Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belum waktunya untuk menulis obituari bagi perdamaian. Laut Merah, hari ini, mencoba mengembuskan sebuah harapan, meski sekecil apa pun. Kegagalan Camp David, Juli silam, menjadi langkah mundur bagi perdamaian di kawasan Timur Tengah dan mencapai titik nol, ketika Kamis pekan silam roket Israel meninju Ramallah dan melukai 25 orang. Maka, Yasser Arafat dan petinggi Palestina lainnya membaca pertanda ini sebagai: ”perang”. Lalu, apa yang bisa dilakukan para petinggi untuk menghalangi sebuah perang terbuka?
Hari ini, di tempat peristirahatan Sharm el-Sheikh, di tepi Laut Merah, akhirnya Pemimpin Palestina Yasser Arafat bersedia bertemu dengan Perdana Menteri Israel Ehud Barak. Bersama Presiden AS Bill Clinton, tuan rumah Presiden Mesir Hosni Mubarak dan Sekjen PBB Kofi Annan, kedua pemimpin yang berkali-kali tak bersedia bertemu sejak beberapa pekan terakhir itu paling tidak akan menghentikan upaya kekerasan yang sudah menghantam hampir 100 nyawa, yang sebagian besar adalah warga Palestina. Tentu saja rencana pertemuan yang juga mengundang Uni Eropa, Raja Abdullah II dari Yordania, Prancis, dan Spanyol itu seharusnya tetap dipandang positif, karena ketegangan di kawasan Timur Tengah dua pekan terakhir, seperti yang dilansir The Economist, adalah krisis terburuk sejak 1967.
Tetapi, jika beberapa faksi di Palestina, seperti Front Rakyat Pembebasan Palestina (PFLP) dan Front Demokratik Pembebasan Palestina (DFLP) serta pemerintah Irak mencurigai pertemuan yang dianggap akan menguntungkan Israel dan AS belaka, sikap itu pun bisa dimaklumi. Bayangkan. Hanya beberapa hari silam, Ibu Negara AS Hillary Clinton menyatakan di antara ribuan demonstran warga Israel di New York, ”Kami berdiri tegak di belakang Israel.” Pemandangan ini tentu saja kontras dengan aksi anti-Israel yang marak mulai di Beirut sampai Jakarta. Pernyataan ini juga seolah bantahan tentang citra buas serdadu Israel yang menembak bocah berumur 12 tahun, Mohammad Al Durra. Ditambah dengan upaya Israel mendramatisir tewasnya dua tentaranya di tangan massa Palestina di Ramallah pekan lalu, sukses sudah luapan emosi sebagian pendukung Israel yang sudah lama antiperdamaian.
Sebelumnya koran-koran Yerusalem memfokuskan berita tentang warga Palestina di Nablus yang menghancurkan makam Nabi Yusuf dengan kapak dan martil. Selain itu, berbagai opini ditebarkan kepada publik bahwa beberapa teroris Hamas sengaja dilepas dari penjara oleh Yasser Arafat dengan misi khusus melakukan bom-bom bunuh diri. Ini menjadi alasan pembenaran tank-tank Israel bersiaga satu.
Adalah harian Yerusalem Post yang takjub melihat besarnya persiapan tempur negaranya dan menyebut pasukan Israel bak pasukan Goliath. Dengarlah pernyataan Elizabeth Khayyo, warga Gaza keturunan Armenia. ”Saya hidup selama 31 tahun di sini. Saya menyaksikan perlawanan intifadah tahun 1987. Tapi belum pernah saya takut seperti sekarang.”
Seluruh ketegangan di kawasan Timur Tengah mencapai klimaksnya pada 28 September, ketika Ariel Sharon, Ketua Partai Likud—partai garis keras Israel—didampingi 1.000 serdadu, masuk ke Masjid Al Aqsa. Tindakannya ini dituding sebagai sebuah provokasi yang sengaja memancing kemarahan warga Palestina. Targetnya, menciptakan huru-hara agar perundingan damai ambyar.
”Kuil Solomon tempat suci umat Yahudi. Hak saya untuk pergi ke sana,” katanya kepada Newsweek. Tapi sebuah dalih selalu mengandung kelemahan logika.
”Jika ke Aqsa, mengapa membawa banyak tentara?” demikian ujar Abdul ’Alim Muhammad, pakar Timur Tengah Universitas Kairo, kepada koresponden TEMPO.
Di tengah kampus Universitas Kairo yang macet karena menjadi pusat gabungan demonstrasi mahasiswa di Mesir, koresponden Tempo menemui Mohammad Sayyed Salim, Ketua Pusat Studi Timur Tengah. Menurut Sayyed Salim, sebetulnya sebelum Sharon berkunjung ke Al Aqsa, Direktur Wakaf Islam Adnan el-Husaini telah memperingatkannya agar tidak mengunjungi Aqsa—karena kerusuhan pasti terjadi. Dan kerusuhan memang terjadi. Alhasil, dengan alasan melindungi diri, pasukannya menewaskan puluhan warga Palestina.
Al Aqsa memang tak ternilai bagi muslim mana pun. Pada 1967, Israel berhasil menekuk gabungan tentara Yordania, Syria, dan Mesir, dan semenjak itu seluruh kota lama Yerusalem berada dibawah kontrol Israel, meski warga Arab yang tetap merawat dan mengurusi Masjid Al Aqsa. Kesepakatannya: Yahudi tidak diperbolehkan memasuki Al Aqsa, yang terletak di Harem Al Sharif ini.
Tapi, repotnya, bagi warga Yahudi-Israel, Aqsa adalah bagian dari kompleks kuil Nabi Sulaiman, yang dibangun pada 957 SM. Babilonia meluluh-lantakkannya pada 586 SM. Setelah kuil kedua berdiri, tahun 70 M dihancurkan Romawi. Yang hanya tersisa sekarang adalah tembok bagian barat yang disebut Tembok Ratapan. Di situlah jemaah Yahudi meratap menyesali tragedi pendestruksian dengan memasukkan gulungan kertas kecil berisi kalimat doa di celah-celah tembok.
Bagi Israel, tembok barat dan timur bukan sesuatu yang terpisahkan. Yerusalem adalah sesuatu yang undivided. Maka, ketika tahun 1993 di Oslo, Swedia, oleh PBB ditetapkan bahwa pada tahun 2000 wilayah Yerusalem Timur dikembalikan ke Palestina, Israel mulai terlihat ogah dan malah terkesan hendak mencaplok Aqsa. ”Mereka mendirikan masjid di antara reruntuhan kuil kami,” kata David Shemesh, seorang sopir warga Israel, kepada wartawan TEMPO Farid Gaban, yang mengelilingi Yerusalem beberapa waktu lalu. Bila sopir taksi saja bertendensi, apalagi kaum yang lebih militan.
Tengoklah sejarah, 10 tahun silam, kelompok fundamentalis Yahudi Temple Mount Faithful, yang menstimulir keributan di Harem Al Sharif, yang menyebabkan kematian 18 warga Arab. Dalam kerusuhan pada 1996, 80 warga Arab mati. Tapi betulkah seluruh motivasi gerakan Israel adalah agama? Dalam wawancara dengan Leila Chudori dari TEMPO saat KTT Nonblok delapan tahun silam di Jakarta, Arafat menegaskan bahwa konflik Palestina-Israel bukan perang agama. ”Jika Anda seorang muslim yang tahu sejarahnya, Anda harus menjadi Yahudi dan Kristen sekaligus. Kami tidak menentang orang Yahudi sama sekali. Kami menentang Zionis,” jawab Arafat dengan tegas. Singkatnya, inti persoalan adalah kolonialisme Israel di atas tanah Palestina.
Pemerintah Israel secara jelas dan terbuka menggunakan cara represif seperti diskriminasi yang eksplisit, dalam menaklukkan warga Palestina. Pengamat sosial Ulil Abshar Abdala, yang pernah mengunjungi kamp-kamp pengungsi Palestina, menganggap kondisi Palestina menyedihkan. ”Palestina tak layak disebut negara. Infrastrukturnya hancur, kemiskinan luar biasa,” katanya. Itu semua (pembunuhan dan pemiskinan) dilakukan secara sistematis dan terencana oleh Israel, sebagai suatu state-organized action. ”Kematian dua polisi itu belum ada apa-apanya dengan penderitaan kita, itu insiden. Lagi pula, polisi Palestina berusaha mencegahnya,” kata Hasen Abdul Rahman, wakil PLO di New York.
Lalu, apa peran Ariel Sharon yang berhasil memicu keributan besar ini? Sesungguhnya, sejak dulu, Sharon adalah think tank utama ide-ide pembasmian dan pengusiran Palestina ini. Dia yang mengaumkan bahwa Palestina adalah tanah kosong yang tak membuat Israel berdosa apabila merangseknya. Bahkan ia terlibat serentetan ”kebijakan besi” yang berturut-turut dilaksanakan oleh Menachem Begin dan, selanjutnya, PM Yitzhak Rabin. Di masa lalu, pemerintah Israel menerapkan kebijakan Hayad Barzel (Tangan Besi), Zro’aa Barzel (Lengan Besi), Moah.-Barzel (Akal Besi), sewaktu misi-misi militer bertugas melakukan penjagalan. Lebih dari 300 ribu warga Palestina meringkuk dan disiksa dalam penjara Israel.
”Tidak akan ada pembahasan tentang rekonsiliasi sukarela antara kami dan orang-orang Arab, tidak untuk sekarang dan tidak untuk masa depan,” demikian tulis Vladimir Jabotinsky, salah seorang peletak dasar Zionis pada 1923. Kata-kata itulah yang agaknya menjadi visi dasar gerakan Ariel Sharon. Pada 1953, di Desa Kibya Ariel, Sharon dengan Kesatuan Komando 101 melakukan penjagalan terhadap laki-laki, wanita, anak-anak Palestina. Masih segar dalam ingatan bahwa Sharon pun dikenal sebagai arsitek serangan ke Lebanon pada 1982, yang menewaskan ratusan warga Palestina. Secara terbuka, pada tahun yang sama, ia mengatakan akan mengurangi jumlah orang Palestina di Lebanon dari 500.00 menjadi 50.000.
Celakanya, opini Partai Likud kini amat berpengaruh di Israel. Maklum, Sharon menganggap Barak sebagai pemimpin yang lemah. Ia dianggap memberi peluang Yasser Arafat untuk membagi Yerusalem. Banyak pihak yang menganggap tangan besi Sharon tak lepas dari dukungan AS. Intelektual Palestina Kristen terkemuka Edward Said menyatakan bahwa gerakan orang-orang Yahudi di Amerika tidak memahami hidup dan permasalahan orang-orang Yahudi di Israel. Cara pandang mereka terhadap masalah Arab-Israel, menurut Edward Said, cenderung terdistorsi. Akibatnya, mereka jauh lebih konservatif daripada Yahudi yang paling konservatif.
Pernyataan Edward Said itu memang kuat karena sejak dulu pemikir keturunan Yahudi seperti Martin Bubber atau filsuf Erich Fromm tak menyetujui kekerasan yang ditempuh Israel. Setelah 254 warga Palestina dibantai di Desa Deir Yassin pada 9 April 1948, Bubber menulis surat kepada pemimpin Israel saat itu, David Ben Gurion: ”Biarlah Deir Yassin menjadi kawasan tanpa penghuni, menjadi simbol tragedi. Agar wilayah itu menjadi peringatan buat bangsa kita bahwa tindakan militer apa pun tak bisa mengesahkan pembantaian.”
Tapi sekarang tank-tank Israel seolah lupa dengan surat Bubber itu dan lupa pada peristiwa berdarah Deir Yassin. Moncong-moncong tank Israel sudah siap menganga. Keangkuhan Israel itu membuka luka warga Arab, yang telah mengalami serentetan perang dengan Israel, yakni Perang pendirian Israel (1948), Perang Sinai (1956), Perang Enam Hari (1967), dan Perang Yom Kipur (1973).
Apakah perang akan pecah? Dari segi kekuatan militer, para pengamat mengakui, meski seluruh kekuatan militer Arab digabung, mereka masih di bawah Israel, yang pasti didukung AS. Apalagi, seperti dikatakan analis Riza M. Sihbudi, peneliti LIPI, dukungan sebagian negara Arab hanya bersifat sementara. Tetapi, pakar Timur Tengah Mesir Mohammad Sayyed Salim berbeda dengan pandangan Riza Sihbudi. ”Kenapa tidak? Kita pernah berperang melawan Israel empat kali. Jika sekarang alternatif terakhirnya begitu, saya yakin negara-negara Arab siap,” jawab sang profesor dengan serius.
Tapi tentu, seperti yang diutarakan sang profesor, perang harus merupakan alternatif terakhir. Sharm el-Sheikh di tepi Laut Merah akan mencoba meyakinkan para peserta pertemuan bahwa obituari bagi perdamaian tak perlu ada.
Seno Joko Suyono, Gita W. Laksmini, Zuhaid El Qudsy (Mesir)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo