Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menjinakkan Oposisi

Pemerintah berhasil menguasai parlemen setelah menjinakkan Partai Golkar. Ancaman terbesar dari dalam.

31 Januari 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KONGRES PDI Perjuangan masih dua bulan lagi, tapi ketua umumnya, Megawati Soekarnoputri, sudah mengamangkan peringatan. Mantan presiden itu meminta pemerintah tidak mencampuri kongres partai sang Moncong Putih. "Jangan ganggu kongres partai ini," kata Megawati ketika merayakan ulang tahunnya ke-58, Ahad pekan lalu, di Jakarta.

Kekhawatiran Megawati bisa dipahami: PDI Perjuangan memilih berseberangan dengan pemerintah setelah Megawati kalah pada pemilihan presiden. Bersama Partai Golkar, pemenang pemilu legislatif, mereka membentuk Koalisi Kebangsaan dengan menggandeng sembilan partai lain. Koalisi ini menguasai sekitar 60 persen kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), bahkan berhasil merebut posisi-posisi penting ketua komisi di DPR.

Tekanan politik Koalisi Kebangsaan menghadapi arus balik setelah Musyawarah Nasional ke-7 Partai Golkar di Bali, akhir tahun lalu. Wakil Presiden M. Jusuf Kalla berhasil merebut posisi Ketua Umum Partai Golkar, mengalahkan Akbar Tandjung. Kalla kemudian mengusung para sekutunya yang sebelumnya dipecat Akbar Tandjung karena mendukung pencalonan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden.

Bahkan Ketua DPR Agung Laksono, yang menjadi senjata Akbar di parlemen, direkrut kelompok Kalla. Koalisi Kebangsaan pun ambyar. Dalam tempo 60 hari sejak pemerintahannya, Yudhoyono berhasil menjinakkan parlemen. Kini tinggal PDI Perjuangan yang belum bisa ditaklukkan. Partai yang menguasai lebih dari 22 persen kursi DPR ini masih menjadi ganjalan bagi pemerintah.

Menurut Wakil Sekjen PDI Perjuangan, Pramono Anung, "Apa yang terjadi pada Golkar harus menjadi peringatan bagi kami." Pramono menyayangkan jika pemerintah terpancing campur tangan dalam persoalan internal partainya. Apalagi jika memakai politik uang, atau tekanan, untuk menggusur Megawati dari posisi ketua umum.

Menjelang kongres PDI Perjuangan, saat ini telah muncul beberapa nama yang siap bersaing dengan Megawati. Tersebutlah di antaranya Sophan Sophiaan, Kwik Kian Gie, Arifin Panigoro, Laksamana Sukardi, dan Guruh Soekarnoputra. Arifin Panigoro, pemilik perusahaan minyak Medco Energy International, disebut-sebut dekat dengan Susilo Bambang Yudhoyono ketika yang terakhir ini menjabat Menteri Pertambangan dan Energi pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid.

Dalam kabinet Yudhoyono juga terdapat nama Sugiharto, Menteri Negara Pembinaan BUMN, yang sebelumnya menjabat direktur keuangan di Medco Energy. Arifin sendiri, sebelum disebut-sebut sebagai calon Ketua Umum PDI Perjuangan, termasuk dalam tim sukses Sophan Sophiaan. Sophan mengaku tak keberatan ditinggalkan Arifin. "Semakin banyak kader yang maju, makin baik," kata bintang film 1970-an itu.

Sophan menolak dianggap merapat ke Yudhoyono menjelang kongres PDI Perjuangan. Dia mengaku tak pernah bertemu Yudhoyono untuk membicarakan pencalonannya, dan yakin pemerintah tidak akan campur tangan dalam kongres PDI Perjuangan nanti. Menurut dia, jatuhnya Akbar Tandjung pada musyawarah nasional Partai Golkar bukanlah bentuk campur tangan pemerintah. "Itu aksi orang-orang pemerintah di dalam Golkar sendiri," kata Sophan.

Anehnya, di saat Yudhoyono dianggap berhasil menundukkan partai-partai penentangnya, masalah muncul di dalam Partai Demokrat yang didirikannya. Menjelang kongres partai, bulan depan, muncul desakan untuk merombak susunan kepengurusan. Saat ini banyak orang baru yang tiba-tiba bergabung setelah Demokrat berhasil memenangkan kadernya menjadi presiden.

Ketua Umum Partai Demokrat, Subur Budisantoso, mengakui kekecewaan muncul sejak pembentukan kabinet. Kader-kader yang merasa berjasa pada partai kecewa karena Yudhoyono hanya memberi dua kursi untuk Partai Demokrat. Tapi, menurut Subur, keputusan Presiden itu memberi dampak besar pada stabilitas politik nasional. "Pengorbanan Partai Demokrat itu kini menunjukkan hasil," katanya.

Kegagalan Yudhoyono mengurus Partai Demokrat, menurut pengamat politik Syamsudin Haris, karena dia berada di luar struktur partai. Namun, Syamsudin yakin jika partai itu menghadapi konflik, akan lari ke Yudhoyono pula sebagai pengambil keputusan.

Syamsudin justru mengkhawatirkan penaklukan parlemen oleh pemerintah. Suasana ini membuka peluang besar terjadinya kolusi antara pemerintah dan DPR. Bahkan kini sudah terlihat, partai yang kadernya berada di kabinet melemah daya kritisnya. Syamsudin yakin, setelah menjinakkan Partai Golkar, pemerintah tidak akan berselera lagi menguasai PDI Perjuangan.

Partai pimpinan Megawati yang masih minim pengalaman politik itu lebih mudah ditundukkan. Jika pemerintah masih berniat campur tangan, menurut Syamsudin, mereka akan memakai pola perpecahan. Hal ini bisa dilakukan melalui kelompok-kelompok para kandidat calon ketua umum yang muncul saat ini.

Masalah yang dihadapi Yudhoyono saat ini justru adalah besarnya pengaruh Jusuf Kalla di pemerintahan dan Golkar. "Kalla punya dua kaki?ini tidak menguntungkan Yudhoyono," kata Syamsudin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus