Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Puasa Senin-Kamis di Indramayu

Indramayu menganggap syariat Islam adalah obat yang seketika bekerja untuk membasmi penyakit masyarakat.

1 Desember 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH sebulan ini, setiap hari Jumat, Nuraini berangkat ke kantor memakai jilbab. Gadis yang belum genap 25 tahun ini memang lebih repot berdandan, tapi ia tidak merasa terpaksa memakai busana “muslimah” itu. Terpaksa atau tidak, ribuan pegawai negeri perempuan di Kabupaten Indramayu memang diharuskan memakai jilbab setiap Jumat. Tepatnya sejak Bupati Indramayu, Yance Irsyam, dalam sebuah rapat paripurna di DPR Daerah Indramayu, bertepatan dengan ulang tahun ke-475 kota mangga itu, sebulan yang lalu, mengumumkan berlakunya sebagian syariat Islam. Sementara yang perempuan diwajibkan berjilbab, para lelaki di pemerintahan daerah dan badan usaha milik daerah di Indramayu diharuskan memakai baju koko. Selain itu, kegiatan kantor harus disetop 20 menit di saat zuhur dan asar untuk memberikan waktu bagi pegawai melaksanakan salat. Masih ada lagi: para pegawai wajib membaca kitab suci Al-Quran sebelum memulai kerja. Dan yang terakhir ini sifatnya imbauan, bukan keharusan: puasa setiap Senin dan Kamis. Cukup “berat” memang, tapi semua anjuran dan keharusan ini sudah didiskusikan Bupati dengan tokoh-tokoh agama di daerah paling utara Jawa Barat itu. ”Benar. Kami memang banyak diajak ngobrol oleh pimpinan daerah,” kata Kiai Salim Bajri, salah seorang tokoh agama. Apa alasan Bupati mengatur hubungan manusia dengan Tuhan di Indramayu ini? Semua bermula dari kekhawatiran akan citra Indramayu yang memburuk. Menurut catatan terakhir Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, saat ini penduduk miskin berjumlah 40 persen dari total 1,6 juta jiwa. Angka itu merupakan yang terburuk dalam 30 tahun terakhir. Indramayu juga identik dengan kebodohan. Kabupaten ini menduduki peringkat terendah dalam kualitas pendidikan di Jawa Barat. Akibatnya, angka kriminalitas melonjak. ”Setiap kali orang membicarakan daerah ini, yang muncul justru gambaran pekerja seks komersial dan tawurannya saja,” kata Kiai Salim. Syariat Islam diharapkan mampu mengerem kebejatan ini. ”Sebagai langkah awal, kami coba dengan melakukan hal-hal yang diserukan Pak Bupati tersebut,” kata Salim. Bupati Yance sendiri menilai kebijakan yang dirilisnya tepat. ”Itu langkah tersendiri yang diperlukan untuk membangun masyarakat yang religius,” katanya beberapa waktu lalu. Rupanya memang tak mudah menerapkan hukum baru. Masyarakat pun tidak tahu benar aturan ini lantaran sosialisasi yang minim. Totok Sukarno, pengusaha penginapan di pusat kota Indramayu, misalnya, tampak terheran-heran saat mendengar kotanya mencanangkan penerapan syariat Islam sejak sebulan berselang. ”Oh, aturan itu yang membuat pegawai pemerintah daerah sekarang memakai jilbab?” tanyanya dengan nada kaget. Selama ini, Totok dikenal puritan soal seks di hotel. Ia menolak pasangan bukan suami-istri menginap di penginapannya. Meskipun begitu, Totok kurang setuju dengan cara yang dilakukan pemimpin daerahnya. Menurut dia, sebaiknya ada prakondisi lebih dulu sebelum kebijakan tersebut diundangkan. ”Jadi, bukan sekadar declare, lalu selesai,” katanya. Bagi Totok—yang lama aktif di Masjid Universitas Padjadjaran, Bandung—pemerintah baru bisa menetapkan syariat jika memang ada kesepakatan di antara masyarakat untuk itu—semacam prakondisi. Jika kondisi awal ini tidak dipenuhi, Totok menganalisis semua langkah Bupati akan berakhir pada jargon semata. Itulah yang dilihatnya di Indramayu sejauh ini. ”Semua saya lihat masih sama saja,” kata Totok. Indramayu, seperti beberapa daerah yang lain, mungkin bermaksud mulia: mencanangkan syariat Islam untuk mengobati “penyakit masyarakat” seperti kriminalitas dan pelacuran. Tapi Pak Bupati lupa bahwa semua itu tidak bisa dilaksanakan tanpa melakukan satu hal yang paling penting menurut Islam: memerangi kebodohan dan kemiskinan yang menyebabkan penyakit rakyat itu. Dan tugas ini bisa mulai dilakukan Indramayu sekarang—tanpa perlu mengharuskan jilbab dan baju koko. TH, Darmawan Sepriyossa, B. Gunawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus