Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Liberti Sitinjak masih mengingat kejadian pada awal 2014 itu. Freddy Budiman, terpidana mati kasus narkotik penghuni sel isolasi, menyampaikan permintaan yang membuat dia geleng-geleng kepala. Kala itu, Liberti menjabat Kepala Lembaga Pemasyarakatan Batu, Nusakambangan.
Ada dua hal yang diminta Freddy. Pertama, ia minta pindah dari sel isolasi ke bagian belakang kompleks penjara. Kedua, Freddy minta izin memakai telepon pintar BlackBerry selama di penjara. "Sulit mengabulkan permintaan seperti itu," kata Liberti ketika menceritakan kejadian itu, Kamis pekan lalu.
Penolakan pertama Liberti tak membuat Freddy menyerah. Ia menawarkan imbalan uang dengan jumlah terus meningkat hingga Rp 30 miliar. Tapi Liberti tak mau terjebak. "Maksudnya 30 ember," kata Liberti mengulang tawaran terakhir Freddy kala itu.
Freddy merupakan satu dari empat narapidana yang dieksekusi mati pada 29 Juli lalu. Terpidana lain adalah Humphrey Ejike dan Michael Titus Igweh asal Nigeria serta Seck Osmane asal Senegal. Freddy, kelahiran Surabaya 39 tahun silam, divonis mati oleh Pengadilan Negeri Tangerang pada 2013. Ia terbukti mengimpor 1,4 juta butir ekstasi dari Cina pada Mei 2012, ketika masih mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Cipinang, Jakarta Timur.
Sejak 1993, Freddy biasa keluar-masuk bui. Namun, jangankan pengapnya penjara, vonis hukuman mati sekalipun tak membuat dia jera. Dari balik jeruji, Freddy terus mengatur penyelundupan dan peredaran narkotik antarnegara. Freddy bahkan bisa membuat pabrik sabu-sabu di bilik penjara (lihat "Pengatur Operasi dari Balik Jeruji").
Dengan uang hasil kejahatannya, Freddy juga bisa membeli berbagai fasilitas yang tak mungkin dinikmati narapidana biasa. Pengakuan Vanny Rosyanne, bekas pacar Freddy, menunjukkan hal itu. Perempuan yang berprofesi sebagai model itu mengaku sering menggunakan ruang kerja petugas Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Cipinang untuk berkencan dengan Freddy. Vanny mengaku berkali-kali memakai fasilitas "bilik asmara" itu sejak November 2012 hingga Mei 2013.
Tak lama setelah membeberkan kelakuan Freddy di penjara, pada 16 September 2013, Vanny ditangkap tim Direktorat Narkoba Kepolisian RI di kamar 917 Hotel Mercure, Jalan Hayam Wuruk, Jakarta Barat. Ia kedapatan memiliki sabu-sabu 0,87 gram. Pengacara Vanny, Farhat Abbas, meyakini kliennya menjadi korban konspirasi. "Mengarah ke sana, jebakan," kata Farhat, Jumat pekan lalu. Vanny telah divonis bersalah meski hanya dihukum menjalani rehabilitasi.
Tak sekadar berbuat mesum. Di ruang kerja sipir, Freddy juga bisa berpesta sabu-sabu dengan teman kencannya. Pengacara Freddy Budiman, Niko Kresna, mengaku tak heran jika kliennya bisa menikmati berbagai "kemewahan" di penjara. "Itu sudah jadi rahasia umum," kata Niko. Vanny pernah menyebut bahwa Freddy merogoh kocek sampai Rp 2 miliar untuk bisa menikmati fasilitas seperti itu. Namun Niko mengaku tak tahu persis berapa sogokan yang dikeluarkan Freddy. "Saya kira tak sebesar itu," ujar Niko.
Pengakuan Vanny berbuntut pencopotan Thurman Hutapea sebagai Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kelas II Narkotika Cipinang. Namun, belakangan, Pengadilan Tata Usaha Negara menganulir pemecatan Thurman. Adapun Freddy kemudian dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Batu, Nusakambangan, pada 2013. Di sana Freddy menempati sel isolasi.
Ternyata, dari Nusakambangan, Freddy masih berhubungan dengan jaringan lamanya. Semula Freddy menumpang telepon kepada seorang narapidana narkotik asal Ciamis, Jawa Barat. Karena sakit tuberkulosis, lelaki itu dipisahkan dari narapidana lain dan ditempatkan berdekatan dengan sel isolasi Freddy. Belakangan, lewat narapidana yang sakit-sakitan itu, Freddy bisa mendapatkan telepon BlackBerry.
Kerusuhan di LP Batu pada 30 Desember 2013 sedikit mengubah peruntungan Freddy. Kerusuhan itu dipicu oleh rencana pemindahan Pepi Fernando, terpidana teror bom buku di Utan Kayu, Jakarta Timur. Setelah kerusuhan meledak, dibantu polisi, Liberti Sitinjak menggelar razia besar-besaran. Di lingkungan penjara yang seharusnya "steril", aparat menemukan lebih dari 100 telepon seluler dan paket-paket narkotik.
Setelah razia besar-besaran itulah Freddy merayu Liberti untuk bisa memakai BlackBerry. Alasannya, agar bisa berkomunikasi dengan keluarga. Liberti tak pernah mengabulkan permintaan itu. Ia bahkan memasang kamera CCTV di sel isolasi Freddy. Meski begitu, Liberti mengaku tak bisa yakin 100 persen bahwa Freddy benar-benar putus hubungan dengan dunia luar.
Faktanya, dari ruang isolasi sekalipun, Freddy masih bisa mengendalikan bisnis narkotik. Badan Narkotika Nasional, misalnya, setidaknya dua kali mengendus Freddy memesan ekstasi dari Laosan, warga negara Belanda keturunan Indonesia. Pesanan pertama, sebanyak 25 ribu butir ekstasi, tiba di Kantor Pos Cikarang, Bekasi, pada 9 Maret 2014. Pesanan kedua tiba di tempat yang sama pada 7 April 2014. Kedua paket itu diambil adik Freddy, Johny Suhendra alias Latif. Johny divonis hukuman penjara seumur hidup pada 5 Januari 2016.
Freddy tak hanya menyeret adik kandungnya. Ia juga memanfaatkan Henny Christoffel, perempuan yang dinikahinya di Nusakambangan pada 6 April 2015. Pertengahan tahun lalu, Freddy mengirim paket sabu-sabu ke salah satu perwakilan JNE di Palu. Freddy meminta Henny mengambil paket itu. Tapi Henny meminta tolong temannya, Andriano. Polisi menangkap Andriano ketika hendak mengambil paket. Adapun Henny, 34 tahun, ditangkap belakangan di Kebon Baru, Tebet, Jakarta Selatan. Dalam sidang pada 7 Desember 2015, majelis hakim Pengadilan Negeri Palu memvonis Henny bersalah dan menghukum dia 20 tahun penjara. ABDUL MANAN, SYAILENDRA PERSADA, LINDA TRIANITA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo