Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA mulanya Haris Azhar sempat kesengsem pada janji Badan Narkotika Nasional dan Markas Besar Kepolisian RI. Bertemu secara terpisah dengan utusan kedua lembaga itu, Haris mendapat tawaran kerja sama untuk menelusuri testimoni Freddy Budiman. Yang agak mengusik Haris, utusan polisi dan BNN mulai menyinggung bukti kebenaran testimoni Freddy. "Semestinya itu yang mereka cari," kata Haris, Kamis pekan lalu.
Belakangan, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) ini seperti menelan pil pahit. Selasa siang pekan lalu, BNN dan Polri, plus Markas Besar Tentara Nasional Indonesia, kompak melaporkan Haris ke polisi. Mereka menuduh Haris mencemarkan nama lembaga dengan merujuk pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. "Mereka menusuk dari belakang," ujar Haris.
Pangkal aduan ini adalah beredarnya tulisan Haris di media sosial pada Kamis malam dua pekan lalu. Lewat tulisan berjudul "Cerita Busuk dari Seorang Bandit" itu, Haris menceritakan pertemuan dia dengan Freddy di Lembaga Pemasyarakatan Batu, Nusakambangan, Jawa Tengah. Pada pertengahan 2014 itu, Freddy curhat soal anggota BNN, polisi, tentara, dan Bea-Cukai yang mengambil keuntungan dari bisnis gelapnya.
Tulisan Haris beredar beberapa jam sebelum tim Kejaksaan Negeri Jakarta Barat mengeksekusi Freddy di Lapangan Tembak Tunggal Panaluan, Nusakambangan. Haris beralasan baru membuka cerita tersebut karena menunggu situasi politik lebih adem. Hubungan yang sempat memanas antara polisi dan kalangan aktivis, kata Haris, juga menjadi pertimbangan.
Langkah ketiga lembaga melaporkan Haris kontan memantik reaksi dari berbagai kalangan, terutama para aktivis pegiat hak asasi manusia. "Mereka terburu-buru," kata Wakil Koordinator Bidang Advokasi Kontras Yati Andriani. "Seharusnya mereka mendalami catatan Haris sebagai temuan awal."
Kepala BNN Komisaris Jenderal Budi Waseso beralasan, lembaganya melaporkan Haris agar polisi punya dasar mengusut kebenaran cerita Freddy. Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Tatang Sulaiman mengatakan hal senada. Laporan ke polisi, kata dia, demi kepastian soal penyebutan keterlibatan jenderal bintang dua dalam catatan Haris. Adapun Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian menganggap wajar bila ada yang melaporkan tindakan atau informasi yang merugikan lembaga.
Di tengah polemik itu, Istana pun bersuara. Juru bicara kepresidenan, Johan Budi, meminta penegak hukum tak melihat testimoni Freddy lewat Haris sebagai ancaman. Presiden Joko Widodo, menurut Johan, mengimbau aparat melihat setiap kritik sebagai masukan. "Jadikan juga sebagai bahan untuk mengoreksi lembaga," ujar Johan.
Liberti Sitinjak kewalahan menanggapi panggilan dan pesan yang masuk ke telepon selulernya dua pekan terakhir ini. Penelepon dan pengirim pesan umumnya menanyakan kebenaran tulisan Haris soal testimoni Freddy. Kebetulan, mantan Kepala LP Batu ini menjadi saksi pertemuan Freddy dengan Haris. "Apa yang ditulis Haris persis seperti penuturan Freddy. Tak ada yang ditambah atau dikurangi," kata Liberti, Rabu pekan lalu.
Dalam catatannya, Haris juga menyebut pernah ada petugas BNN yang meminta Liberti mencopot kamera CCTV di ruang isolasi Freddy. Soal ini, Liberti pun membenarkan. Ia ingat betul tamu yang mengaku dari BNN itu datang pada Ahad siang, medio Juni 2014. Awalnya, Liberti mengira lelaki tersebut ingin "meminjam" tahanan untuk kasus yang ditangani BNN.
Liberti mengajak sang tamu mengobrol di ruang kerjanya di lantai dua. Di tengah percakapan, orang itu mulai menyinggung Freddy. "Dia bilang, 'Kok ketat sekali ya penjagaan Freddy, sampai dipasang kamera pengawas', " ujar Liberti. Tak hanya itu. Si tamu meminta Liberti melepas kamera CCTV. Dia pun meminta agar Freddy dipindahkan dari sel khusus. "Langsung saya tolak permintaan tersebut," ucap Liberti, kini Kepala Divisi Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Wilayah Nusa Tenggara Timur.
Di LP Batu, Freddy menghuni sel isolasi yang dibangun untuk tahanan prioritas tinggi. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia membangun blok khusus itu pada awal September 2013.
Mendengar penolakan Liberti, tamu itu malah uring-uringan. Liberti awalnya hanya diam mendengar ocehan si lelaki. Ketika kesabarannya habis, Liberti menimpali, "Saya kepala di sini. Saya yang bertanggung jawab." Si tamu membalas sambil keluar dari ruang kerja Liberti, "Awas, lihat saja nanti."
Penasaran, Liberti mencari tahu hubungan si tamu dengan Freddy. Beberapa sipir bercerita, orang BNN itu memang kerap datang untuk "menjenguk" Freddy. Bahkan, hari itu, sang tamu sempat menemui Freddy sebelum berjumpa dengan Liberti.
Syaiful Abbas, pengacara Johny Suhendra (adik Freddy), mengkonfirmasi kedekatan sang tamu dengan kakak kliennya. "Freddy juga pernah cerita. Orang itu sekarang kabarnya telah jadi kepala polres," tutur Syaiful, tanpa menyebut nama orang BNN itu.
Soal siapa sesungguhnya orang BNN itu, Budi Waseso menolak berandai-andai. "Kan, baru katanya. Saya tidak mau katanya," ujar Budi.
Kisah kedekatan Freddy dengan aparat bukan mencuat kali ini saja. Berkas perkara narkotik yang menyeret anggota Kepolisian Daerah Metro Jaya, Ajun Inspektur Dua Sugito, misalnya, memaparkan hal serupa. Sugito ketahuan menjual barang bukti kasus narkotik kepada Freddy. Bahkan Sugito pun pernah menyembunyikan narkotik milik Freddy.
Persekongkolan Sugito dengan Freddy terungkap ketika tim Polda Metro Jaya menangkap Freddy di Jalan Benyamin Sueb, Kemayoran, Jakarta Pusat, pada 27 April 2011. Kala itu, Freddy baru beberapa bulan bebas, setelah dihukum tiga tahun penjara karena narkotik.
Dari tangan Freddy, polisi kala itu menyita barang bukti berupa 300 gram heroin, 27 gram sabu-sabu, dan 450 gram bahan pembuat ekstasi. Freddy memperoleh barang haram itu dari seorang bandar yang jadi incaran polisi.
Kepada polisi, Freddy mengaku masih punya narkotik yang dia simpan di rumah Sugito. Malam harinya, tim Polda Metro Jaya menggeledah rumah Sugito di Jalan Regalia, Ciracas, Jakarta Timur. Benar saja. Mereka menemukan 1.768 gram sabu-sabu dan 3.720 gram heroin. Malam itu juga Sugito digelandang ke Markas Polda Metro Jaya.
Freddy dan Sugito rupanya sudah lama kenal dekat. Freddy menjadi informan Sugito ketika menangkap Harun, bandar narkotik asal Malaysia. Saking dekatnya, Sugito pernah meminta tolong Freddy membeli barang bukti berupa 200 gram sabu-sabu. Freddy membayar barang sitaan polisi itu Rp 140 juta. Uang tersebut, menurut Sugito kepada Freddy, untuk biaya perburuan bandar narkotik besar lainnya.
Dalam nota pembelaan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Sugito mengatakan, tanpa seizin dia, Freddy memang pernah berkunjung ke rumahnya. Namun Sugito mengaku tak tahu bahwa Freddy menyimpan narkotik di rumahnya. Ihwal penjualan barang bukti narkotik kepada Freddy, Sugito menyebutkan hal itu atas izin atasannya. Sugito telah dipecat dari korpsnya serta dihukum sembilan tahun penjara.
Diterungku di Rumah Tahanan Cipinang, Jakarta Timur, Freddy kembali berulah. Dari dalam penjara, ia mengatur penyelundupan 1,4 juta butir ekstasi dari Cina. Kasus yang terkuak pada Mei 2012 ini lagi-lagi menyeret aparat. Kali ini sorotan mengarah ke Primer Koperasi Kalta milik Badan Intelijen Strategis (Bais) TNI.
Permufakatan jahat itu dirancang di kamar tahanan Freddy pada akhir September 2011. Siang itu, Freddy berembuk dengan Chandra Halim alias Akiong dan Hani Sapta Pribowo. Dua orang ini merupakan narapidana seumur hidup kasus narkotik.
Akiong menawarkan kerja sama mendatangkan ekstasi kelas wahid dari Cina. Hani pun setuju. Ia mengatakan punya kenalan di Primkop Kalta yang bisa menerima dan mengeluarkan barang impor dari pelabuhan lewat jalur kuning. Barang yang masuk zona ini hanya dicek kelengkapan dokumennya, tidak sampai cek fisik. Adapun Freddy bertugas menyiapkan uang Rp 650 juta untuk mendatangkan ekstasi tersebut. Waktu itu mereka sepakat menyamarkan penyelundupan narkotik dengan impor perlengkapan akuarium.
Hani lantas menghubungi Abdul Syukur, orang kepercayaan dia di luar penjara. Abdul kemudian mengontak Sersan Mayor Supriadi, pengawas Primkop Kalta di Pelabuhan Tanjung Priok. Abdul menawarkan bayaran Rp 85 juta impor "aksesori akuarium" tersebut.
Pada akhir April 2012, BNN mendapat kabar tentang penyelundupan obat terlarang lewat jalur laut dari kepolisian antinarkotik Cina dan United Nations Office on Drugs and Crime. Menurut informasi tersebut, kapal berlayar dari pelabuhan Shenzhen, Cina, pada 28 April.
Kapal itu tiba di Pelabuhan Tanjung Priok pada 8 Mei 2012. Tim BNN pun mengecek satu per satu dokumen kontainer di kapal tersebut. Mereka menemukan satu kontainer berisi perlengkapan akuarium atas nama Primer Koperasi Kalta sebagai pengimpor. Wasangka muncul ketika BNN memverifikasi manifes tersebut ke kantor Primkop Kalta. Ternyata koperasi tersebut tak memesan akuarium.
Belakangan, dalam persidangan terungkap, Supriadi sengaja memalsukan dokumen impor agar barang pesanan Freddy dkk bisa masuk dan keluar pelabuhan. "Saya enggak tahu kenapa dia nekat sekali. Bisa jadi ada orang kuat di belakangnya," kata Kepala Bais saat itu, Soleman Ponto.
Menurut Soleman, informasi soal penyelundupan narkotik waktu itu juga diterima Bais. Karena itu, Soleman memerintahkan semua kontainer atas nama Primkop Kalta diperiksa. Namun, kata dia, sejak awal Supriadi berbohong. Ia hanya melaporkan dua kontainer atas nama koperasi. "BNN juga tak memberi tahu kami bahwa ada satu kontainer lagi," ujar Soleman. Pada titik ini, Soleman mengaku kecewa terhadap sikap BNN yang tidak melibatkan Bais. "Mereka curiga seolah-olah kami akan menggagalkan operasi atau melindungi anggota."
Seorang penyidik BNN yang ikut dalam operasi itu mengatakan penyelundupan ekstasi sebenarnya sudah dipastikan ketika kontainer berada di area pelabuhan. Namun informasi itu sengaja disimpan rapat-rapat karena BNN punya target meringkus jaringan penyelundup. Kala itu, tim BNN belum tahu bahwa Freddy dan kawan-kawan yang bermain. "Kami bekerja sama dengan Bea-Cukai," kata si penyidik.
Pada 25 Mei 2012, tibalah waktunya BNN menggelar operasi besar. Tim BNN menguntit truk kontainer akuarium berisi ekstasi sejak keluar dari pelabuhan sampai ke alamat pengiriman di Cengkareng. Ketika menggeledah truk kontainer itu, tim BNN menemukan 1,4 juta butir ekstasi senilai Rp 500 miliar. Malam itu juga BNN menangkap enam orang, termasuk Freddy, Akiong, Hani, dan Supriadi.
Kabar penangkapan Supriadi membuat geger markas Bais di Kalibata, Jakarta Selatan. Dinihari itu, sekelompok anggota Bais mendatangi kantor pusat BNN di Cawang, Jakarta Timur. Menurut seorang penyidik, beberapa di antara mereka berusaha merangsek masuk untuk membebaskan Supriadi. "Suasana sempat panas," kata si penyidik. "Kami sampai minta pengamanan tambahan dari Brimob."
Ketegangan baru mereda keesokan paginya, ketika Kepala Bais Soleman Ponto bertemu dengan pimpinan BNN. Soleman mengizinkan pemeriksaan Supriadi oleh BNN dengan catatan perkaranya segera dilimpahkan ke Peradilan Militer. Soleman menolak kedatangan anggota Bais malam itu disebut penggerudukan. "Kami hanya ingin mencari informasi sebenarnya seperti apa," ucapnya.
Di persidangan, dalam surat pleidoinya, Freddy mengatakan harga ekstasi asal Cina tersebut sebenarnya hanya Rp 800 per butir. Karena ada ongkos "lain-lain", ketika masuk Indonesia harganya naik berlipat-lipat. Freddy berencana menjual barang tersebut Rp 45 ribu per butir.
Membengkaknya harga ekstasi merupakan salah satu duri pada kesaksian Freddy. Kepada Haris Azhar, Freddy menuturkan, untuk memuluskan narkotik dari Cina, ia menghubungi sejumlah aparat kenalannya. Setiap aparat yang ditelepon, menurut Freddy, akan "menitipkan harga" mulai Rp 10 ribu sampai Rp 30 ribu per butir. Karena itu, menurut Freddy, harga sebutir ekstasi di pasar bisa tembus Rp 200 ribu.
Gara-gara kasus 1,4 juta butir ekstasi ini, Supriadi dihukum tujuh tahun penjara. Upaya dia mengajukan permohonan kasasi juga kandas. Adapun Freddy, yang telah keluar-masuk bui, akhirnya divonis hukuman mati. SYAILENDRA PERSADA, ABDUL MANAN, LINDA TRIANITA, ISTMAN MUSAHARUN, DIKO OKTARA, REZKY ALVIONITASARI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo