Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Syariat, Jilbab, dan Tunasusila

Kabupaten Pamekasan menerapkan syariat Islam sejak awal November 2002. Hasilnya?

1 Desember 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AZAN berkumandang dari musala pendopo Kabupaten Pamekasan, Madura. Panggilan salat zuhur itu, suatu hari pekan yang lalu, seakan menembus gendang pendengar. Tapi tak ada langkah bergegas para pegawai kantor pemerintah itu menuju musala. Sejumlah pegawai tetap saja santai. Sebagian tetap berkutat dengan pekerjaannya. Beberapa tampak asyik duduk mencangkung menikmati tontonan sebuah stasiun televisi swasta. Musala hanya terisi dua baris. Tak ada yang berubah di Pamekasan, walaupun syariat Islam sudah diterapkan sejak sebulan lalu. Adalah Bupati Pamekasan, Dwiatmo Hadiyanto, yang mendeklarasikannya dari Masjid Agung Asy-Syuhada ketika itu. Dalam surat edaran ke alamat kantor pemerintah dan lembaga pendidikan, Bupati mengimbau agar para pegawai mengenakan busana muslim. Mereka juga disuruh memberi waktu jeda untuk salat berjemaah, mengadakan pengajian rutin sebulan sekali, dan tambahan jam pelajaran agama dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Manjurkah edaran Bupati? Belum. Di luar kantor pemerintah kabupaten, penggunaan busana muslim masih menjadi barang langka. Coba tengok saja kantor perusahaan daerah air minum setempat. Beberapa pegawai perempuan tampak mengenakan seragam dinas tanpa penutup kepala. Dandanan mereka kontras dengan isi spanduk dari Lembaga Pengkajian dan Penerapan Syariat Islam yang tersebar di berbagai sudut kota. Di antaranya berbunyi: ”Aurat harus ditutupi, bukan dipertontonkan.” Anda boleh berdebat tentang batas “aurat”, tapi di Pamekasan bukan itu saja yang menunjukkan bahwa syariat Islam belum tegak. Lihatlah warung-warung yang pada bulan Puasa ini buka di siang bolong. Di sana sejumlah lelaki dengan lahapnya menikmati hidangan di piring mereka. Di luar warung, pada malam hari, dengan mudah masih saja dijumpai para penjaja seks. Para wanita tunasusila itu beroperasi di pinggiran kota seperti di daerah Larangan, sekitar 15 kilometer ke arah timur kota. Ada juga yang mejeng di pesisir di Kecamatan Tamberu, 30 kilometer ke arah utara dari Pamekasan. Di pusat kota pun dengan mudah mereka juga bisa dijumpai, misalnya di Monumen Taman Arek Lancong. Sudah jamak jika di sana terlihat perempuan berdandan menor, dengan bedak “sekilo” di wajah dan gincu tebal. Jika ada mobil lewat, mereka berlomba memamerkan senyum dan kegenitannya. Pemerintah Pamekasan bukan berpangku tangan. Wakil Kepala Satuan Reserse Kepolisian Pamekasan, Inspektur Satu Osa Maliki, mengatakan telah berulang kali menangkap semua pekerja seks komersial dan mengirimnya ke tempat rehabilitasi di Situbondo. Persoalannya, selalu saja ada pekerja seks itu yang kembali ke jalanan. Mengapa syariat Islam belum mampu mengatasi “penyakit masyarakat” ini? Dalam perhitungan K.H. Abdul Hamid Mannan Munif, pengasuh Pesantren Nasyrul Ulum, masyarakat Pulau Garam masih secara bertahap melaksanakannya. Selain itu, menurut Ahmad Bakir, seorang warga Desa Pamoroh, Kecamatan Kadur, pemberlakuan syariat itu belum banyak diketahui rakyat. Ia, yang teguh memeluk Islam ini, mengaku belum tahu bahwa Bupati telah memberlakukan syariat itu sejak awal November lalu. Yang sudah “populer” baru aturan tentang minuman keras yang dikeluarkan setahun yang lalu. Peraturan Daerah Pamekasan Nomor 18 telah mengharamkan peredaran minuman beralkohol, kecuali untuk alasan medis, di Pamekasan. Semua rakyat sudah mafhum akan aturan ini. Buktinya, Pasar Barat, Pasar Lama, Duko, dan Sedandang, yang dulu terkenal sebagai sentra penjualan minuman keras di Pamekasan, kini sepi dari peredaran “air api” itu. Sang penjual tentu ngeri untuk nekat menjual atau malah menenggaknya. Si pelanggar bisa dikenai ancaman hukuman maksimal enam bulan penjara dan denda Rp 6 juta. Lo, bukankah ini berarti Pamekasan punya hukum sendiri? Bupati Dwiatmo mengaku belum menerima teguran apa pun dari Menteri Dalam Negeri. Ia yakin tetap berada dalam koridor kebijakan hukum pemerintah pusat. ”Saya tidak mengatur soal hukum kecuali etika dan moral yang sesuai dengan syariat Islam,” katanya. Seharusnya Pak Bupati sadar bahwa hukum buatan manusia sebaiknya hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia dan bukan mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya. Widjajanto, Adi Mawardi (Tempo News Room)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus