Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Abdul Rahman Saleh:

22 Februari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PANGGUNG dan tirai adalah arena yang akrab dalam dunia Abdul Rahman Saleh. Di panggung, Abdul Rahman—seorang bekas aktor film dan teater—belajar menguarkan ekspresi dan imajinasi. Di balik tirai, ia berkelana dalam realitas hidup yang sesungguhnya, la verite du vivre. Arman—nama kecil Abdul Rahman—melalui tahun-tahun masa mudanya sebagai wartawan, aktivis lembaga swadaya masyarakat, dan penggiat di lembaga bantuan hukum. Inilah periode penting yang mendewasakannya sebelum ia berpindah ke dunia pengadilan. Jatuh-bangun, Arman memaksa dirinya untuk menang pada bagian tersulit dalam perjalanan bersama realitas: mendengarkan suara hati nurani.

Suara itulah yang diperdengarkannya Kamis malam pekan silam di gedung Mahkamah Agung, Jakarta. Di hadapan pengunjung dan ratusan wartawan dalam dan luar negeri, Arman, 62 tahun, bukan lagi anak pesisiran yang gemar berangan-angan. Dia hakim agung, bagian dari majelis terhormat dari satu mahkamah yang amat terhormat—Mahkamah Agung Republik Indonesia—untuk menentukan kehormatan Akbar Tandjung, terdakwa dalam perkara korupsi senilai Rp 40 miliar dalam kasus dana Bulog.

Akbar divonis tiga tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 4 September 2002. Empat bulan kemudian, pada 17 Januari 2003, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengukuhkan vonis itu: maka Akbar harus digiring ke bui. Tapi kasasi di Mahkamah Agung telah melontarkan gembok penjara itu jauh-jauh dari kehidupan sang Ketua DPR RI. Dia divonis tidak bersalah dengan suara satu banding empat. Arman satu-satunya hakim agung yang menyatakan Akbar bersalah. "Memang tidak mudah, tapi saya puas karena sudah menyuarakan hati nurani saya," ujarnya di tengah hujan pertanyaan wartawan.

Beberapa pengkritik menyebut dia sekadar mencari sensasi. Inilah jawaban Arman: "Putusan itu lahir melalui suatu pergulatan panjang dan semata-mata berdasarkan aspek hukum. Saya hanya menuruti kata hati—terserah apa kata orang." Sejatinya, kasus Akbar bukan satu-satunya cara Arman memperdengarkan kata hati. Dia menghormati jabatannya—sebagai hakim agung—dengan kesederhanaan yang spartan dan mencengangkan.

Di Jalan Arus, Cawang, Jakarta Timur, kehidupannya bisa dipotret dengan nyalang dalam sebuah rumah sederhana—mirip kediaman seorang pegawai golongan rendah. Terselip di jalan kecil yang padat, berdebu, dan riuh, Arman hidup di rumah itu bersama istrinya, Anisah, dan tiga orang anak mereka. Di situ pula dia kerap melewatkan waktu membaca kasus-kasus hukum yang pelik sembari sesekali menonton film The Sound of Music, yang amat ia gemari. Arman sendiri pernah menjadi aktor yang serius. Dia bintang utama film Sunan Gunung Jati. Pernah berduet dengan Christine Hakim dalam film Petualang-Petualang dan Kabut Sutra Ungu, Arman juga sempat beradu akting dengan Rae Sita dalam Ratu Disko.

Jejak-jejak dari layar perak itu tak lagi terpatri di rumahnya. Berukuran 200 meter persegi, kediaman sederhana itu dirindangi beberapa pohon yang tegak dalam halaman sempit. Ruang tamu diisi seperangkat sofa tua yang pudar warnanya. Lemari-lemari buku padat dengan buku-buku yang berdebu. Meja-meja penuh dokumen tergeletak di tengah ruangan berlantai ubin putih yang kusam. Rumah tua itu tampak kurang terawat, sarang laba-laba menggantung di kisi-kisi lubang angin.

Potret keluarga di Jalan Arus, Cawang, itu bagaikan anomali radikal terhadap kemewahan yang membungkus gaya hidup para pejabat tinggi lembaga-lembaga hukum dan peradilan Indonesia. Seorang kenalan yang pernah bertandang ke rumahnya sekali waktu geleng-geleng kepala: "Saya heran, si Arman ini hakim agung apa pegawai rendahan di Mahkamah Agung?" ujar si kenalan sembari tertawa lebar kepada TEMPO.

Pekan lalu, Abdul Rahman, yang menjadi "bintang" selepas vonis kasasi Akbar Tandjung, memberikan wawancara khusus selama dua jam kepada majalah ini. Dalam balutan kemeja cokelat batik yang agak lusuh, dengan kaki beralaskan sandal jepit Swallow, Arman menyender pada sofa kuno itu. Dia menjawab dengan lugas aneka pertanyaan dari wartawan Tempo News Room Karaniya Dharmasaputra dan Poernomo Gontha Ridho, serta wartawan Majalah TEMPO Edy Budiyarso. Berikut ini petikannya.

Dalam dissenting opinion (perbedaan pendapat hukum di antara majelis hakim), Anda berpendapat Akbar Tandjung bersalah dan tak sepakat dengan pendapat hakim agung lain bahwa Akbar hanya menjalankan perintah Presiden Habibie. Apa dasarnya?

Pertama-tama perlu ditegaskan bahwa saya hanya akan menjelaskan posisi dan argumentasi saya. Saya tidak akan mengomentari pertimbangan hukum keempat anggota majelis hakim lain. Menurut saya, paling tidak ada tiga isu besar yang patut dipertanyakan dalam kasus ini. Pertama, argumen bahwa saat itu negara dalam keadaan darurat sehingga uang Bulog Rp 40 miliar tersebut boleh keluar begitu saja. Mulus keluar, meski tidak ada perintah tertulis, tidak ada kontrak, bahkan tanpa ada persyaratan paling minimum untuk menjaga supaya uang itu selamat. Jadi, perintah dari atas lisan, kasih uang ke bawah lisan lagi, dan lalu amblas. Kedua, adalah soal perintah jabatan itu. Menurut analisis pihak terdakwa, ditinjau dari hukum administrasi, Akbar hanyalah menjalankan perintah jabatan dan karenanya tidak bisa dihukum. Tapi, menurut saya, orang yang menjalankan perintah tidak serta-merta lolos dari tanggung jawab.

Kenapa?

Misalnya ada polisi yang diperintah oleh atasannya supaya menangkap seseorang. Ia lalu menembak mati orang itu. Tidak bisa lalu dibilang hal itu karena ia diperintah. Perintahnya kan hanya supaya menangkap. Apalagi ada yurisprudensi sejak zaman Belanda bahwa, dalam hal perintah jabatan, dalam keadaan darurat pun seseorang harus bisa membuktikan bahwa tindakan yang diambilnya adalah satu-satunya cara yang bisa dijalankan dan jika itu tidak diambil akan fatal akibatnya. Itu tidak saya temukan dalam kasus ini. Seharusnya, Akbar bisa mengambil beberapa langkah pengamanan untuk menyelamatkan dana Bulog. Dan itu tidak ia lakukan.

Bagaimana dengan poin ketiga?

Soal definisi perbuatan melawan hukum. Tinjauan saya dari hukum pidana, sementara yang lain dari hukum administrasi negara. Kasus ini terjadi pada tahun 1999, sehingga masih mengacu ke Undang-Undang Anti-Korupsi No. 3/1971. Di situ disebutkan perbuatan korupsi itu materiil. Jadi, tidak perlu formil. Pokoknya, semua perilaku yang koruptif, tidak pantas, tak layak, tidak hati-hati, dan menusuk perasaan keadilan bisa dikenai undang-undang itu.

Apa bukti bahwa Akbar tidak mengambil langkah yang memadai untuk mengamankan dana Bulog?

Saya menggunakan keterangan saksi ahli dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Keterangan dari saksi ahli ini sangat jelas dan detail. Untuk proyek semacam itu, harus ada tender, kontrak, izin dari Menteri Keuangan, sampai kewajiban menyerahkan bank garansi. Dan itu semua tidak dikerjakan. Bahkan Yayasan Raudatul Jannah itu kan terkesan main-main. BPKP juga sudah dua kali menulis surat ke Bulog dan pemerintah. Isinya agar segera mengakhiri praktek membukukan keuangan negara di luar neraca. Kepala Bulog waktu itu, Rahardi Ramelan, menulis memo ke presiden. Dia tidak setuju karena pemerintah masih banyak butuh uang. Hal ini disetujui Presiden Habibie (melalui surat yang diteken Akbar selaku Menteri Sekretaris Negara—Red.). Kalau pada waktu itu distop, mungkin jumlah dana yang dikucurkan Bulog tidak sampai Rp 40 miliar.

Majelis menyatakan perintah Habibie ke Akbar diberikan dalam rapat menteri 10 Februari 1999. Bukankah rapat itu diduga fiktif, karena Rahardi sendiri yang disebut ikut hadir malah menyatakan saat itu sedang berada di luar negeri?

Sulitnya, kesaksian Rahardi dalam perkara Akbar dan perkara Rahardi sendiri berbeda. Dalam kasus Akbar, dia (Rahardi) bilang rapat tersebut ada, sementara dalam pemeriksaan perkaranya sendiri dia bilang tidak hadir. Kalau pertemuan itu memang tidak ada, semakin membuktikan semua ini memang cuma fabricated story (kisah rekaan—Red.).

Dari bukti-bukti yang ada, apakah benar dana tersebut disalurkan ke Yayasan Raudatul Jannah untuk pengadaan sembako?

Saya menganalisis beberapa kejanggalan tampak terlalu mencolok. Misalnya, dikatakan uang miliaran tersebut dicairkan dari bank oleh orang-orang fiktif yang menggunakan KTP palsu. Jadi, dari semula seperti ada yang memotong jalur informasi siapa sebenarnya yang mengeluarkan uang itu. Kemudian, setelah dua tahun tiga bulan, uang tersebut dikumpulkan kembali. Lalu dikatakan dana Rp 40 miliar itu disimpan di rumah, dalam lemari. Ini too good to be true. Maka, menurut saya, ini fabricated story.

Investigasi kami menemukan fotokopi kuitansi yang diteken Bendahara Golkar Fadel Muhammad dan M.S. Hidayat. Tapi tidak satu pun dari mereka diperiksa pengadilan. Atas semua keganjilan ini, sebagai lembaga peradilan tertinggi, MA tidak bisa melakukan terobosan apa-apa?

Desakan itu tidak bisa ditujukan ke MA. Data tersebut tidak muncul dalam berkas perkara. Nama Fadel dan M.S. Hidayat tidak satu pun yang muncul. Kami tidak bisa tiba-tiba memasukkannya. Ada prosedur yang harus diikuti. Soal itu harus didesakkan ke polisi dan jaksa.

Anda bilang ini fabricated story. Lalu, apa true story-nya? Dana politik Golkar?

Tidak terungkap dalam kasus ini. Kami kan tidak bisa membawa cerita dari luar lalu ditaruh ke sini (MA—Red.). Tapi masih ada jalan untuk mengungkapnya.

Caranya?

Ha-ha-ha..., itu urusan penyidik dan penuntut umum. Mereka bisa membuat satu kasus baru, dan mengusut siapa saja yang terlibat mulai dari bawah.

Hingga sekarang, Habibie sebagai pemberi perintah nyaris tidak tersentuh.

Pengadilan tidak bisa memerintahkan polisi atau jaksa supaya mengusut Habibie atau siapa pun. Sekarang terpulang lagi kepada penyidik, apakah bahan-bahan ini akan dipakai sebagai langkah permulaan lagi.

Menurut pendapat Anda, Habibie bisa diperiksa?

Secara teoretis, itu banyak kemungkinan. Saya baca di Koran Tempo, Rahardi Ramelan merasa sakit hati karena Habibie menyangkal memberi perintah. Bila ia (Rahardi) merasa seperti itu, adukan saja.

Apakah terhadap putusan kasasi Akbar bisa diajukan peninjauan kembali (PK)?

Ada dua pendapat. Menurut hukum tertulis, hal tersebut tidak bisa dilakukan. Tapi dalam prakteknya memang pernah terjadi, seperti dalam perkara Muchtar Pakpahan dan Gandhi Memorial School dulu.

Bukankah itu merupakan yurisprudensi yang juga mengikat secara hukum?

Banyak pendapat tentang hal ini. Ada yang mengatakan satu putusan saja sudah bisa dijadikan yurisprudensi, sementara ada yang mengatakan baru menjadi yurisprudensi setelah ada tiga kali putusan serupa.

Anda menekankan rasa keadilan masyarakat dalam dissenting opinion. Bukankah PK merupakan bagian dari upaya untuk memenuhi hal itu?

Saya tidak bisa mengomentari hal ini.

Bagaimana tarik-ulur dalam musyawarah hakim sehingga putusan diambil dengan suara 4-1?

Saya tidak bisa menceritakan detailnya. Tapi, memang benar terjadi diskusi sampai akhirnya mengkristal menjadi skor tersebut.

Benarkah posisi semula 3-2, lalu ada seorang hakim yang berubah pendapat dan setuju Akbar dibebaskan?

Saya juga baca itu di koran, ha-ha-ha. Orang bilang semula 3-2, lalu jadi 4-1. Saya tidak bisa menceritakannya ke Anda. Yang jelas, dari awal saya menyatakan Akbar bersalah. Saya tahu pada akhirnya mereka (anggota majelis lain) akan mengabulkan kasasi Akbar, dan mereka juga tahu bahwa saya akan tetap menolak.

Bagaimana amar putusan disusun?

Pak Paulus Effendi Lotulung selaku ketua membuat catatan-catatan dari diskusi kami. Setelah musyawarah majelis selesai, rumusan finalnya dibuat oleh Pak Lotulung.

Anda sempat didesak agar menyetujui keputusan membebaskan Akbar agar suara majelis bulat?

Dari segi yuridis tidak ... (Abdul Rahman tidak meneruskan kalimatnya—Red.). Pada akhirnya saya katakan itulah pendapat saya dan tidak akan mengubahnya. Akhirnya, terjadilah dissenting opinion.

Majelis hanya dua kali bermusyawarah sebelum mengambil putusan?

Formalnya dua kali. Tapi secara informal beberapa kali, karena setelah berkas dibaca secara bergantian kami membahasnya.

Mekanisme dissenting opinion sempat diperdebatkan majelis?

Memang sempat dipersoalkan apakah ini akan dibacakan atau cukup dilampirkan saja. Saya merujuk ke Undang-Undang MA yang baru, yang mewajibkan dissenting opinion dimuat dalam putusan. Jadi, bila itu dimuat, harus dibacakan pula. Saya ingin hal ini dimasyarakatkan. Sehingga, ke depan, mutu pengadilan kita seperti yang kita lihat di luar negeri.

Benarkah anggota majelis lain keberatan?

Bukan keberatan, mereka hanya menafsirkan: karena belum ada petunjuk pelaksanaannya, cukup dilampirkan saja seperti perkara-perkara terdahulu.

Bagaimana pendapat Ketua MA Bagir Manan?

Beliau tidak turut campur, dan memang tidak ada kewajiban majelis melapor kepadanya. Namun, pada saat terakhir, secara informal di suatu resepsi saya bertemu Pak Bagir dan bilang saya mungkin akan menggunakan dissenting opinion. Pak Bagir mengatakan, "Saya tidak turut campur. Itu hak Saudara. Bila sesuai dengan kata hati Anda, silakan kemukakan saja."

Sebelum pembacaan putusan, ada rapat majelis di ruangan Ketua MA. Membahas apa?

Itu rapat untuk menempatkan seluruh hakim agung di satu tempat, yang akhirnya diputuskan di Hotel Borobudur. Ini agar memudahkan pengamanan polisi. Rapat hanya membicarakan hal-hal teknis persidangan: berangkat dari mana, pengawalan, dan lain-lain. Saat itu saya sakit sehingga tidak menghadirinya.

Bagaimana dengan pengakuan Amiruddin Zakaria, ketua majelis hakim perkara Akbar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, bahwa saat menyidangkan kasus ini MA melakukan intervensi dengan memeriksa dia karena menangguhkan penahanan Akbar?

Saya tidak tahu apa betul dia pernah diperiksa. Tapi, menurut saya, alasan Pak Amiruddin tidak tepat ketika mengatakan jerih-payahnya tidak dihargai. Ini bukan masalah harga-menghargai, tapi aturan mainnya begitu. MA bisa menerima atau membatalkan putusan pengadilan negeri dan tinggi.

Apakah benar lemahnya dakwaan jaksa merupakan salah satu faktor MA membebaskan Akbar?

Majelis berpendapat dakwaan cukup.

Amar putusan sangat kental dengan nuansa hukum administrasi negara dan seperti mengabaikan unsur pidana korupsi.

Memang ada banyak komentar: kok tinjauannya lebih kepada hukum administrasi negara. Kesan orang, saya terfokus pada hukum pidana, sementara hakim lain menitikberatkan pada tinjauan administrasi negara. Itu merupakan pilihan. Saya tidak bisa berkomentar. Silakan dinilai.

Anda pernah dilobi pihak Akbar?

Secara formal, tidak ada. Memang ada saja teman-teman yang mengontak. Toh, pada akhirnya, ketika sudah mempertimbangkan segala sesuatunya, kami harus menutup diri. Saya tidak peduli siapa yang menang, siapa yang kalah. Orang hidup kan cuma beberapa tahun saja. Orang-orang di MA juga hanya tinggal beberapa tahun lagi. Pada saat hakim memutuskan perkara, saat dia merenung sendirian, sebenarnya tidak ada yang bisa mengintervensi. Semua bergantung pada nuraninya sendiri. Paling, kalau ada yang telepon, saya ajak guyon. Saya bilang: terus terang saja you bela siapa, sih? Saya lagi bikin polling nih, he-he-he.

Ada yang pernah menyuap Anda?

Tidak ada yang berani melakukan itu terhadap saya.

Benarkah posisi mantan Menteri Kehakiman Oetojo Oesman sebagai Ketua Panitia Konvensi Golkar cukup berpengaruh terhadap sebagian anggota majelis yang pernah menjadi bawahannya di era Soeharto dulu?

Saya tidak punya informasi tentang hal itu.

Saat kukuh memutuskan Akbar bersalah, Anda sudah menghitung risiko yang mungkin mengancam Anda?

Saya lebih mempertimbangkan kata hati saya ketimbang risiko itu. Saya masih optimistis. Saya masih percaya dengan Ketua MA sekarang.

Banyak yang beranggapan dibebaskannya Akbar adalah simbol matinya reformasi hukum. Anda sependapat?

Saya kira tidak. Dalam setiap kasus besar, selalu ada dua kubu yang puas dan tidak. Itu normal. Tapi, kalau kita sudah tidak mau menerima putusan MA, yang ada tinggal pengadilan jalanan, hukum rimba.

Masih ada harapan untuk membenahi sistem hukum kita?

Sekarang, yang lebih penting bagi LSM dan kalangan yang tidak puas dengan keputusan MA adalah untuk mengawal Undang-Undang Komisi Yudisial. Lembaga ini memiliki kewenangan besar untuk mengawasi tingkah laku hakim. Tidak hanya hakim agung, tapi seluruh hakim. Kalau ada gejala penyalahgunaan wewenang dalam pemeriksaan sebuah perkara, mereka bisa langsung bergerak.

Anda sendiri tidak kecewa dengan keputusan itu?

Saya tidak menggunakan terminologi kecewa. Saya masih agak optimistis.

Setelah Akbar dibebaskan, pernah tebersit niat untuk mundur dari MA?

(Abdul Rahman tercenung mendengar pertanyaan ini sebelum menjawab.) Tidak. Saya tidak bersikap defensif seperti itu. Kecuali ada yang melarang saya membuat dissenting opinion. Saya masih diberi kebebasan.

Bagaimana reaksi yang Anda terima setelah membacakan dissenting opinion?

Banyak yang mendukung, terutama dari kalangan LSM. Jumat malam kemarin saya menghadiri resepsi pernikahan anak seorang hakim agung. Ternyata banyak juga dari kalangan hakim agung yang menyalami dan menyatakan mendukung saya. Tapi rata-rata mereka itu sudah pensiunan, ha-ha-ha.


Abdul Rahman Saleh:

Tempat/tanggal lahir:

  • Pekalongan, Jawa Tengah, 1 April 1941

Pendidikan:

  • Sarjana Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1967)
  • Master Bidang Hukum, Universitas Indonesia (1990)
  • Program Notariat Fakultas Hukum Universitas Indonesia
  • Kandidat doktor Fakultas Hukum Universitas Indonesia (1997)

Pekerjaan:

  • Wartawan hukum harian Nusantara (1968-1971)
  • Pengurus dan anggota Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (1971-1984)
  • Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (1984)
  • Pengacara dan notaris (1984-1999)
  • Anggota KPU (1999)
  • Hakim Agung MA (2000)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus