Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengacara Muhammad Assegaf punya cerita tentang karibnya, Abdul Rahman, 63 tahun—satu-satunya hakim agung yang menyatakan Ketua Partai Golkar Akbar Tandjung bersalah dalam sidang Mahkamah Agung pada Kamis pekan lalu.
Sekitar dua pekan sebelum keputusan kasasi itu dibacakan, Assegaf mengundang Abdul ke perhelatan perkawinan anaknya. Sebagai penghormatan kepada sang Hakim Agung, oleh tuan rumah, Abdul Rahman dideretkan di daftar undangan VIP. Ada sejumlah tokoh di ruangan VIP, termasuk Akbar Tandjung. Ketika Abdul Rahman datang, dia menolak masuk ruang VIP. "Setelah Akbar pergi, baru dia masuk," kata Assegaf.
Abdul Rahman memang menjaga betul independensinya sebagai hakim yang akan memutus kasus besar ini. Apalagi dia kemudian terbukti memilih jalan sunyi: memberikan dissenting opinion dalam amar putusan.
Di Gedung MA hari itu—di antara gemuruh suara gerundelan pro dan kontra—ia bergeming. Sesekali ia menengok ke arah hadirin yang sedikit gaduh itu. Lalu putusan dibacakan dan, setelah itu, Abdul berusaha menghilang dari kerumunan wartawan. Ia menuju ruang kerja, tempat istri dan anaknya yang sejak pagi telah menunggu. "Saya capek," katanya singkat.
Sepekan sebelum keputusan perkara itu digelar di Mahkamah Agung, Abdul Rahman Saleh memang diburu banyak wartawan. Soalnya, ada kabar bahwa keputusan majelis kasasi tak bulat. Tapi belum begitu jelas siapa dari lima hakim agung itu yang bakal memberikan dissenting opinion. Banyak yang menduga Abdul Rahman Saleh, bekas Ketua Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, akan melakukannya. "Tunggu sajalah," ujarnya tiga hari sebelum keputusan dibacakan.
Abdul Rahman adalah hakim agung dari jalur nonkarier. Anak Pekalongan itu pernah menjadi wartawan Harian Nusantara sebelum terjun ke dunia pengacara. Muhammad Assegaf menyebut Arman—sapaan akrab Abdul Rahman—sebagai manusia penuh warna. Misalnya, Abdul Rahman pernah bergabung dengan Teater Kecil pimpinan dramawan kawakan Arifin C. Noer. Dia sempat pula terjun ke dunia film. Lakonnya beraneka rupa, dari film serius karya sutradara Sjumandjaja sampai film dangdut Elvy Sukaesih pada 1970-an.
Dari jalur kesenian itu, dia melompat ke dunia lain. Bahkan, sebelum menjadi hakim agung, Abdul Rahman sempat bergabung dengan Partai Bulan Bintang. "Saya terkejut dia masuk ke politik," ujar Assegaf. Tapi, sejak diangkat menjadi hakim agung, kandidat doktor hukum dari Universitas Indonesia itu sulit dihubungi oleh kawannya sesama pengacara.
Apalagi sejak dia turut mengadili kasasi Akbar Tandjung. "Menjelang pembacaan kasus, aku menutup telepon genggamku," ujar Abdul Rahman seperti ditirukan Assegaf. Kolega politiknya di Partai Bulan Bintang, Hamdan Zoelva, juga mengakui sulit bertemu dengan Abdul setelah ia menjabat hakim agung. Apalagi Abdul telah melepas statusnya sebagai pejabat teras di partai itu. "Dia sepertinya menghindari fitnah," ujar Hamdan.
Sehari sebelum putusan kasasi itu dibacakan, Abdul Rahman mendadak menghilang. Rumahnya di Jalan Arus, Cawang, Jakarta Timur, juga terlihat sepi. Di kantornya, Abdul Rahman hanya terlihat sebentar, lalu lenyap entah ke mana. Bukan cuma Abdul, empat hakim agung lainnya pun seperti ditelan kabut. Mereka adalah ketua majelis hakim kasasi Paulus Effendie Lotulung, Parman Suparman, Arbijoto, dan Muchsin. Semua hakim itu tampaknya sepakat melakukan "gerakan tutup mulut".
Paulus, misalnya, tak bisa ditemukan di rumahnya, di Jalan Danau Maninjau, Bendungan Hilir. Rumah kediaman itu berlantai dua dan tampak sedang dibangun. Ukurannya memang tak terlalu besar. Berdiri di atas tanah seluas 400 meter persegi, bangunannya juga sederhana. Menurut seorang tukang di sana, rumah itu mulai dibangun enam bulan lalu. Meski benar rumah itu milik Paulus, Ankar, si penjaga rumah, mengaku belum pernah melihat wajah sang tuan. Maklumlah, kata dia, rumah itu baru dibeli dan langsung dibangun.
Di sekretariat Mahkamah Agung, Paulus mencatatkan alamat itu sebagai tempat kediamannya. Paulus juga punya rumah lain, yaitu di Penjernihan, seratus meter dari Jalan Danau Maninjau. Di kediamannya di Jalan Penjernihan, seorang pembantu lelaki mengatakan Paulus sedang tak berada di rumah. "Sudah dua hari pergi," ujar Syafrudin, si pembantu. Pengecekan di Universitas Pakuan, Bogor, tempat Paulus mengajar selaku guru besar, juga nihil.
Slamet Suparnjoto, asisten hakim pada majelis kasasi, mengatakan Paulus tidak sedang cuti, tapi hanya sedang bekerja keras menyusun putusan. Para hakim agung itu, kata Slamet, sengaja menghindar dari kejaran wartawan, "Agar lebih tenang bekerja."
Begitu juga Hakim Agung Muchsin. Dia tak terlihat di ruang kerjanya, kamar nomor C 309 di lantai tiga Gedung Mahkamah Agung. Rumahnya di Galaxi Permai, Surabaya, ternyata hanya ditempati anak-anaknya. Seperti Abdul Rahman, Muchsin adalah hakim agung nonkarier. Dia pernah menjabat rektor di Universitas Sunan Giri, Surabaya. Gaya hidupnya sederhana. Misalnya, untuk bercukur, dia tak suka ke salon. Langganannya adalah Tukang Pangkas Paris di Jalan Sumatera, Surabaya. "Banyak hakim pangkas di tempat saya," ujar Ning, pemilik tempat cukur itu. Sayang, dua hari itu, dia juga tak bertemu dengan Muchsin.
Begitu juga dua hakim agung lainnya, Arbijoto dan Parman Suparman. Mereka mendadak sulit ditemui, kalau tak bisa dibilang menghindar. Sejak dua hari sebelum pembacaan kasasi, polisi memang memberikan pengawalan ekstraketat. Penjagaan buat lima hakim agung itu berlaku siang dan malam. Mereka dikawal sejak berangkat dari rumah ke kantor dan sebaliknya. "Supaya jangan dihadang atau diculik," kata juru bicara Kepolisian Daerah Metro Jaya, Komisaris Besar Prasetyo.
Kamis pekan silam, setelah menghilang bersama entah ke mana, kelima hakim agung itu muncul kembali di Gedung Mahkamah Agung. Satu dari mereka akhirnya menempuh jalan berbeda.
Nezar Patria, Adek M. Rosa, Ramidi, Yophiandi (TNR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo