus digodok. Menurut Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh, Teungku Muslim Ibrahim, peraturan daerah atau qanun tentang syariat Islam sebenarnya sudah siap diberlakukan. Hanya, kata dia, aturan itu belum bisa diterapkan tahun ini karena perangkat hukumnya belum selesai, termasuk soal Mahkamah Syariah. Lembaga ini akan berisi sekelompok ulama yang akan memantau setiap pelanggaran. ”Mereka akan menegur dan kemudian melaporkan kepada polisi syariat apabila ada pelanggaran,” ujarnya.
Mahkamah Syariah, polisi syariat, dan banyak perangkat hukum bernapas agama ini tak bisa dijalankan tanpa seizin pusat. Beberapa waktu lalu, Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra pernah berujar bahwa Mahkamah Syariah akan rampung pada Agustus lalu. Belakangan, itu diundurkan menjadi 17 Ramadan lalu, tapi lagi-lagi rencana tersebut tak berwujud. ”Penyebabnya, ada beberapa hal yang menurut kita sudah sesuai tapi ternyata tak disetujui Jakarta,” kata Teungku Muslim.
Kelambanan inilah yang memicu rasa geram. Menurut mereka, waktu dua tahun sudah lebih dari cukup untuk mempersiapkan perangkat hukum. ”Seharusnya saat ini kita tidak lagi berkutat soal sosialiasi. Bukankah dulu kami sendiri yang meminta? Kok, sekarang dikesankan tidak siap?” kata Ferdi Sijabat, pengurus Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Cabang Aceh. Tanpa perangkat hukum, penerapan syariat Islam pun macet. ”Ibaratnya seperti seekor macan yang tak punya gigi,” katanya.
Ompongnya penegakan syariat tak hanya terjadi di Aceh. Sejumlah daerah yang mengimpikan kawasannya seperti Serambi Mekah juga mengalami beragam hambatan. Di Kabupaten Pamekasan, Madura, misalnya. Meski sudah sebulan silam syariat Islam diterapkan, masyarakat di sana menganggap sepi. Pemerintah daerah, sang penetap keputusan, pun tak kuasa berbuat banyak. Peraturan daerah yang dijadikan tameng ternyata cuma menjadi alat basa-basi dari payung hukum nasional yang sudah berlaku. Jangan bayangkan prakteknya seperti di Iran, misalnya. Hampir di setiap sudut kota di Iran dipasang polisi syariat yang siap menjerat pelaku maksiat.
Tak bisa dimungkiri bahwa dorongan munculnya euforia syariat Islam ini memang tak bisa lepas dari peristiwa yang terjadi dalam Sidang Tahunan 2002 lalu. Saat itu, beberapa partai menginginkan agar Piagam Jakarta dimasukkan dalam Pasal 29 ayat 1 UUD 1945. Alasannya simpel saja. Dengan masuknya tujuh kata sakti, yakni ”dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluknya,” mereka berharap syariat alias hukum Islam bisa diterapkan di negeri ini.
Usaha itu gagal masuk dalam proses amendemen Undang-Undang Dasar 1945. Tapi rupanya desakan di lapangan begitu kuat. Di daerah tertentu, muncul kelompok-kelompok massa yang menginginkan penegakan syariat Islam. Sulawesi Selatanlah yang paling gigih. Muncul Komite Penegakan Syariat Islam, yang merupakan motor penegakan hukum Islam di sana. Dibentuk Laskar Jundullah, yang pemimpinnya, Agus Dwikarna, kini meringkuk di bui Filipina karena didakwa membawa bahan peledak dalam kopernya.
Desakan itu ternyata membuahkan hasil, tak hanya di Sulawesi Selatan, tapi juga menjamur di beberapa daerah. Maka muncullah syariat Islam di Pamekasan, Madura, lalu juga di Sulawesi Selatan di Kabupaten Maros, Sinjai, dan Gowa. Sedangkan di Jawa Barat, ramai-ramai bikin stempel syariat menclok di Cianjur, Indramayu, dan Garut. Dasar hukum yang dipakai adalah peraturan daerah, yang kini tengah digodok di DPRD dan disahkan bupati masing-masing.
Tapi jangan bayangkan poin-poin syariat yang terlihat bentuknya seragam. Ada yang “enteng” seperti di Indramayu: setiap hari Jumat, warganya, juga para pegawai instansi pemerintah, diwajibkan berbaju koko dan memakai busana muslimah. Di beberapa instansi pemerintah, mereka diharuskan mengaji Al-Quran setengah jam sebelum bekerja. Tapi ada juga yang “berat” seperti yang terjadi di Gowa dan Jeneponto, Sulawesi Selatan. Mereka menerapkan hukum potong tangan (qishas) pada pelaku kejahatan di kawasan tersebut.
Lain lagi yang terjadi di Garut. Di sini, syariat lebih ditujukan untuk memaksimalkan kekuatan ekonomi. ”Sektor ini sebagai pemicunya. Setelah dihitung-hitung, bisa miliaran, menyamai pendapatan asli daerah,” kata Mahyar Suara, Wakil Ketua DPRD Garut. Maksudnya, di kota dodol itu tengah digodok peraturan daerah (perda) tentang pengumpulan zakat, infak, dan sedekah. Dari sana akan dimunculkan perda yang berdasarkan syariat Islam. ”Sehabis Idul Fitri inilah perda itu jadi,” katanya.
Tak sedikit ulama yang berkeberatan. Tokoh agama pemimpin Pesantren Luhur Al-Wasilah, Cipanas, Garut, yang merangkap sebagai Rois Syuriah Nahdlatul Ulama Cabang Garut, K.H. Thonthowi Musaddad, M.A., termasuk yang kurang setuju dengan penerapan syariat Islam itu. Argumentasinya sederhana. Jika masyarakat belum siap, syariat tidak serta-merta harus dipaksakan. ”Tuhan melarang untuk memaksa orang lain,” ujarnya. Ia mencium isu syariat ini dipakai partai politik sebagai dagangan kampanye pemilu mendatang.
Itulah susahnya jika negara dan pemerintah ikut sibuk mengurus “hukum Tuhan”. Apalagi kalau ternyata beraroma politis.
Irfan Budiman, Bobby Gunawan (Garut), Yuswardi Suud (Banda Aceh)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini