Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kongres bebas hambatan

Rumusan kongres kebudayaan '91 diharapkan bisa menjadi masukan penyusunan gbhn mendatang. tak ada sensor makalah, cekal, dan rekayasa pemerintah. rumusan budaya agama ditafsirkan secara rasional.

9 November 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kongres Kebudayaan menelurkan beberapa rumusan, dari soal keterbukaan sampai kemiskinan. Tak ada "cekal" dan rekayasa. Rumusan budaya agama ditafsirkan secara rasional. PERHELATAN itu usai sudah. Kongres Kebudayaan 1991, yang menelan biaya Rp 1 milyar, ditutup Sabtu sore lalu di TMII oleh Wakil Presiden Sudharmono. Selama sepekan, kongres yang membicarakan masalah paling mendasar ini diikuti oleh 1.000 peserta. Lebih dari 100 makalah dibacakan sehingga sebagian orang mengernyitkan dahi, lelah, dan sebagian lagi mengantuk. Ada yang menarik dalam pidato Menteri P dan K, Fuad Hassan, pada penutupan ini. Ia membantah isu adanya sensor terhadap makalah. "Kongres ini berlangsung dalam suasana bebas hambatan," katanya. Ia juga menyanggah adanya "kabar tak bersumber yang berpraduga tentang dilakukannya sensor terhadap makalah yang disajikan dan dibagikan". Dibantahnya pula kabar angin tentang adanya orang yang ditolak hadir karena terkena "cekal". Tidak lupa ia juga membantah praduga bahwa kongres sebagai rekayasa Pemerintah. "Kenyataannya, arus pikiran yang mengalir serta silang pendapat yang terjadi dalam persidangan kongres ini berlangsung spontan dan leluasa, tanpa diselimuti suasana ketidakpastian atau kecemasan," katanya. Hanya, repotnya, banyak peserta tidak puas terhadap rumusan yang ditelurkan kongres. Budayawan Umar Kayam berusaha menengahi. "Rumusan itu merupakan hasil perdebatan seru para peserta. Itulah hasil maksimal yang bisa dicapai. Lagi pula, formulasi semacam itu kan tak akan membatasi kebebasan kreatif atau proses perkembangan kebudayaan. Ingat, itu hanya sekadar rumusan untuk menampung berbagai pendapat," katanya. Ada beberapa peserta yang berharap rumusan kongres bisa menjadi masukan bagi penyusunan GBHN mendatang. Namun, ternyata, ada beberapa pikiran yang tidak masuk. Misalnya kritik Umar Kayam mengenai pengertian "puncak-puncak kebudayaan daerah" -yang tercantum dalam penjelasan Pasal 32 UUD 45. Namun, ada sebuah rumusan yang agaknya dimaksud untuk "mengoreksi" GBHN itu sendiri, yaitu mengenai Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Budaya agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dalam rumusan Kongres Kebudayaan 1991 ini "diluruskan" dengan menyarankan agar "ditafsirkan secara rasional dengan tetap berdasarkan ajaran yang diamanatkan dalam kitab suci agama yang bersangkutan agar lebih sesuai dengan tuntutan masyarakat yang sedang berusaha menjadi masyarakat yang lebih modern". Umar Kayam, 59 tahun, pada hari pertama berusaha mematok pengertian kebudayaan sebagai suatu proses dialektis dan terus berkembang, dalam proses tarik tambang dan tawar-menawar, sebagai upaya masyarakat menjawab tantangan, yang selalu bersedia berubah sesuai dengan kualitas tantangannya. Tesis ini boleh dikatakan baru. Sebelumnya, kebudayaan diartikan orang sebagai sesuatu yang format dan bingkainya jelas dan kaku. Hampir sejalan dengan Kayam ialah penyair Nirwan Dewanto, 28 tahun, yang juga tampil pada hari pertama. Baginya, kebudayaan terselenggara secara niscaya dan organik, merespons perubahan senegeri dan sejagat, tak ada faktor penentu tunggal dalam sejarah kebudayaan yang mana pun. "Kebudayaan bukanlah kreasionisme. Kebudayaan melakukan banyak penyimpangan dari desain besar yang ingin mengendalikannya," katanya. Makalah Nirwan memang bagus, ditulis dengan bahasa yang baik dan menyertakan lebih dari 50 referensi. Tampak sekali bacaannya luas. Banyak orang tersentak mendengar pernyataanpernyataannya. Baginya, perdebatan tentang orientasi utama dan bentuk terakhir kebudayaan Indonesia sudah usai. "Sebab tidak ada wakil resmi kebudayaan Indonesia. Setiap orang secara potensial adalah pencipta kebudayaan," katanya. Tampilnya Sutan Takdir Alisjahbana, 83 tahun, juga sangat menarik. Budayawan ini sejak memelopori Angkatan Pujangga Baru pada tahun 30-an sudah berteriak perlunya bangsa Indonesia berkiblat ke Barat. Sekarang pun, bagaikan singa tua ia mengaum mengumandangkan perlunya menguasai ilmu dan teknologi, dengan menerjemahkan semua buku dari Barat. Tak kenal lelah, ia seperti berjuang sendirian. Seperti lazimnya diskusi atau seminar, waktu untuk pembacaan makalah dan mendiskusikannya terasa terlalu padat. Bahkan, tak jarang ada penyaji makalah yang berlama-lama menjelaskan gagasannya, terutama bila moderator kurang sigap. Meski begitu, ada pula kelompok-kelompok lain, dengan masalah yang berbeda, tampak larut dalam diskusi yang serius, dan menampilkan pikiran-pikiran cemerlang dan berharga. Ada pula forum yang ger-geran. Misalnya ketika Linus Suryadi AG tampil berkeringat dan gugup. Penyair Pengakuan Pariyem itu membawakan makalah tentang pentingnya pendidikan menulis kreatif. Pelukis Amang Rachman ternyata juga menderita demam panggung. Untung, ia bisa mengatasinya dengan berbagai banyolan. Ger-geran itu juga mewarnai kelompok yang mendiskusikan makalah penyair Darmanto Jt. Para penyaji makalah memang dibagi dalam beberapa kelompok, di ruang yang berlainan. Ketika Rendra mendapat giliran membacakan makalahnya, peserta kongres yang mengira penyair ini akan membaca puisi seakan tersedot ke forum ini. Namun, ya itulah, suasana diskusi tak tercegah lagi, nyaris berubah jadi tontonan. Seperti kata Menteri Fuad, kongres berlangsung dalam suasana "bebas hambatan", Rendra pun sempat berucap, "Kenapa ada partai yang tidak disukai rakyat bisa menang ...?" BSH, Putu Wijaya, Sri Indrayati, Priyono B. Sumbogo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus