Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dunia Setelah Roket di Ramallah

Dunia menjawab pengeboman Palestina dengan rupa-rupa reaksi: dari demonstrasi besar di Jakarta, harga saham yang melorot di bursa New York, hingga penutupan kantor perwakilan asing di Tel Aviv.

15 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Darah segar muncrat di atas bentangan Stars and Stripes. Cairan merah membasahi bendera Amerika itu lalu menodai selembar kain lain yang berhiaskan garis biru di kedua tepinya bergambar perisai David dengan enam titik biru di tengah: bendera Israel. Darah mengalir deras dari leher seekor kambing—dililit bendera serupa—yang baru saja disembelih. Lautan massa dalam busana serba putih menggumamkan takbir mengiringi seremoni yang simbolik itu. Gumam takbir mengeras: menggetarkan dinding-dinding Gedung Nusantara DPR/MPR Senayan sepanjang Jumat siang yang terik, pekan lalu.

"Berjihad di jalan Allah adalah cita-cita utama saya," ujar Rustam Effendi sembari mengacungkan kedua tangan dengan gagah lalu menjeritkan kutukan kepada Israel. Demonstran asal Pondokpinang, Jakarta Selatan, itu mengaku siap dikirim ke Palestina, bergabung bersama ribuan sukarelawan dari beberapa negara kawasan Teluk. Irak, misalnya, telah menyiapkan "milisi sejuta umat".

Pemimpin Irak Saddam Hussein memang kawan lama pemimpin Palestina Yasser Arafat. Dan kini agaknya saat yang tepat untuk membalas budi yang ditanam Palestina pada tahun-tahun silam. Dalam peristiwa Perang Teluk (1991) maupun invasi Irak ke Kuwait (1990), Palestina berdiri di samping Irak—sembari menanggung kecaman sejumlah negara Arab yang membenci invasi Saddam. Maklum, Saddam Hussein dengan pandai berjanji bahwa ia akan menarik pasukan Irak dari Kuwait, jika Israel juga menarik diri dari Jalur Gaza dan Tepi Barat. Tentu saja pendirian ini tidak memberi banyak pilihan bagi Arafat kecuali berdiri di samping Saddam.

Aroma kemarahan memang meruap di pelbagai kota besar dunia selepas tragedi Ramallah, Yeriko, dan Gaza. Sumpah-serapah dan kutukan beterbangan dari berbagai penjuru dunia ke Israel. Di Jakarta, sumpah itu diiringi tuntutan kepada DPR: batalkan kedatangan delegasi Israel dalam Inter-Parliamentary Union (IPU). Konferensi yang melibatkan parlemen dari seluruh dunia berlangsung selama sepekan (15-22 Oktober). Tadinya, Ketua DPR Akbar Tandjung, yang tampil di hadapan media massa, menyatakan dengan santun bahwa Indonesia hanyalah tuan rumah yang tak bisa menolak kedatangan tamu.

Sikap ini berubah hanya dalam hitungan hari. Ketua Umum Partai Golkar itu merevisi pernyataannya setelah faks dari Tel Aviv mengabarkan delegasi Israel batal ke Jakarta dengan alasan keamanan. Ngeper?

Bisa jadi. Boleh jadi juga reli demo-demo akbar itu yang membuat pemerintah Indonesia berubah pikiran. Akbar juga menyebutkan dukungan penuh bagi Palestina. "Dalam IPU kita juga membuat resolusi terhadap Israel, yang telah membantai warga sipil Palestina." Sejauh ini, Indonesia, Maroko, dan Aljazair telah memastikan akan mengajukan resolusi.

Toh, pernyataan sikap Indonesia tampaknya tak ditelan begitu saja oleh massa Partai Keadilan. Mereka memilih tetap bersiaga. Selepas salat Jumat pekan lalu, mereka mendatangi sejumlah hotel di Jakarta—untuk memastikan daftar tamu hotel bersih dari paspor Israel. Presiden Partai Keadilan Hidayat Nur Wahid juga bersikeras meminta sidang IPU mengeluarkan resolusi keras: "Termasuk mengucilkan dan mengeluarkan Israel dari keanggotaan IPU," ujarnya kepada TEMPO.

Tak tanggung pula, Presiden Abdurrahman Wahid diminta oleh Wakil Ketua DPR A.M. Fatwa agar mengundurkan diri dari Yayasan Shimon Peres.

Lantas, bagaimana sikap resmi Indonesia? Juru Bicara Kepresidenan Wimar Witoelar mengatakan, tadinya Presiden Abdurrahman Wahid berniat menjadi mediator Palestina-Israel. Tetapi, setelah pecah konflik ini, upaya rekonsiliasi menjadi buntu. Namun, menurut Wimar, hal ini tidak mengubah dukungan Indonesia pada Palestina. "Hanya kita belum tahu bentuk dukungan itu," ujarnya.

Indonesia memang menjadi salah satu pusaran anti-Israel. Tapi ekses pengeboman Ramallah sesungguhnya jauh melampaui urusan demo dan politik. Bisnis dan ekonomi tak luput dari "imbas Ramallah". Lantai bursa saham New York bahkan bergoyang hanya dalam hitungan detik setelah dua serdadu Israel tewas digebuk perusuh Palestina dan tragedi Ramallah disiarkan ke seluruh dunia. Indeks harga Dow Jones di Bursa New York anjlok 379 poin (3,6 persen) pada Kamis pagi.

Saham sejumlah industri yang menggunakan bahan dasar minyak ikut-ikutan keok. Sementara itu, harga minyak mentah melejit hingga US$ 37 (Rp 296 ribu pada kurs Rp 8.000)—tadinya di bawah US$ 30. Serangan Israel ke Palestina telah menumbuhkan rasa khawatir pada para konsumen minyak: pasokan minyak dari Timur Tengah—selama ini menjadi wilayah produsen minyak terbesar di dunia—ke negara Barat akan terganggu.

Sebaliknya, para pemimpin di kawasan Teluk lebih sibuk memikirkan ketegangan di kawasannya ketimbang akibatnya pada bursa. Konsentrasi mereka dalam pada ini cuma satu: membantu Palestina menghadapi Israel. Sejumlah negara Arab yang pernah mengkritik pedas Palestina karena mendukung invasi Irak sudah melupakan kisah masa dulu itu. Ulama terkemuka Iran Ayatullah Ahmad Jannati meminta negara-negara Arab memutuskan hubungan dengan Israel—seperti yang dilaporkan Associated Press. Sejumlah negara Afrika dan Arab bukan saja mengutuk Israel. Mereka memilih menghengkangkan konsul dagang dan diplomatnya dari Israel.

Kesultanan Oman menutup kantor-kantor dagangnya di Tel Aviv sejak Kamis lalu, sembari menggembok kantor-kantor dagang Israel di Oman. Sementara itu, Presiden Uni Emirat Arab, seperti dikutip Agence France Presse, menggalang negara Arab untuk membantu Palestina. Lalu apa yang terjadi di Amerika, sekutu utama Israel yang tak sepatah pun mencerca tragedi berdarah itu?

Departemen Luar Negeri AS memutuskan untuk "meliburkan" sekitar 37 perwakilan AS di 22 negara di Afrika, Timur Tengah, dan Asia Selatan. Seperti biasa, Washington memiliki teori bahwa ketegangan di Timur Tengah biasanya akan berekor dengan berbagai terorisme—terutama terhadap AS dan Israel—di belahan bumi lainnya. Maka, tindakan siaga itu segera diambil AS menyusul ketegangan di kawasan Timur Tengah dan pengeboman apal USS Cole oleh kelompok tak dikenal di Yaman, yang menewaskan 17 awak kapal. Washington menuduh Osama bin Laden, tokoh yang diusir pemerintah Arab Saudi dan diyakini berada di Afghanistan, sebagai tersangka utama pelaku pengeboman kapal USS Cole.

Selain itu, kantor berita AP mencatat, sekitar 14 ribu demonstran berdoa di depan Gedung PBB demi kemaslahatan Palestina. Gelombang protes melanda konsulat Israel di seantero Amerika: dari Chicago, California, Atlanta, hingga Washington, konsulat Israel disibukkan demonstran yang menjeritkan kemarahan. Tak heran, Sekjen PBB Kofi Annan berupaya mempertemukan Presiden Palestina Yasser Arafat dan Perdana Menteri Israel Ehud Barak dalam sebuah perundingan damai, yang rencananya diselenggarakan Senin ini di Tepi Laut Merah (baca: "Harapan di Tepi Laut Merah").

Semula, Arafat dan Barak seolah ingin adu kuat: siapa mengalah pada siapa. Tapi Washington Post melaporkan pada akhir pekan lalu, Annan berhasil membujuk kedua pemimpin itu untuk berunding. Ini bukan soal mudah. Karena Arafat telah bertekad meminta penyelidikan tim internasional independen pada tragedi Ramallah, Yeriko, dan Gaza. Sementara itu, Barak mati-matian menetapkan syarat: investigasi itu terjadi hanya jika Amerika Serikat ada di dalamnya. Annan, yang selama sepekan ini tampil sebagai "pialang", akhirnya bisa menavyakan amarah kedua orang itu dalam sebuah meja perundingan.

Tragedi Ramallah yang membuat dunia terhenyak dan warga Jakarta merubung di halaman Gedung MPR/DPR Senayan Jakarta adalah ironi dua jiran dari simpul sejarah yang sama tapi berseteru tanpa usai karena sejumlah "kepentingan sejarah". Ini memang bukan pertikaian pertama dan awalnya bukan perseteruan agama, melainkan persoalan pengakuan atau klaim terhadap sebuah tanah air.

Bila Israel tiba-tiba menghadapi begitu banyak musuh baru setelah dentuman roket di Ramallah, reaksi dunia sebetulnya adalah bunyi solidaritas pada sebuah tragedi kemanusiaan. Hermien Y. Kleden, Dwi Arjanto, Iwan Setiawan, Ardi Bramantyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus