Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BEBERAPA jam setelah hakim Cepi Iskandar menggugurkan status tersangka Setya Novanto dalam perkara korupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pada 29 September 2017 malam, lima komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi terlihat di Istana Bogor.
Seorang pejabat di Istana mengatakan kedatangan para komisioner tersebut tak teragendakan hari itu, meski permintaan audiensi dengan Presiden Joko Widodo sudah lama diajukan. Pada malam tersebut, Jokowi hendak menghadiri pemutaran film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI di Markas Komando Resor Militer 061 Suryakencana, Bogor.
Lima komisioner, menurut pejabat itu, melaporkan perkembangan terbaru pemberantasan korupsi kepada Presiden. "Masalah-masalah yang terkait dengan KPK," kata pejabat ini pada Kamis pekan lalu. Perkara yang dibicarakan antara lain perkembangan Panitia Angket KPK di Dewan Perwakilan Rakyat. Juga kondisi terakhir Novel Baswedan, penyidik KPK yang mengusut proyek e-KTP, yang tengah dirawat di Singapura karena matanya disiram air keras oleh orang tak dikenal pada 11 April lalu.
Perkara praperadilan Setya Novanto yang disiarkan media secara langsung beberapa jam sebelumnya juga disinggung. Hakim Cepi menggugurkan status tersangka Ketua DPR ini karena menganggap status itu harus disematkan penegak hukum di akhir penyidikan, bukan di awal, dan barang bukti yang sama tak bisa dipakai untuk dua tersangka.
Menurut pejabat itu, ketika pembicaraan menyangkut soal praperadilan Setya, Jokowi mempertanyakan KPK yang tak cermat menetapkan tersangka hingga kalah di pengadilan. "Presiden berpesan agar kasus e-KTP tak dibuat gaduh," ujar pejabat di KPK yang mengetahui pertemuan tersebut. Ia mengatakan Jokowi tak menjelaskan detail pesannya itu.
Penetapan Setya Novanto sebagai tersangka megakorupsi e-KTP memang menyedot perhatian publik Indonesia. Teman-temannya di DPR membentuk Panitia Angket untuk mengusut kewenangan KPK dalam menangani perkara-perkara korupsi. Panitia itu bahkan punya target membubarkan lembaga ini.
Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki dan Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Johan Budi Sapto Pribowo tidak bersedia mengkonfirmasi pertemuan Presiden dengan pimpinan KPK tersebut. Saat dicegat dalam acara diskusi "Tiga Tahun Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla" di sebuah restoran di Jalan H O.S. Cokroaminoto, Jakarta Pusat, Teten hanya mengacungkan jempol.
Johan juga sama sekali tak berkomentar, terutama tentang pertemuan tepat di hari pengumuman putusan gugatan praperadilan Setya Novanto. Sebagai mantan juru bicara KPK, Johan termasuk yang kabarnya dihubungi komisioner untuk bertemu dengan Presiden. Teten juga dikontak untuk keperluan ini. Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan meminta Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Pandjaitan mempertemukan mereka dengan Jokowi.
Permintaan audiensi KPK dengan Presiden itu diajukan terutama ketika serangan yang menghajar mereka kian masif. Panitia Angket kian agresif melumpuhkan KPK dengan mengundang para terhukum perkara korupsi memberi kesaksian tentang proses penyidikan di lembaga ini. DPR bahkan mengundang Direktur Penyidikan KPK Aris Budiman untuk menceritakan perpecahan penyidik. "Baru ada waktu hari itu," kata pejabat ini soal pertemuan di Istana Bogor.
Ketua KPK Agus Rahardjo juga enggan berkomentar mengenai pertemuan dengan Jokowi itu. Empat pemimpin KPK lainnya pun tak membalas permintaan konfirmasi Tempo lewat pesan elektronik. Agus hanya mengkonfirmasi soal kabar bahwa pimpinan KPK belum bersepakat soal penyematan kembali status tersangka untuk Setya memakai bukti baru.
Syahdan, setelah putusan praperadilan itu, KPK berniat kembali memberi status tersangka kepada Setya. Dalam sebuah rapat tiga hari setelah putusan, pimpinan KPK masih terbelah dengan usul ini.
Seorang penegak hukum di KPK mendengar bahwa seorang komisioner yang tak setuju Setya kembali menjadi tersangka mengingatkan pertemuan mereka dengan Presiden soal tak membuat gaduh itu. "Memang ada dua kubu menyikapi praperadilan," ujar Agus. Ia tak mengkonfirmasi pernyataan yang menyinggung nama Presiden.
Yang jelas, kata Agus, mayoritas pemimpin dan penyidik telah sepakat status tersangka Setya bisa sah dengan bukti-bukti baru yang mereka peroleh dari Biro Penyelidik Federal (FBI) Amerika Serikat. FBI turun mengusut aliran uang proyek ini dari Johannes Marliem, konsultan PT Biomorf Lone Indonesia, di Minnesota dan Los Angeles. "Sedang kami pelajari," ujar Agus. "Mudah-mudahan tak lama."
Niat KPK kembali menjerat Setya kian memancing reaksi berjela-jela. Tiba-tiba saja Madun Haryadi, orang yang mengatasnamakan Ketua Gerakan Penyelamat Harta Negara Republik Indonesia, melaporkan Agus kepada polisi dengan tuduhan penyelewengan proyek pengadaan di KPK pada 2016.
Ada tujuh proyek pengadaan yang dilaporkan Madun ke Badan Reserse Kriminal Markas Besar kepolisian RI pada Senin dua pekan lalu. "Saya melapor sekarang karena memanfaatkan momentum," kata Madun, Kamis pekan lalu. Menurut dia, perseteruan KPK dengan DPR merupakan momen yang tepat untuk melapor ke polisi.
Kubu Setya juga menyalak begitu pimpinan KPK hendak menempelkan kembali cap tersangka di belakang namanya. Pengacaranya, Fredrich Yunadi, menggerantang akan melaporkan lima pemimpin KPK ke polisi jika mereka benar-benar merealisasi niat itu. "Putusan praperadilan itu perintah undang-undang. Yang tidak taat bisa dilaporkan," ujar Fredrich.
Fredrich dan Madun bukan orang asing. Fredrich tak lain pengacara Madun ketika ia menjadi tersangka pemeras yang mengatasnamakan KPK pada 2014. Fredrich juga hendak menghadirkan Madun sebagai saksi yang memberatkan KPK ketika pengacara ini menjadi kuasa hukum Wakil Kepala Polri Budi Gunawan, yang menggugat status tersangka korupsi terkait dengan kepemilikan rekening ke praperadilan.
Madun mengaku mengenal Fredrich sejak 20 tahun lalu, ketika ia masih berkecimpung dalam bisnis pembuatan film. Tapi dia menampik anggapan bahwa laporannya ke polisi atas permintaan Fredrich ataupun Setya. "Dia melapor sendiri. Sama sekali enggak ada hubungannya dengan saya ataupun Pak Setya Novanto," kata Fredrich.
Setya tak menanggapi permintaan wawancara dari Tempo. Ia tak menggubris surat wawancara ke tiga tempat ia biasa beraktivitas: kantor Golkar, DPR, dan rumahnya. Saat dicegat di pelbagai kegiatan, ia juga memilih diam.
Di luar laporan Madun itu, Agus Rahardjo juga pernah diadukan ke Badan Reserse Kriminal dan Kejaksaan Agung terkait dengan proyek pengadaan alat berat penunjang perbaikan jalan di Dinas Bina Marga Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada 2014-2015 secara katalog elektronik (e-katalog). Pelelangan e-katalog ini difasilitasi Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), yang waktu itu dipimpin Agus.
Meneruskan laporan tersebut, penyidik Badan Reserse Kriminal mendatangi kantor LKPP pada April lalu. Mereka meminta semua dokumen e-katalog yang terkait dengan pengadaan alat berat tersebut. Ketua LKPP Agus Prabowo mengatakan polisi juga telah memeriksa beberapa orang anak buahnya. "Pemeriksaannya sudah agak lama," ujarnya Jumat pekan lalu.
Di samping Agus Rahardjo, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang ikut diadukan ke Badan Reserse Kriminal. Ia dituduh membuat dan menggunakan surat palsu serta menyalahgunakan wewenang oleh seseorang bernama Sandi Kurniawan. Kendati tuduhannya tak jelas, polisi akan menindaklanjuti pengaduan ini.
Berbagai laporan itu tak urung membuat Agus Rahardjo kecut. Laporan-laporan ini berpola yang sama dengan ketika dua komisioner KPK periode sebelumnya, Bambang Widjojanto dan Abraham Samad, menjadi tersangka setelah menjadikan Wakil Kepala Polri Budi Gunawan sebagai tersangka korupsi.
Hakim mencabut status tersangka Budi Gunawan ini dan, setelah itu, perkara untuk kedua pemimpin KPK tersebut pada akhirnya dihentikan. Tapi keduanya sudah telanjur digeser dari jabatannya sebagai pemimpin KPK. "Begitu saya dan Pak Saut jadi tersangka, kekuatan komisioner jadi tak ideal," kata Agus.
Konsentrasi para penuntut berantakan karena muncul kabar di kalangan penyidik bahwa para jaksa kasus KTP elektronik itu akan ditarik korps mereka. Ini menyusul kemarahan Jaksa Agung Muhammad Prasetyo, yang mempertanyakan operasi tangkap tangan KPK terhadap jaksa di Bengkulu dan Pamekasan.
Kepada Komisi Hukum DPR, Prasetyo terang-terangan menyatakan tak mau hadir dalam jumpa pers tentang hal itu dan mempertanyakan kesepahaman KPK-Kejaksaan Agung-Polri. Menurut dia, seharusnya KPK memberi tahu Kejaksaan Agung sebelum menangkap jaksa yang dicurigai sedang menerima suap.
Prasetyo bahkan meminta KPK tak menangkap Kepala Kejaksaan Negeri Pamekasan Indra Prasetya. "Saya katakan, apa harus seperti itu? Apa tak bisa dicegah?" ujarnya dalam rapat dengan DPR pada 11 Oktober lalu. Ia masygul karena tindakan KPK tak sesuai dengan yang ia minta.
Jaksa yang akan ditarik antara lain pelaksana tugas direktur penuntutan, Supardi. Ia jantung penuntutan perkara korupsi e-KTP. Sudah delapan tahun Supardi bertugas di KPK. Ia tak ragu mendukung penetapan Setya Novanto begitu melihat bukti-bukti dan rumusan dakwaan oleh para penyidik.
Juru bicara KPK, Febri Diansyah, mengatakan belum ada surat resmi dari Kejaksaan Agung mengenai rencana penarikan Supardi dan para penuntut. "Saya tidak bisa berkomentar karena belum ada surat resminya," ujar Febri, Rabu pekan lalu.
Ketika dimintai konfirmasi soal penarikan itu, Prasetyo mengatakan para jaksa itulah yang meminta sendiri dikembalikan ke tempat semula di kejaksaan. "Saya tanya apa urgensinya kembali. Kalau masih dibutuhkan KPK, jangan dulu," ujar Jaksa Agung yang disorongkan Partai NasDem ini.
Prasetyo berjanji tidak akan menarik Supardi dan kawan-kawan karena hendak menuntut perkara korupsi e-KTP. Ia mengatakan Supardi pada akhirnya akan kembali ke Gedung Bundar saat masa tugasnya di KPK selesai.
Di kalangan penyidik, keinginan KPK menyematkan lagi status tersangka korupsi kepada Setya kembali membelah mereka. Seorang pemimpin KPK, misalnya, meminta penyidik menunjukkan bukti aliran dana suap kepada Setya sebagai dasar penetapan tersangka. Bahan soal ini tertuang dalam laporan FBI tentang pengakuan Marliem yang menunjukkan bukti transfer.
Pemimpin lain menganggap bukti di luar aliran uang sudah lebih dari cukup untuk menjadikan Setya tersangka. Agus Rahardjo mengatakan perbedaan pendapat di kalangan penyidik dan pemimpin KPK terutama soal cara memandang putusan praperadilan Setya Novanto.
Satu kubu setuju dengan hakim Cepi Iskandar bahwa penetapan tersangka harus di akhir masa penyidikan, sedangkan kubu lain menilai penetapan itu bisa di awal asalkan ada dua bukti kuat. "Surat tersangka segera terbit," ujar Agus.
Rusman Paraqbueq, Anton Aprianto, Istman M.P., Ahmad Faiz, Raymundus Rikang
Setya Novanto di Pusaran Kasus E-KTP
6 Juli 2017
- Komisi Pemberantasan Korupsi bertemu dengan Johannes Marliem di Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Los Angeles, Amerika Serikat. Marliem menunjukkan bukti rekaman pertemuannya dengan Setya Novanto, Andi Narogong, dan seseorang bernama Oka di rumah Setya di Jakarta. Di situ, Setya dan kawan-kawan meminta jatah uang dari proyek e-KTP dengan kode “diskon”.
- Marliem menunjukkan bukti transfer dari Biomorf Mauritius yang dia sebut sebagai suap kepada Setya.
- Marliem setuju menandatangani perjanjian pertukaran informasi dan keringanan hukuman dengan KPK.
7 Juli
Marliem membatalkan pertemuannya dengan KPK karena ada seseorang yang meneleponnya semalam sebelumnya. Orang itu meminta Marliem tak menandatangani perjanjian kalau KPK tak bisa menjamin kekebalan hukumnya. KPK tak bisa memenuhi permintaannya sehingga pertemuan itu batal.
18 Juli
Setya Novanto menjadi tersangka korupsi e-KTP.
8 Agustus
- Rumah Marliem di Los Angeles digeledah FBI dalam penyelidikan aset yang berasal dari tindak kriminal. FBI memeriksanya di sebuah hotel di dekat Bandar Udara Internasional Los Angeles. Kepada FBI, Marliem mengaku pernah mendiskusikan suap e-KTP bersama Setya.
- Setelah pemeriksaan, Marliem ditangkap Los Angeles Police Department—kepolisian setempat—dengan tuduhan memiliki senjata ilegal di rumahnya. Marliem dilepas dengan jaminan.
9 Agustus
- FBI berkali-kali menghubungi Marliem, tapi tak berhasil.
- Marliem mengirim surat elektronik kepada FBI dengan berbagai permintaan dan mengancam melakukan bunuh diri jika keinginannya tak dipenuhi.
- FBI meminta bantuan kepolisian setempat mengepung rumahnya di Los Angeles.
10 Agustus
Marliem ditemukan tewas di dalam rumahnya pada dinihari waktu Indonesia. Kepolisian menyatakan dia bunuh diri.
4 September
Setya Novanto mengajukan gugatan praperadilan atas status tersangkanya.
29 September
Hakim Cepi Iskandar memenangkan gugatan praperadilan Setya. Status tersangkanya gugur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo