Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tahun 1980-an, Vulgar Seratus Persen

Pada mulanya novel-novel Enny Arrow berusaha mengarah ke novel pop biasa. Tapi pada 1980-an menjadi cerita porno betulan.

15 Oktober 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tahun 1980-an, Vulgar Seratus Persen

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAMPIR satu tahun Yudi Bachrioktora meneliti novel Enny Arrow. Selama itu pula dia rutin membaca puluhan stensilan mesum yang populer pada 1980-1990-an itu. Beberapa di antaranya berjudul Selembut Sutra, Hari Kelabu, Sepanas Bara, Di Celah Dinding Kontrakan, dan Pergaulan Bebas. "Ini penelitian tekstual. Membaca sekaligus memaknai teks dalam novel tersebut," kata pengajar di Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Indonesia itu, Selasa pekan lalu.

Yudi merampungkan penelitiannya pada pertengahan 2013. Berjudul "Imagined Sex: youth and porn stories in the 1980s and 1990s Indonesia", hasil penelitian itu dia presentasikan dalam Inter-Asia Cultural Studies Society Conference di National University of Singapore pada 3-5 Juli 2013. Salah satu temuannya menyimpulkan novel Enny Arrow bisa masuk kategori karya sastra erotis. "Beberapa cetakan awal novel itu masih memiliki jalinan cerita," ujar Yudi. "Bukan semata-mata bertutur tentang persetubuhan."

Tulisan dalam sastra erotis biasanya memang memiliki alur yang jelas. Meski tujuan utamanya membangkitkan gairah seksual pembaca, karya sastra erotis tak melakukannya secara vulgar, melainkan dengan diksi dan bahasa yang memancing imajinasi. Karena itu, sastra erotis cenderung tak eksplisit mengumbar adegan seks. Salah satu pelopor sastra erotis adalah penulis Italia, Giovanni Boccaccio, yang pada 1353 menerbitkan The Decameron. Novel itu berkisah tentang cinta, nafsu, rayuan, dan berbagai romantika kehidupan. Jauh sebelumnya ada Kama Sutra karya Vatsyayana, sebuah literatur India berbahasa Sanskerta tentang perilaku seks manusia.

Belakangan, ada Fanny Hill: Memoirs of a Woman of Pleasure karya novelis Inggris, John Cleland, yang terbit pada 1749; Tropic of Cancer karya penulis Prancis, Henry Miller, pada 1934; dan Lolita karya novelis Amerika-Rusia, Vladimir Nabokov, pada 1955. Ada juga novelis perempuan Amerika, Anais Nin, yang antara lain menulis Delta of Venus (1977) dan Little Birds (1979).

Tentu saja mutu sastra karya-karya seperti Nabokov atau Boccaccio tinggi. Karya Enny Arrow tak bisa dirujukkan ke arah novel-novel besar itu. Tapi pada awalnya karya-karya Enny Arrow sesungguhnya mencoba agak ke arah "sastra pop". Ia membungkus adegan ranjang dengan ide cerita yang beragam. Misalnya tentang persoalan suami-istri atau rumah tangga, urbanisasi untuk mencari peruntungan di kota, atau kisah penyalahgunaan narkoba. "Awalnya Enny Arrow hampir selalu bercerita tentang kehidupan di masyarakat," ucap Yudi.

Selain itu, penulisnya melakukan penggambaran karakter untuk tokoh-tokoh di dalamnya. Ini persis seperti yang dilakukan novel-novel lainnya. Tak cuma itu, penulis Enny Arrow selalu menyelipkan pesan moral pada akhir cerita. Contohnya ketika bercerita tentang penyalahgunaan narkotik, penulis menyisipkan komentarnya bahwa narkotik tidak baik untuk tubuh atau bisa merusak keharmonisan keluarga. "Sedangkan dalam cerita tentang seks bebas, ditulis pesan bahwa itu bisa menyebabkan penyakit," ujar Yudi.

Temuan dalam penelitian Yudi senada dengan temuan Sunardian Wirodono, penulis yang pada 1980-an pernah mendalami tentang Enny Arrow. Sunardian menyatakan kualitas novel itu terhitung bagus pada awal kemunculannya, yakni pada 1970-an, lantaran kerap menampilkan cerita yang utuh. "Alur ceritanya lebih jelas," ujar Sunardian pada akhir September lalu. Selain itu, menurut dia, adegan ranjang yang digambarkan dalam novel tersebut tidak vulgar.

Namun semuanya berubah 180 derajat menjelang akhir 1970-an. Novel Enny Arrow yang terbit kemudian tak lagi mempedulikan alur cerita dan terkesan mengabaikan ide cerita. Sebaliknya, dalam setiap terbitannya, Enny Arrow justru lebih menonjolkan adegan ranjang. "Lebih banyak mengeksploitasi adegan seksual secara vulgar," ucap Sunardian.

Perubahan itu sebenarnya merupakan dampak dari popularitas novel Enny Arrow sejak awal 1980-an. Waktu itu, Enny Arrow menjadi buruan banyak orang meski jual-belinya dilakukan secara diam-diam. Yudi Bachrioktora mengatakan Enny Arrow menjadi populer karena berisi penggambaran adegan seks dan eksploitasi tubuh yang detail. Karena itu, dia menjadi incaran banyak anak muda yang penasaran. "Waktu itu tak ada tempat bagi anak-anak muda untuk mencari tahu hal begituan selain novel Enny Arrow," kata Yudi.

Ketenaran itu lantas membuat novel Enny Arrow seperti dikejar-kejar target penjualan. Kondisi itu, menurut pengajar sastra populer jurusan Sastra Indonesia Universitas Diponegoro Semarang, Khatibul Umam, membuat produksi Enny Arrow masif demi mengutamakan permintaan pasar. "Enny Arrow tak lagi mementingkan kualitas," ujar Khatibul pada pertengahan Agustus lalu. Akibatnya, tak ada lagi kejelasan cerita dalam novel Enny Arrow seperti yang tergambar pada tulisan-tulisan sebelumnya.

Sejak itu, Enny Arrow bisa dibilang telah meninggalkan identitasnya sebagai penulis karya sastra erotis. Purwono Nugroho Adhi, anggota Openmind Community, sebuah komunitas diskusi sastra di Semarang, mengatakan novel Enny Arrow kemudian lebih condong mengarah ke pornografi tekstual yang tujuannya untuk komersial. "Kebanyakan ceritanya sangat dangkal, tanpa ada unsur sastra yang bisa dikaji," ucap Purwono. Selain itu, isi teksnya tak bisa dianggap memberikan pelajaran seks, melainkan eksploitasi hubungan badan.

Dalam penelitiannya, Yudi Bachrioktora juga mengakui adanya transformasi Enny Arrow itu. Bahkan, menurut Yudi, pada akhir ketenarannya- kira-kira pada akhir 1990-an- novel Enny Arrow tampil dengan format baru, yakni dominasi adegan seks yang vulgar lengkap dengan gambar-gambar perempuan telanjang dengan berbagai pose. "Seperti dalam majalah pria dewasa," tuturnya.

Kondisi novel Enny Arrow itu berbeda dengan novel serupa yang beredar pada masanya. Contohnya novel Nick Carter dan Fredy S. Kedua novel itu tetap setia pada ide cerita utama yang dibangun dan identitasnya sebagai karya sastra erotis. Dalam perkembangannya, menurut Yudi, Fredy S. tetap berfokus pada basis cerita roman, sedangkan Nick Carter pada cerita roman yang dibungkus dalam kisah agen rahasia. "Keduanya juga selalu menggunakan bahasa yang halus untuk menggambarkan adegan persetubuhan," ujarnya.

Prihandoko, Shinta Maharani (yogyakarta), Edi Faisol (semarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus