Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di teras rumah Kebagusan, kaleidoskop itu seolah-olah berputar kembali tatkala Puan Maharani tegak di hadapan wartawan yang memadati beranda, selepas pemilu legislatif, Rabu pekan lalu. Seperti laron merubungi cahaya, mereka memburu perempuan 40 tahun itu, melontarkan pertanyaan, dan bergegas merekam apa-apa yang meluncur dari mulutnya. Di teras yang sama, putri almarhum Taufiq Kiemas dan Megawati Soekarnoputri itu pernah menyaksikan ibunya memberi wawancara kepada para juru warta dari berbagai penjuru dunia selepas tragedi 27 Juli 1996: satu masa paling nadir dalam sejarah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Usia Puan 23 tahun ketika itu, dengan paras segar dan remaja. Namanya tak dikenal, masih jauh dari orbit politik. Toh, kepada salah seorang wartawan yang hadir, gadis muda itu menunjukkan keterlibatannya dengan sungguh. Dia berkata, mengapa pihak penguasa bisa melakukan kekerasan politik sehebat itu terhadap partainya.
Peristiwa 17 tahun silam itu tak bisa diputuskan dari kemenangan PDI Perjuangan pekan lalu. Hitung cepat sejumlah survei memastikan PDIP meraih pemilih terbesar. Ibunya memberi selamat kepada Puan, Ketua Harian Badan Pemenangan Pemilu PDIP. Tapi sebagian penyokong partai mencerca keras, mengapa Badan Pemenangan Pemilu tak merangsek pasar suara jauh-jauh hari dengan memanfaatkan "efek Jokowi".
Banteng memang hanya mencatatkan kemenangan yang pucat. Dari target 27,02 persen, perolehan suara versi hitung cepat hanya sekitar 19 persen. Dalam jumpa pers di Kebagusan, Jakarta Selatan, Rabu sore itu, Puan mengakui kekeliruan strateginya dan memastikan akan ada evaluasi internal. "Kami tetap solid," dia menegaskan. Pendukungnya berkeplok dan kamera-kamera menjepret wajahnya dengan rakus.
Puan Maharani praktis tumbuh dengan menyesap adagium klasik "politics is the art of possible". Dari masa-masa "paria" PDIP selepas 1996, sejarah menyaksikan Megawati naik ke puncak kekuasaan sebagai presiden kelima Indonesia—lalu gagal bertarung di periode berikutnya. Aneka pengalaman politik ini turut membentuk "transformasi" Puan sepanjang dua dekade terakhir.
Dari diskusi politik di meja makan atau ruang tamu keluarga, Puan melakukan lompatan jauh ke pusat arus utama yang turut menentukan peta politik Indonesia, setidaknya, dalam lima tahun ke depan. Dia membacakan mandat Megawati bagi penetapan Joko Widodo—kader partai dan Gubernur Jakarta—menjadi calon presiden 2014-2019. "Kerja politik tidak bisa instan," ujarnya kepada Tempo.
Pemenangan pemilu sejatinya bukan latar baru bagi ibu dua anak ini. Puan memimpin tim yang merebut kursi Gubernur Jawa Tengah bagi kader Ganjar Pranowo pada 2013. Dia menggerakkan kendali yang memenangkan anak-anak Banteng dalam pemilihan kepala daerah Jembrana, Bali, serta Banyumas dan Sukoharjo di Jawa Tengah. Pekan lalu, di tengah penghitungan suara, Puan memberikan wawancara khusus ini.
Dia menerima Widiarsi Agustina, Heru Triyono, Sundari, serta fotografer Imam Sukamto dari Tempo dan menjawab semua pertanyaan tanpa off the record. Dari kerja mesin partai, pencalonan Jokowi sebagai presiden, hingga perbedaan pandangan dengan ibunya. Perbincangan—serta sesi pemotretan—berlangsung selama dua jam lebih di rumah Megawati, Jalan Kebagusan IV, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Setelah menunggu sepuluh tahun, PDIP memenangi pemilu. Tapi mengapa perolehan suara meleset jauh dari target 27,02 persen?
Ini yang akan kami evaluasi. Artinya, pasti ada strategi yang keliru. Margin of error hasil hitung cepat rata-rata satu persen. Semoga satu persen itu masuk ke PDI Perjuangan.
Deklarasi Jokowi sebagai calon presiden dari PDIP seperti tak berefek. Komentar Anda?
Saya tak mau berspekulasi. Kami menunggu hasil resmi Komisi Pemilihan Umum. Saya tak ingin ada saling menyalahkan antarkader. Yang pasti, tim pemenangan dan calon legislator, baik pusat maupun daerah, solid.
Apa saja yang sudah dilakukan untuk mencapai target suara?
Kerja politik tak mungkin instan. Mesin partai di semua lapisan sudah kami gerakkan. Setahun terakhir, kami berkonsolidasi secara masif dengan berfokus pada kaderisasi dan regenerasi di setiap level. Tentu kami tak bisa mengandalkan orang per orang untuk masuk ke 34 provinsi dengan hampir 500 kabupaten dan kota. Itulah mengapa, di awal pertempuran, kami membuat pemetaan di 77 daerah pemilihan.
Peta itu untuk mengukur apa?
Peta itu jadi ukuran isu apa yang diangkat dan wilayah yang tidak boleh disentuh. Pada Januari 2014, hasil survei, kami berada di 18-21 persen. Trennya naik. Berdasarkan itu, saya yakin bisa menang. Jadi kami bertempur dengan peta yang jelas.
Bukankah tren PDIP memang diprediksi naik?
Kami sudah membacanya tiga tahun lalu. Gerak-gerak politik kami diapresiasi masyarakat. Bagaimanapun, ini buah konsistensi kami selama sepuluh tahun di luar pemerintahan. Tentu tak mudah bagi kami menempatkan diri sebagai partai pengimbang yang kritis terhadap kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat.
Anda mengusung tema "Indonesia Hebat" saat kampanye. Apa artinya?
Mewujudkan Indonesia menjadi lebih hebat daripada hari ini dengan menggunakan tema Pancasila yang dimodernisasi. Itu cara kami menunjukkan ke masyarakat, khususnya pemilih pemula.
Ada partai lain yang menggunakan simbol Sukarno, bahkan ada calon presiden yang berbusana meniru Sukarno. Komentar Anda?
Alhamdulillah. Sebagai founding father, Sukarno diterima seluruh rakyat. Tapi jangan hanya untuk kepentingan politik. Terimalah Sukarno utuh dengan pemikirannya. Tempatkan beliau sebagai orang yang pernah memerdekakan republik ini.
Mengapa calon presiden PDIP bukan dari keluarga Sukarno?
Soal itu sudah jadi pertimbangan matang, dikaji, dan digali. Saya menghormati keputusan Ibu Ketua Umum.
Apakah Ketua Umum Megawati mengajak Anda berbicara tentang pencalonan Jokowi?
Berminggu-minggu sebelum keputusan diambil, sudah ada pembicaraan. Ketua Umum bilang kami harus realistis mendengar suara rakyat. Mereka ingin punya calon presiden dari PDIP yang bukan Ketua Umum. Sudah saatnya Ketua Umum bersikap sebagai negarawan dalam proses transisi kepada orang yang memang diinginkan rakyat.
Menurut Anda, apakah Megawati legawa memberi mandat ke Jokowi?
Sebagai manusia, dengan semua hal yang sudah dilakukan sepanjang hidupnya sejak 1965 sampai sekarang, tentu saja ada hal yang terlepas dari jiwanya. Tidak hanya beliau, saya saja begitu. Masalahnya bukan hanya diri, partai, atau kelompok, melainkan bagaimana nasib bangsa ini ke depan. Jalannya, ya, memberi kesempatan kepada orang lain.
Di lingkup internal partai, bukankah banyak yang tak setuju terhadap pencalonan Jokowi?
Kami akui, sebelum calon akhirnya diumumkan Ketua Umum, tarik-menarik di lingkup internal cukup kuat. Bahkan, di akar rumput, mereka berharap kekuasaan direbut lagi oleh trah Sukarno.
Calon presiden dari PDIP harus melaksanakan ajaran Trisakti Sukarno. Bagaimana mempercayakan itu kepada kader seperti Jokowi?
Rakyat yang akan menilai. Tapi jangan berandai. Beri kesempatan kepada beliau untuk menjalankan amanahnya.
Menurut Anda, apakah Jokowi personifikasi cucu ideologis Sukarno?
Saya kenal lama beliau. Pak Jokowi memahami cita-cita dan ideologi Bung Karno. Saya yakin Jokowi memahami "Jas Merah, Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah". Sebagai orang Jawa, saya memahami kualat itu lebih parah daripada lupa terhadap sejarah.
Apakah ini semacam peringatan?
Tak mengancam, kondisinya memang seperti itu. Semua orang yang mengkhianati apa yang menjadi keyakinan Bung Karno, realitasnya di lapangan, mereka tak jadi apa-apa. Tidak perlu dicekik, digebuki, hilang saja sendiri. Percaya tidak percaya.
Kabarnya, Anda juga tidak setuju terhadap pencalonan Jokowi?
Lho, saya yang mengumumkan pemberian mandat itu. Hayo, piye? Ha-ha-ha…. Sekarang banyak orang punya tafsir seolah-olah lebih tahu daripada yang tahu.
Mengapa bukan Megawati yang mengumumkan?
Sebagai Ketua Badan Pemenangan Pemilu, saya ini pengendali lapangan. Kalau bukan saya yang mengumumkan, di internal akan porak-poranda. Saya juga memahami ada di lingkup internal partai yang menginginkan Bu Mega maju sebagai calon presiden.
Menurut Anda, Jokowi itu aset atau liabilitas?
Jokowi itu kader. Kader adalah aset.
Pencalonan Jokowi justru membuahkan serangan masif untuk PDIP. Jokowi di-bully di media sosial. Adakah tim untuk melawan?
Ada. Gerakan kami untuk meng-counter, bukan pencitraan. Agar opini publik paham, mana yang benar dan tidak. Dulu kami tidak siap melawan black campaign, akhirnya opini publik terbentuk jelek ke PDIP, karena kami diam.
Di banyak survei, nama Anda disebut sebagai kandidat pendamping Jokowi?
Ha-ha-ha…. Saya tak ada pikiran ke sana. Saya hanya ingin mengucapkan alhamdulillah pada kerja politik saya. Semua mengalir baik. Meski hujan badai menerpa, tak ada yang bisa mengempaskan Puan Maharani dari kancah politik.
Kalau Anda ditawari jadi calon presiden….
Masalahnya bukan ditawari, tapi mau atau tidak….
Jika diperintah partai?
Bukan perintah partai, melainkan perintah Ibu Ketua Umum, ha-ha-ha….
Sebagai putri Ketua Umum, bukankah ada hak veto?
Bicara soal politik antara Puan Maharani dan Megawati bukan sebagai anak dan ibu. Urusan politik ya politik. Saya harus berargumen secara politik. Kalau saya mau ini-itu, pasti ibu saya juga akan bertanya, apa yang sudah Puan Maharani kasih ke partai.
Kami dengar ada satu kursi menteri tersedia untuk Anda.
Waduh, tak tahu. Aminlah kalau begitu. Saya tak pernah berbicara begitu, bahkan tak juga ngarep.
Apakah ibu Anda memberi pesan khusus saat menugasi Anda menjadi Ketua Badan Pemenangan Pemilu PDIP?
Sekali lagi, bicara politik dan partai dengan Ibu, kami tak lagi sebagai ibu dan anak, tapi Ketua Umum dengan salah satu ketua partainya. Ibu Mega selalu menggariskan, urusan Badan Pemenangan Pemilu bukan urusan ibu dan anak. Ini Ketua Umum dan BP Pemilu. Setiap laporan tugas, termasuk dalam rapat, selalu saya sampaikan ke Ibu Ketua Umum, bukan Mama.
Dalam urusan partai, apalagi pemilu seperti ini, apakah Megawati selalu keras dan menekan?
Enggak juga. Yang jelas, kami sudah memahami apa yang sama-sama diinginkan. Saya paham sekali, satu penugasan diberikan kepada saya, yang anaknya, pasti ada risiko. Saya dikasih tugas karena beliau yakin saya mampu. Dalam pertempuran, saya selalu all-out, karena ini bukan hanya partai, melainkan juga marwah dari Ketua Umum yang juga ibu saya.
Di Jawa Tengah, Ketua Umum Megawati sampai mengeluarkan kata sembelih jika Ganjar Pranowo tidak menang….
Memang betul. Sebagai presentasi Ketua Umum di lapangan, kami sudah bersepakat, saya harus bekerja keras memenangi pertarungan. Itu harga mati yang harus saya tunjukkan dalam kinerja. Termasuk kali ini, PDIP harus menang setelah sepuluh tahun di luar pemerintahan.
Demi pemenangan, kabarnya Anda begitu kejam di lapangan. Yang tak sepakat harus minggir.
Ha-ha-ha…. Saya tak kejam, hanya tegas. Ini untuk keluarga besar partai. Kalau mau jadi bagian dari partai, ayo sama-sama. Saya menginginkan satu pasukan tempur yang solid untuk memperjuangkan ideologi.
Ini pemilu pertama tanpa kehadiran Taufiq Kiemas. Bagaimana rasanya?
Ada yang hilang. Sementara Ibu Mega bilang Taufiq Kemas adalah sparring partner-nya, bagi saya dia adalah soulmate. Tidak ada orang yang bisa menggantikannya. Dalam realitas politik yang dihadapi PDIP, harus ada orang yang mau melakukan semua hal yang dilakukan bapak saya untuk berjejaring dan membangun komunikasi politik.
Anda mengambil peran yang dulu dilakoni ayah Anda?
Ya. Saya mencoba menggantikannya. Mama di belakang untuk back up.
Siapa yang paling kuat mempengaruhi? Taufiq Kiemas kepada Puan atau Mega kepada Maharani?
Dua-duanya. Saya mengambil dua hal yang berbeda dari mereka. Keduanya melengkapi. Taufiq egaliter, selalu memakai insting di lapangan, yang sekarang saya coba olah. Adapun Mega sangat berprinsip dengan keputusan yang diyakininya. Ilmu yang saya punyai cukup lengkap. Contoh, saya kukuh dan yakin dan itu harus terjadi sebelum bertempur. Nah, bagaimana mengolah keyakinan itu menjadi sesuatu yang riil di lapangan, itu pengalaman yang diajarkan bapak saya.
Pernah berbeda pandangan dengan Megawati?
Itu tak bisa dihindari. Tapi kami berdua sudah saling paham. Di level atas, Ibu adalah penentu kebijakan. Implementasi kebijakannya di lapangan itu tugas saya. Saya ini tandem Ibu Mega dalam lapisan kedua.
Kabarnya, ada rivalitas antara Anda dan Prananda Prabowo….
Ha-ha-ha…. Itu kreasi orang saja. Itu kakak saya (menunjuk Prananda Prabowo). Di sini juga, bukan di partai lain, bukan di kubu lain. Sebagai pribadi, kami memang berbeda. Dia tak suka menonjolkan diri meski suka di teknologi informasi dan menjadi ahli di situ. Saya enggak ngerti teknologi begituan. Bakat saya di politik. Tapi, sebagai satu keluarga, kami saling membantu. Jadi tak benar kalau ada persaingan. Kami satu keluarga, kakak-adik yang tetap solid dan selalu bahu-membahu membesarkan partai ini.
Mengapa muncul isu itu?
Itu tafsir dan diembuskan sejumlah orang untuk menyerang keluarga kami. Ingin agar PDIP tidak kuat, ingin agar trah Sukarno tak muncul lagi.
Koalisi apa yang akan dibangun PDIP?
Kata yang tepat bukan koalisi. Yang kami inginkan kerja sama solid dalam mendukung sistem presidensial yang akan datang. Teman yang akan ikut bekerja sama dengan kami harus punya visi dan misi yang sama dalam menuju "Indonesia Hebat".
Konkretnya bagaimana?
Kami belajar dari pengalaman lalu, bagaimana seharusnya kerja sama politik itu dibangun. Tak hanya bekerja sama solid di eksekutif, tapi juga di legislatif. Intinya, berapa pun kursinya akan lebih ideal, asalkan solid. Ketimbang didukung partai dengan banyak kursi tapi bertengkar terus selama lima tahun.
Siapa saja yang sudah ditemui untuk membangun kerja sama politik?
Hampir semua. Penugasan komunikasi politik diberikan kepada saya dan Pak Tjahjo, Sekjen. Semua masih informal seperti dengan Demokrat, PAN, Golkar, PKB, PPP, dan NasDem. Yang belum ketemu PKS dan Gerindra.
Mungkinkah bekerja sama dengan Demokrat?
Semua masih berharap. Termasuk berharap ada suatu pertemuan antara Pak SBY dan Ibu Mega. Kapan? Saya tidak tahu.
Puan Maharani Nakshatra Kusyala Tempat dan tanggal lahir: Jakarta, 6 September 1973, Pendidikan: Sarjana Komunikasi Massa Universitas Indonesia, Karier: Ketua Badan Pemenangan Pemilu PDI Perjuangan (2014), Ketua Dewan Pimpinan Pusat PDI Perjuangan Bidang Politik dan Hubungan Antar-Lembaga (2010-2015), Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR (2009-2014), Anggota Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (2009-2014), Anggota DPR, anggota Komisi VI Bidang BUMN, Perdagangan, Perindustrian, Investasi, Koperasi, UKM, dan Standardisasi Nasional (2009-2014), Anggota Panitia Kerja Komisi VI Bidang Investasi dan Usaha Kecil dan Menengah (2009), Ketua Dewan Pimpinan Pusat PDI Perjuangan Bidang Perempuan dan Masyarakat (2007-2010), Anggota Dewan Pimpinan Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia Bidang Luar Negeri (2006) |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo